by hanif sofyan
Judul: Resolusi konflik dalam islam;
kajian normatif dan historis perspektif ulama dayah
Pengarang: Tgk.H. Ibrahim Bardan [Abu Panton]
Editor: Hasan Basri M.Nur
Penerbit: Aceh Institute Press
Hal:xxxii+166 hlm; 14,2x21 cm
Kehadiran buku sederhana ini, setidaknya bakal menyemangati “Dunia Dayah” untuk lebih “melirik” persoalan-persoalan Aceh terkini. Tak khusus hanya menyorot soal meudamee [perdamaian],yang hingga hari ini--pun, masih terus “berjibaku” kita jaga. Kelak banyak persoalan akan menjadi kajian para tengku, di balee meunasah bersahaja.
Tahun 1953, menandai titik balik bagi seorang Abu Panton. Sebuah babak baru setelah puluhan tahun konflik menjadi “jeda” dan matinya tradisi “daras keilmuan dayah”. Babak ini penting, mengingat tahun-tahun tersebut merupakan tahun kelam. Sekedar menjadi guru saja, orang kehilangan “nyali”, konon lagi jadi tengku dayah, nanti malah disangka "cuak". Pilihan amannya cuma,“golput”; meminjam istilah Abu untuk tidak memilih keduanya, karena bahaya imbas konflik.
Kelam militer, konflik, kekerasan, perseteruan yang tak berujung dan tak pernah berhenti sejak perang Aceh ratusan tahun lalu, kemudian menggugah Abu untuk memulai bahasan buku “sederhana” ini.
Meskipun harus diakui, dengan sistematika penulisan yang dibangun tim editor, buku ini terasa kaku dengan gaya akademis. Data-data yang terpapar merupakan referensi tambahan yang digali kemudian, karena kebutuhan untuk memperkaya bahan dari “tuturan” penulis. Bahkan secara terus terang, penulisnya sendiri belum melakukan kaji yang mendalam terhadap naskah final buku ini. Sehingga kekuatan tuturan Abu, yang barangkali bisa menjadi bagian yang bisa menambah bobot dan "daya magis karisma teungku" hilang dalam kekakuan seriusnya bahasa akademis. Namun terlepas dari soal itu, hal penting yang mendesak, bahwa di “sandera”nya Abu untuk penulisan ini, menunjukkan ada kebutuhan yang sama mendesaknya akan gagasan, ide yang selama ini “terkurung” di dayah.
Terlepas juga dari soal tehnis, buku ini merupakan kajian pertama dari seorang tengku dayah terhadap persoalan “yang lebih membumi”, dalam konteks persoalan Aceh hari ini. Ketika konflik berkepanjangan membutuhkan sebuah solusi bernuansa “sejuk” dari dunia dayah, dan ditengah kelangkaan karya dari pemikiran ulama, buku ini ibarat sebuah “hadiah intelektual” yang menggugah dan spesial dari Abu Panton. Sangat menarik, mengingat H.C. Zentgraaff, seorang sejarawan Belanda, juga mengakui peran ulama tak bisa diabaikan, itu pasti. Bahwa peran itu tak bisa dilepaskan dari keseharian masyarakat Aceh, adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dibantah hingga hari ini. Pun ketika Aceh hinggar binggar dengan limpahan uang tsunami.
Dari bacaan pengalaman hidupnya, Abu menarik sebuah konklusi, bahwa begitu banyak pemicu konflik, dalam ranah ke-Acehan beliau bersepaham “ketidakarifan dalam menyikapi keberagaman” menjadi pangkalnya. Bahwa pesan kodrati semesta sudah menciptakan banyak perbedaan ras, bersamaan dengan lahirnya proses ta’arafu (saling kenal mengenal), pada akhirnya mengilhami kita dalam konteks kasus yang ada, untuk terus "belajar" dari tradisi ke-Islaman. Pengayaan spiritual dan membangun kesabaran, menjadi sebuah solusi strategis. Ini juga yang kemudian mendudukkan semua pihak dalam satu meja di Helsinki, dengan menghadirkan Martti Ahtisaari sebagai mediator juru damai. Terlepas dari muatan politik dimasing-masing pihak. Setidaknya sikap mengadopsi konsep al shulh atau ishlah, itu melahirkan “perdamaian” hingga detik ini.
Wacana ini menarik, meski sedikit diganggu hal tehnis, terutama adanya rujukan ayat/hadist yang tak disertai “baris”, yang akan menyulitkan awam dalam pemahaman ayat/hadist yang tersaji. Termasuk sedikit kesalahan penulisan dalam hadist hal 12. Hal lain, terkait dengan sisi tehnis pengetikan, terasa “pembaca kritis”, sedikit kehilangan peran kritisnya. Setidaknya ada 35 kesalahan yang tertangkap mata di bab empat, tak melulu soal salah ketik, tapi juga penyebutan sumber sejarah yang salah, semisal Zentgraaff atau ZentGraaft, Aja Leumiek atau Aja Lamiek atau kesalahan penulisan nomor UUPA, hal 118, yang sedikit mengganggu.
Cover, ini juga satu soal sederhana namun krusial, karena hampir selalu luput di balik pentingnya kontens. Padahal jatuh cinta bisa dimulai pada pandangan pertama. Bahkan karena ini sebuah “sejarah”, hendaknya dihadirkan dengan kemasan yang tak mesti harus “wah”, namun harus bernilai jual tinggi secara marketing, "modis" [mungkin pilihan kata yang perlu dipertimbangkan untuk sajian cover] dan punya bargaining power daya beli orang, bahkan sebisa mungkin menjadi “penyemangat” penulis lain berkarya. Sayangnya ini “terlewatkan” oleh tim buku ini. Namun hal lain yang patut mendapat pujian, adalah adanya resume, diakhir masing-masing bab, sehingga membantu menjelaskan “intisari” tulisan.
Masuk dalam pembahasan soal “Moratorium perang” ala Nabi di kajian awal refleksi sirah Nabawiyah dalam kasus Perjanjian Hudaibiyah, merupakan tawaran wacana menarik. Terasa punya kedekatan perspektif dengan kasus Aceh, meski problem Aceh lebih komplikatif. Dan ini seharusnya juga menjadi sebuah “kaji” serius buat Abu, untuk lebih “kongkrit” dalam bersikap sebagai ulama dayah, dengan HUDA sebagai gerbong politiknya, dalam konteks mencari solusi damai Aceh. Sehingga kajian normatif ini sejalan dengan konteks aplikasi konflik di Aceh kini.
Bab paling menarik dari kajian Abu, adalah ketika mencari benang merah meudamee Aceh. Ketika menyandingkan dua term, shulh yang telah ter-absorb [meresap] dalam keseharian dialek Aceh menjadi shuloh. Kemiripan cara pengucapan tak hanya menyiratkan sekedar terminologi, tapi sebuah kedekatan adat Aceh dan kultur Islam. Lebih jauh bahkan adat Aceh telah mengadopnya dalam sebuah hukom; hukom keujroh. Term ini menarik untuk dikaji lebih mendalam, mengingat keduanya memiliki makna yang sama soal “Penghentian perselisihan”. Keujroh berasal dari kata "jroh" yang bermakna "baik, maslahat atau damai", diimbuhi "keu" yang bermakna kata "untuk".
Paduan norma agama dan nilai adat, dalam simbol semantik, digambarkan dalam Hadih maja: Adat ngen hukom, lagee zat ngen sifeut. Adat harus beriring hukum, dan hukum dalam konteks Aceh adalah syariat. Karena ini menyangkut sebuah “identitas” tata aturan kehidupan di Bumoe Nanggroe Aceh Darussalam.
Jika merunut pada maknawi hadih maja, tersirat begitu banyak tata nilai, semisal tajak ubee lot tapak, taduk ube lot punggong, berjalan sebesar telapak, duduk seukuran pinggul, yang memberikan makna berlaku wajar, bebas dan bertanggung jawab. Bahkan secara spesifik hadih maja, menawarkan sebuah solusi praktis, mencari jalan tengah meudamee; pantang peudeung meulinteung sarong/pantang rincong meubalek mata/ pantang ureueng diteu’oeh kawom/pantang hukom peujeut perkara. Makna Hadih maja kedua terakhir, mengajarkan bagaimana memahami orang. Ini konsep yang sejak semula digagas Abu dalam menjembatani dan membangun perdamaian Aceh. Bahwa keniscayaan kearifan dalam memahami disparitas keberagaman, bisa dan telah menyulut konflik tepat di “sumbunya”. Ditambah multiple efek, layaknya efek domino yang susul menyusul sebagai “bumbunya”, semisal, ketidakselarasan sistem “bagi jatah” hasil bumi.
Nuansa menarik dalam shuloh atau hukom keujroh dalam adat Aceh ditamsilkan dalam hadih maja:Uleu beumate, ranteng bek patah/tatarek panyang, talingkang paneuk. Nilai filosofinya, adalah bagaimana mencari jalan arif, tanpa menimbulkan “luka” baru, “ular mati namun ranting tak patah”. Demikian juga dalam soal qishash: luka tasipat, darah tasukat /luka diukur, darah ditukar. Ini diilhami oleh Al-Qur’an dengan tak mengedepankan dendam. Soal diyat/diet (lihat surat Al-Baqarah:178) proses penyerahannya diistilahkan dengan proses sayam atau meudamee. Bahkan ini terkonsep konkrit dalam hadih maja: diet ngen qishash hukom Tuhan, hanjeut peusaban ngen adat raja. Untuk menghasilkan solusi keadilan dalam dua ranah, adat dan agama: bak adat beujikuluem, bak hukom beujimameh.
Pandangan visioner ini ditujukan pada perspektif perdamaian yang mengedepankan masa depan lebih baik daripada benih pertikaian itu sendiri. Nibak teumeupake get tameuget, atra ban set, syedara pih na (daripada bertikai lebih baik berdamai, harta utuh, saudara bertambah). Bahasan ini menarik karena nuansa kajiannya “Aceh sekali” namun religius. Sisi ini, akan jadi masukan baru, tak lagi sekedar di pandang sebelah mata, tapi menjadi sebuah kajian komprehensif. Dan kita sepakat bahwa momen damai ini, adalah saat tepat untuk menggali nilai dan identitas ke-Aceh-an yang mengatur tata sosial. Setidaknya itu akan menggiring dan berimplikasi pada sentralisasi kembali peran ulama dalam masyarakat Aceh. Dan bukan tidak mungkin kita kembali akan berjaya, melihat lagi "masterpiece", sekaliber Bustanusalatin, dalam perspektif Aceh modern di hari-hari mendatang yang lebih strategis dalam merespon soal aktual Aceh. Dibantu “mata ketiga” Hikayat Abu Teucreung yang visioner, memprediksi masa depan Aceh, agar kita optimis dan tak berbalik menjadi bumerang, Aceh yang pesimis dengan masa depannya sendiri; hantrep zameun meunan Aceh, meubeh lom brok nibak yang ka [hans]
acehdigest note's:
BalasHapuscatatan penting yang harus digaris bawahi dari kisah buku abu panton,bahwa tradisi tutur yang mengakar kuat harus diimbangi dengan adanya keinginan kita untuk menggali, membantu "translate" bahasa tutur mereka dengan bahasa tulis. ini setidaknya bisa mengurangi dan mengakhiri "kecemasan" kita, hilangnya berbagai karya penting ulama dayah kita, yang sampai hari ini masih tersimpan dalam coretan dan benak para teungku.
saleum