Label

# (2) 100 buku (1) 1001 Cerita membangun Indonesia (1) 2019 prabowo presiden (1) 2019 tetap jokowi (1) 2020 (1) 2021 (2) 21 tahun (1) 21 wasiat Sultan untu Aceh (2) 49 tahun IAIN Araniry (2) 99 buku (1) a ceh bahan buku (1) Abu Mudi (1) aceh (11) Aceh Barat (2) aceh history (2) aceh kode (2) aceh kopi (1) Aceh Singkil (1) aceh tengah (3) Aceh Tourism (2) Adat Aceh (3) agama (25) Air Bersih (2) aisya (1) Alue Naga (1) amazon (1) aminullah (1) anehnya negeriku indonesia (3) anggaran nanggroe aceh (1) anies (1) APBA (6) apresiasi serambi indonesia (1) arsip (1) artikel hanif (74) artikel kompas (1) artikel nabil azra (3) artikel rini (4) Artikel Serambi (9) artikel serambi-tokoh sastra melayu (2) artikel Tanah Rencong (1) artikel trans89.com (1) artikel/opini Modus Aceh (1) arundati roy (1) asia (1) asuransi (2) atlas of places (1) Ayam (1) bahan buku (105) bahan buku aceh (1) bahan buku kolaborasi (2) bahan buku. (12) bahan tulisan (1) bahasa (2) Banda Aceh (1) Bank Aceh syariah (1) Bank syariah Indonesia (1) bawaslu (1) bencana alam (7) bendera dan lambang (1) berita nabil (1) berita serambi (1) berkeadilan (1) bill gates (2) Bioscoop (1) Bioskop (1) birokrasi (1) birokrasi politik (1) Blogger Competition 2017 (1) Blogger Indonesia (1) BMA 2023 (3) Bola Kaki (1) BP2A (1) BPBA (1) BSI (1) budaya (83) budaya aceh (12) budaya massa (1) budaya tradisional (2) buku (4) buku covid anak (1) Buku kapolri (1) bulkstore (1) bullying (1) bumi (2) bumi kita (1) bumi lestari (2) bumiku satu (1) Buyakrueng tedong-dong (1) cadabra (1) cerdas (1) cerpen (1) child abuse (1) climate change (3) Corona (1) corona virus19 (2) covid (1) Covid-19 (1) covid19 (9) CSR (1) Cut Nyak Dhien (1) dakwah kreatid (2) Dana Hibah (2) dara baroe (1) Data (1) dayah (4) De Atjehers (1) demam giok (1) Democrazy? (5) demokrasi (10) demokrasi aceh (6) diaspora (1) dinasti politik (3) diplomasi gajah (1) Ditlantas Meupep-pep (1) diva (1) DKPP (1) DPRA (1) dr jeckyl (1) drive book not cars (2) dua tahun BSI (1) Dusun Podiamat (1) earth hour (2) earth hour 2012 (2) ekonmi islam (1) Ekonomi (50) Ekonomi Aceh (50) ekonomi biru (1) ekonomi Islam (7) ekonomi sirkular (1) ekoomi (1) Ekosistem kopi (1) eksport import (1) Elizabeth Kolbert (1) essay (1) essay keren (1) essay nabil azra (1) Film (5) Film animasi (1) film drama (3) Film jadul (1) film lawas (1) filsafat (2) fir'aun (1) forum warga kota (1) forum warung kopi (2) FOTO ACEH (2) fourth generation university (2) gajah sumatera (1) gam cantoi (2) gambar (1) ganjar (1) Garis Wallacea (1) garis Weber (1) gempa (2) gender (3) generasi manusia (1) germs (1) gibran. jokowi (1) god (1) goenawan mohamad (1) groomer (1) grooming (1) gubernur (2) guiness book of record (1) guru (1) guru blusukan (1) guru kreatif (1) guru milenial (1) hacker cilik (1) Hadih Maja (1) Halodoc (1) Halue Bluek (1) hanibal lechter (1) hanif sofyan (6) hardikda (1) hari Air Sedunia (3) hari bumi (2) Hari gizi (1) hari hoaxs nasional (2) hasan tiro (1) hastag (1) hemat energi (1) herman (1) Hikayat Aceh (2) hoaks (2) hoax (2) hobbies (1) hoegeng (1) HUDA (1) hukum (3) humboldtian (1) hutan indonesia (5) ibadah (1) ide baru (1) ide buku (2) idelisme (1) ideologi (1) idul fitri 2011 (1) iklan (1) Iklan Bagus (2) indonesia (2) Indonesia city Expo 2011 (1) industri (1) Inovasi Program (1) intat linto (1) intermezo (5) internet dan anal-anak (1) investasi (2) investasi aceh (1) Iran (1) isatana merdeka (1) Islam (1) islam itu indah (3) Islamic banking (1) ismail bolong (1) Ismail Fahmi Lubis (1) IT (4) jalur Rempah (2) Jalur Rempah Dunia (2) Jalur rempah Nusantara (2) jeff bezzos (1) Jejak Belanda di Aceh (1) jokoei (1) jokowi (1) juara 1 BMA kupasi 2023 (1) juara 1 jurnalis (1) juara 2 BMA kupasi (1) juara 3 BMA kupasi 2023 (1) jurnal blajakarta (1) jurnal walisongo (1) jurnalisme warga (1) kadisdik (1) kaki kuasa (1) kalender masehi (1) kambing hitam (1) kampanye (1) kampus unsyiah (4) kamuflase (1) karakter (1) kasus kanjuruhan (1) kasus sambo (1) kaya (1) KBR (1) kebersihan (1) Kebudayaan Aceh (7) Kebumen (1) kedai kupi (1) kedai-kopi (1) Kedokteran (1) kedokteran Islam (1) kejahatan anak (1) kejahatan seksual anak (1) kekuasaan. (1) kelas menulis SMAN 5 (4) kelautan (4) keluarga berencana (1) Keluarga Ring Of Fire (1) kemenag (1) kemiskinan (2) kemukiman (2) kepemimpinan. (2) kepribadian (1) Kepribadian Muslim (1) kerajaan Aceh (2) kerja keras (1) kesehatan (13) kesehatan anak (4) keuangan (1) keuangan aceh (1) Khanduri Maulod (1) khutbah jumat (1) king maker (1) Kisah (1) Kisah Islami (1) KKR (2) KoescPlus (1) koleksi buku bagus (4) koleksi foto (2) Koleksi Kontribusi Buku (1) koleksi tulisanku (2) kolom kompas (1) kolom kompas hanif sofyan (2) kolom tempo (2) kompetensi siswa (1) Komunikasi (1) komunitas-serambi mihrab (1) konsumerisme (1) Kontribusi Hanif Sofyan untuk Buku (3) Kopi (2) kopi aceh (5) kopi gayo (2) kopi gayo.kopi aceh (1) kopi libri (1) Korupsi (7) korupsi di Aceh (4) kota masa depan (1) kota yang hilang (1) KPK (2) KPU (1) kriminal (1) krisis air (2) ku'eh (1) Kuliner Aceh (2) kultum (2) kupasi (1) kurikulum 2013 (1) Labschool UIN Ar Raniry Banda Aceh (1) lain-lain (1) lalu lintas (1) lambang dab bendera (4) laut (1) Laut Aceh (1) Laut Biru (1) legenda (1) Library (1) Library Gift Shop (2) lifestyle (1) lincah (1) Lingkungan (42) lintho (1) listrik aceh (1) LNR (1) Lomba artikel 2016 (4) Lomba blog 2016 (1) lomba blog unsyiah 2018 (1) Lomba Blogger Unsyiah (2) lomba mneulis asuransi (1) LSM-NGO (3) M nasir Fekon (1) magazine (1) malcom gladwell (1) manajemen (2) manipulatif (1) manusia (2) marginal (1) Masyarakat Urban. (1) Mauled (1) maulid (2) Maulod (1) Media (1) megawati (1) Melinjo (1) mesjid baiturahman (2) Meulaboh (1) MH Amiruddin (1) migas (1) mimbar jum'at (1) Misbar (1) mitigasi bencana (5) molod (1) moral (1) More Than Just A Library (2) motivasi (1) MTSN 4 Labschool UIN Ar Raniry (1) MTSN4 Banda Aceh (1) mukim (2) mulieng (1) museum (2) museum aceh (2) Museum Tsunami Aceh (4) music (1) Music show (1) musik (1) muslim produktif (1) musrenbang (1) Nabi Muhammad (2) naga (1) narkotika (1) naskah asli (3) Naskah Kuno Aceh (2) Negeri rempah terbaik (1) nelayan (1) new normal (1) Nina Fathdini (1) Nubuah (1) Nusantara (1) off road (1) olahraga (2) one day one surah (1) opini (5) opini aceh tribun (2) opini analisadaily.com (1) opini bebas (1) Opini di lentera (1) opini hanif (1) opini hanif di serambi indonesia (4) opini hanif sofyan (1) Opini Hanif Sofyan di Kompas.id (1) opini hanif sofyan di steemit (1) opini harian aceh (4) Opini Harian Waspada (1) opini kompasiana (2) opini lintas gayo (11) opini lintas gayo com (1) opini LintasGayo.co (2) opini majalah tanah rencong (1) opini nabil azra (1) opini rini wulandari (1) opini serambi (43) opini serambi indoensia (4) opini serambi indonesia (169) opini siswa (4) opini tabloid lintas gayo (5) opini tempo (1) otsus (1) OYPMK (1) pandemi (1) pandemi covid-19 (9) papua (1) Pariwisata (3) pariwisata aceh (1) parlemen aceh politik aceh (8) pawang (1) PDAM (1) PDIP (1) Peluang Pasar (1) pembangunan (29) pembangunan aceh (1) pemerintah (4) pemerintahan (1) pemilu 2014 (5) pemilu pilkada (1) pemilukada (9) Pemilukada Aceh (14) penddikan (2) pendidikan (29) pendidikan Aceh (27) penjahat kambuhan (1) penyair aceh (1) Penyakit kusta (1) Perbankan (3) perbankan islam (3) perdamaian (1) perempuan (8) perempuan Aceh (5) perempuan dan ibu (1) perempuan dan politik (2) perikanan (1) perpustakaan (2) perputakaan (1) personal (2) personal-ekonomi (1) pertanian (2) perwira tinggi polri (1) pesantren (2) Pesta Demokrasi (1) pidie (1) pileg (1) pileg 2019 (2) pilkada (14) pilpres (2) pilpres 2019 (3) pilpres 2024 (2) PKK Aceh (1) plastik (1) PNS (1) polisi (2) polisi jahat (1) politik (115) politik aceh (160) politik indonesia (3) politik KPK versus korupsi (4) politik nasional (4) politis (1) politisasi (1) politk (5) Polri (1) polri presisi (1) popular (1) poster. (1) prabowo (2) prediktif (1) presiden (1) presiden 2019-2024 (1) PRESISI POLRI (1) produktifitas (1) PROFIL (1) propaganda (1) psikologi (2) psikologi anak (1) psikologi pendidikan (1) psikologis (1) Pulo Aceh (1) PUSA (2) pustaka (1) qanun (1) qanun Anti rentenir (1) Qanun LKS (2) ramadhan (2) Ramadhan 2011 (4) ramadhan 2012 (2) rawa tripa (1) reformasi birokrasi (1) religius (1) Resensi buku (3) Resensi Buku hanif (2) resensi film (2) resensi hanif (2) residivis (1) resolusi. 2021 (2) responsibility (1) review buku (1) revolusi industri (1) rohingya (1) romantisme kanak-kanak (1) RPJM Aceh (3) RTRWA (2) ruang kelas (1) rujak u grouh apaloet (1) rumbia aceh (1) sains (1) Samalanga (1) sampah (1) satria mahardika (1) satu guru satu buku (1) satwa liar (1) secangkir kopi (1) sejarah (9) sejarah Aceh (28) sejarah Aceh. (3) sejarah dunia (1) sejarah-bahasa (5) sekda (1) sekolah (1) sekolah terpencil (1) selfie politik (1) setahun polri presisi (1) setapak perubahan (1) sigit listyo (1) sikoat (1) Sineas Aceh (2) Sinema Aceh (2) sinovac (1) sosial (14) sosiologi (1) sosiopat (1) SOSOK.TOKOH ACEH (3) spesies (1) statistik (1) Stigma (1) Stop Bajak Karya Online (1) sultan iskandar muda (1) syariat islam (7) TA sakti (1) tahun baru (2) tambang aceh (1) tambang ilegal (1) tanah rencong (1) tantang IB (1) Tata Kelola pemerintahan (4) tata kota (2) TDMRC (1) tehnologi (5) televisi (1) Tenaga kerja (2) Thriller (1) timor leste (1) tips (3) tokoh dunia (1) tokoh kartun serambi (2) tradisi (2) tradisi aceh (2) tradisional (1) transparansi (1) tsunami (9) Tsunami Aceh (9) Tsunami story Teller (2) tuan hide (1) tukang obat (1) tulisan ringan (1) TUmbuh seimbang berkelanjutan bersama BSI (1) TV Aceh (1) tv dan anak-anak (3) uang haram (1) ujaran kebencian (1) ulama aceh (7) Unsyiah (2) Unsyiah Library (3) Unsyiah Library Fiesta 2017 (3) upeti (1) upeti jin (1) ureung aceh (1) vaksin (2) viral (1) Visit Aceh (2) Visit Banda Aceh (7) Visit Banda Aceh 2011 (4) walhi goes to school (1) wali nanggroe (3) walikota 2014 (1) wanita Iran (1) warung kupi (2) wirausaha aceh (1) Wisata Aceh (5) wisata spiritual (2) wisata tematik jalur rempah (1) Yayat Supriyatna (1) youtube (1) zero waste (1)

Minggu, 14 Mei 2017

“Hadiah intelektual” Abu Panton

by hanif sofyan

Judul: Resolusi konflik dalam islam;
         kajian normatif dan historis perspektif ulama dayah
Pengarang: Tgk.H. Ibrahim Bardan [Abu Panton]
Editor: Hasan Basri M.Nur
Penerbit: Aceh Institute Press
Hal:xxxii+166 hlm; 14,2x21 cm

Kehadiran buku sederhana ini, setidaknya bakal menyemangati “Dunia Dayah” untuk lebih “melirik” persoalan-persoalan Aceh terkini. Tak khusus hanya menyorot soal meudamee [perdamaian],yang hingga hari ini--pun, masih terus “berjibaku” kita jaga. Kelak banyak persoalan akan menjadi kajian para tengku, di balee meunasah bersahaja.

Tahun 1953, menandai titik balik bagi seorang Abu Panton. Sebuah babak baru setelah puluhan tahun konflik menjadi “jeda” dan matinya tradisi “daras keilmuan dayah”. Babak ini penting, mengingat tahun-tahun tersebut merupakan tahun kelam. Sekedar menjadi guru saja, orang kehilangan “nyali”, konon lagi jadi tengku dayah, nanti malah disangka "cuak". Pilihan amannya cuma,“golput”; meminjam istilah Abu untuk tidak memilih keduanya, karena bahaya imbas konflik. 

Kelam militer, konflik, kekerasan, perseteruan yang tak berujung dan tak pernah berhenti sejak perang Aceh ratusan tahun lalu, kemudian menggugah Abu untuk memulai bahasan buku “sederhana” ini.

Meskipun harus diakui, dengan sistematika penulisan yang dibangun tim editor, buku ini terasa kaku dengan gaya akademis. Data-data yang terpapar merupakan referensi tambahan yang digali kemudian,  karena kebutuhan untuk memperkaya bahan dari “tuturan” penulis. Bahkan secara terus terang, penulisnya sendiri belum melakukan kaji yang mendalam terhadap naskah final buku ini. Sehingga kekuatan tuturan Abu, yang barangkali bisa menjadi bagian yang bisa menambah bobot dan  "daya magis karisma teungku" hilang dalam kekakuan seriusnya bahasa akademis. Namun terlepas dari soal itu, hal penting yang mendesak, bahwa di “sandera”nya Abu untuk penulisan ini, menunjukkan ada kebutuhan yang sama mendesaknya akan gagasan, ide yang selama ini “terkurung” di dayah.

Terlepas juga dari soal tehnis, buku ini merupakan kajian pertama dari seorang tengku dayah terhadap persoalan “yang lebih membumi”, dalam konteks persoalan Aceh hari ini. Ketika konflik berkepanjangan membutuhkan sebuah solusi bernuansa “sejuk” dari dunia dayah, dan ditengah kelangkaan karya dari pemikiran ulama, buku ini ibarat sebuah “hadiah intelektual” yang menggugah dan spesial dari Abu Panton. Sangat menarik, mengingat H.C. Zentgraaff, seorang sejarawan Belanda, juga mengakui peran ulama tak bisa diabaikan, itu pasti. Bahwa peran itu tak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat Aceh, adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dibantah hingga hari ini. Pun ketika Aceh hinggar binggar dengan limpahan uang tsunami.

Dari bacaan pengalaman hidupnya, Abu menarik sebuah konklusi, bahwa begitu banyak pemicu konflik, dalam ranah ke-Acehan beliau bersepaham “ketidakarifan dalam menyikapi keberagaman” menjadi pangkalnya. Bahwa pesan kodrati semesta sudah menciptakan banyak perbedaan ras, bersamaan dengan lahirnya proses ta’arafu (saling kenal mengenal), pada akhirnya mengilhami kita dalam konteks kasus yang ada, untuk terus "belajar" dari tradisi ke-Islaman. Pengayaan spiritual dan membangun kesabaran, menjadi sebuah solusi strategis. Ini juga yang kemudian mendudukkan semua pihak dalam satu meja di Helsinki, dengan menghadirkan Martti Ahtisaari sebagai mediator juru damai. Terlepas dari muatan politik dimasing-masing pihak. Setidaknya sikap mengadopsi konsep al shulh atau ishlah, itu melahirkan “perdamaian” hingga detik ini. 

Wacana ini menarik, meski sedikit diganggu hal tehnis, terutama adanya rujukan ayat/hadist yang tak disertai “baris”, yang akan menyulitkan awam dalam pemahaman ayat/hadist yang tersaji. Termasuk sedikit kesalahan penulisan dalam hadist hal 12. Hal lain, terkait dengan sisi tehnis pengetikan, terasa “pembaca kritis”, sedikit kehilangan peran kritisnya. Setidaknya ada 35 kesalahan yang tertangkap mata di bab empat, tak melulu soal salah ketik, tapi juga penyebutan sumber sejarah yang salah, semisal Zentgraaff atau ZentGraaft, Aja Leumiek atau Aja Lamiek atau kesalahan penulisan nomor UUPA, hal 118, yang sedikit mengganggu.

Cover, ini juga satu soal sederhana namun krusial, karena hampir selalu luput di balik pentingnya kontens. Padahal jatuh cinta bisa dimulai pada pandangan pertama. Bahkan karena ini sebuah “sejarah”, hendaknya dihadirkan dengan kemasan yang tak mesti harus “wah”, namun harus bernilai jual tinggi secara marketing, "modis" [mungkin pilihan kata yang perlu dipertimbangkan untuk sajian cover] dan punya bargaining power daya beli orang, bahkan sebisa mungkin menjadi “penyemangat” penulis lain berkarya. Sayangnya ini “terlewatkan” oleh tim buku ini. Namun hal lain yang patut mendapat pujian, adalah adanya resume, diakhir masing-masing bab, sehingga membantu menjelaskan “intisari” tulisan.

Masuk dalam pembahasan soal “Moratorium perang” ala Nabi di kajian awal refleksi sirah Nabawiyah dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah, merupakan tawaran wacana menarik. Terasa punya kedekatan perspektif dengan kasus Aceh, meski problem Aceh lebih komplikatif. Dan ini seharusnya juga menjadi sebuah “kaji” serius buat Abu, untuk lebih “kongkrit” dalam bersikap sebagai ulama dayah, dengan HUDA sebagai gerbong politiknya, dalam konteks mencari solusi damai Aceh. Sehingga kajian normatif ini sejalan dengan konteks aplikasi konflik di Aceh kini.

Bab paling menarik dari kajian Abu, adalah ketika mencari benang merah meudamee Aceh. Ketika menyandingkan dua term, shulh yang telah ter-absorb [meresap] dalam keseharian dialek Aceh menjadi shuloh. Kemiripan cara pengucapan tak hanya menyiratkan sekedar terminologi, tapi sebuah kedekatan adat Aceh dan kultur Islam. Lebih jauh bahkan adat Aceh telah mengadopnya dalam sebuah hukom; hukom keujroh. Term ini menarik untuk dikaji lebih mendalam, mengingat keduanya memiliki makna yang sama soal “Penghentian perselisihan”. Keujroh berasal dari kata "jroh" yang bermakna "baik, maslahat atau damai", diimbuhi "keu" yang bermakna kata "untuk".

Paduan norma agama dan nilai adat, dalam simbol semantik, digambarkan dalam Hadih maja: Adat ngen hukom, lagee zat ngen sifeut. Adat harus beriring hukum, dan hukum dalam konteks Aceh adalah syariat. Karena ini menyangkut sebuah “identitas” tata aturan kehidupan di Bumoe Nanggroe Aceh Darussalam.

Jika merunut pada maknawi hadih maja, tersirat begitu banyak tata nilai, semisal tajak ubee lot tapak, taduk ube lot punggong, berjalan sebesar telapak, duduk seukuran pinggul, yang memberikan makna berlaku wajar, bebas dan bertanggung jawab. Bahkan secara spesifik hadih maja, menawarkan sebuah solusi praktis, mencari jalan tengah meudamee; pantang peudeung meulinteung sarong/pantang rincong meubalek mata/ pantang ureueng diteu’oeh kawom/pantang hukom peujeut perkara. Makna Hadih maja kedua terakhir, mengajarkan bagaimana memahami orang. Ini konsep yang sejak semula digagas Abu dalam menjembatani dan membangun perdamaian Aceh. Bahwa keniscayaan kearifan dalam memahami disparitas keberagaman, bisa dan telah menyulut konflik tepat di “sumbunya”. Ditambah multiple efek, layaknya efek domino yang susul menyusul sebagai “bumbunya”, semisal, ketidakselarasan sistem “bagi jatah” hasil bumi.

Nuansa menarik dalam shuloh atau hukom keujroh dalam adat Aceh ditamsilkan dalam hadih maja:Uleu beumate, ranteng bek patah/tatarek panyang, talingkang paneuk. Nilai filosofinya, adalah bagaimana mencari jalan arif, tanpa menimbulkan “luka” baru, “ular mati namun ranting tak patah”. Demikian juga dalam soal qishash: luka tasipat, darah tasukat /luka diukur, darah ditukar. Ini diilhami oleh Al-Qur’an dengan tak mengedepankan dendam. Soal diyat/diet (lihat surat Al-Baqarah:178) proses penyerahannya diistilahkan dengan proses sayam atau meudamee. Bahkan ini terkonsep konkrit dalam hadih maja: diet ngen qishash hukom Tuhan, hanjeut peusaban ngen adat raja. Untuk menghasilkan solusi keadilan dalam dua ranah, adat dan agama: bak adat beujikuluem, bak hukom beujimameh. 

Pandangan visioner ini ditujukan pada perspektif perdamaian yang mengedepankan masa depan lebih baik daripada benih pertikaian itu sendiri. Nibak teumeupake get tameuget, atra ban set, syedara pih na (daripada bertikai lebih baik berdamai, harta utuh, saudara bertambah). Bahasan ini menarik karena nuansa kajiannya “Aceh sekali” namun religius. Sisi ini, akan jadi masukan baru, tak lagi sekedar di pandang sebelah mata, tapi menjadi sebuah kajian komprehensif. Dan kita sepakat bahwa momen damai ini, adalah saat tepat untuk menggali nilai dan identitas ke-Aceh-an yang mengatur tata sosial. Setidaknya itu akan menggiring dan berimplikasi pada sentralisasi kembali peran ulama dalam masyarakat Aceh. Dan bukan tidak mungkin kita kembali akan berjaya, melihat lagi "masterpiece", sekaliber Bustanusalatin, dalam perspektif Aceh modern di hari-hari mendatang yang lebih strategis dalam merespon soal aktual Aceh. Dibantu “mata ketiga” Hikayat Abu Teucreung yang visioner, memprediksi masa depan Aceh, agar kita optimis dan tak berbalik menjadi bumerang, Aceh yang pesimis dengan masa depannya sendiri; hantrep zameun meunan Aceh, meubeh lom brok nibak yang ka [hans]

1 komentar:

  1. acehdigest note's:
    catatan penting yang harus digaris bawahi dari kisah buku abu panton,bahwa tradisi tutur yang mengakar kuat harus diimbangi dengan adanya keinginan kita untuk menggali, membantu "translate" bahasa tutur mereka dengan bahasa tulis. ini setidaknya bisa mengurangi dan mengakhiri "kecemasan" kita, hilangnya berbagai karya penting ulama dayah kita, yang sampai hari ini masih tersimpan dalam coretan dan benak para teungku.

    saleum

    BalasHapus