Mon, May 30th 2011, 08:28
-
WACANA demokrasi di Aceh kembali muncul sejak adanya upaya judicial review sebagai upaya pembukaan kembali sumbatan hak politik warga pada UUPA tentang jalur perseorangan. Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 menyatakan Pasal 256 UU Pemerintahan berakibat pada terlanggarnya hak warga negara di Aceh yang dijamin oleh Pasal 28 D ayat (1) dan (4) UUD 1945. Hal ini diupayakan penolakannya dengan berbagai dalih oleh Partai Aceh.
Kini wacana itu merebak di sekitar upaya KIP untuk bersikeras menyelenggarakan Pilkada 2011 sesuai dengan Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011. Sebenarnya, meskipun kedua hal itu terkait, tetapi ini adalah 2 hal yang berbeda. Sialnya, dalam wacana politik sering dicampur-adukkan, sebagaimana pengadukan antara judicial review dan revisi UUPA di awal kemunculan perdebatan tentang pembukaan kembali jalur perseorangan dalam sistem demokrasi di Aceh.
Andai ahli kebidanan politik melihat proses kelahiran Pilkada 2011 yang sedang ditangani, baik oleh DPRA (PA) maupun KIP dewasa ini, mungkin mereka akan menarik kesimpulan bahwa pilkada merupakan produk kehamilan ektopia. Hal ini bisa terjadi dalam konteks politik Aceh, antara lain, karena rahim demokrasi telah terjangkiti kuman, adanya instrumen kehamilan, atau akibat dari seringnya bergantian pasangan seks sehingga zigot-zigot politik Aceh berada di luar rahim.
KIP
Ada teknokrat hukum yang menyatakan bahwa KIP adalah subordinasi KPU. Tentunya, ada benarnya secara struktural. Tetapi, apakah KIP dapat menyelenggarakan Pilkada hanya atas dasar Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011? Tentu, kewenangan penyelenggaraan pilkada berada ditangan KIP, tetapi apakah atas dasar surat KPU ataukah qanun sebagai turunan UUPA? Sementara UUPA telah mengaturnya secara rinci di dalam Bab IX dan X.
Karena itu, masalahnya bukan apakah Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011 itu sesuai atau bertentangan dengan perundang-undangan yang ada. Demikian pula, undang-undang yang manakah yang menjadi acuannya? Sementara UUPA yang telah mengaturnya dengan rinci hingga saat ini belum melahirkan turunannya yang berupa qanun Pilkada. Lalu, bagaimanakah relasi di dalam sistem hukumnya antara Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011 yang menjadi rujukan SK KIP Aceh No. 1/2011 dengan UUPA?
Bagi Mukhlis Mukhtar, jika KIP menyelenggarakan pilkada atas dasar Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011 berarti sebuah tindakan politik yang tidak memiliki landasan hukum dalam konteks status politik otonomi khusus Aceh, yang sepenuhnya telah diatur dengan rinci pada UUPA. Hal ini berbeda dengan kasus Tata Tertib DPRA yang perinciannya diatur pada UU No. 27/2009, bukannya pada UUPA.
Jika dilihat dari sebab keluarnya kebijakan penyelenggaraan Pilkada 2011 oleh KIP, jelas tidak terlepas dari upaya politik pihak eksekutif, baik pusat maupun Aceh. Persekongkolan itu, di antaranya, berupa rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang memutuskan pilkada tak boleh ditunda, dan tahapan dimulai pada Mei 2011. Pada saat yang bersamaan, KIP mengupayakan rekomendasi tertulis dari pihak KPU untuk hal penyelenggaraan pilkada. Tambahan pula, opini ke publik oleh eksekutif Aceh-Pusat dan KIP-KPU adalah berjalan paralel sehingga semakin menjadi sulit untuk menjelaskan tidak ada kaitan antara keduanya.
Dalam hal ini, pertama, jelas sekali bahwa KIP lebih taat asas pada rekomendasi KPU daripada UUPA manakala Ilham mengatakan: “Apa pun putusan KPU, akan kami laksanakan.” Ketua KIP Aceh, Abdul Salam Poroh pun mendikotomikan antara berdasarkan qanun atau Peraturan KPU.
PA
Sementara PA, melalui DPRA, hendak melahirkan qanun Pilkada yang mengabaikan keputusan MK. Bahkan jubir Partai Aceh menuduh Mahkamah Konstitusi telah melakukan pembohongan publik. Pernyataan demikian jelas menunjukkan kemiskinan pengetahuan tentang sistem hukum nasional, yang mana UUPA merupakan bagian dari sistem tersebut.
Memang perihal kemiskinan pengetahuan menjadi menonjol dewasa ini. Pertama, terkesan ada ketidakjernihan dalam memahami perihal keistimewaan dan kekhususan. Kedua hal tersebut sering dicampur-adukkan. Padahal keistimewaan Aceh berkaitan dengan masalah agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan politik. Kalau hal ini diabaikan, maka keistimewaan Aceh dengan sendirinya akan hilang. Salah satu konsekuensinya, MPU harus kembali menjadi MUI Aceh. Lalu, MPD dan MAA menjadi institusi yang tanpa payung hukum. Jika demikian halnya, lalu apakah yang dimaksudkan oleh pernyataan juru bicara PA Fachrul Razi bahwa Mahkamah Konstitusi telah melanggar status keistimewaan Aceh?
Kekhususan tentunya berkenaan dengan status otonomi bagi Aceh. Hal ini secara tegas dinyatakan ruang lingkupnya, dan bagaimana relasi UUPA --sebagai lex specialis derogat legi generali--dengan produk politik (undang-undang yang setingkat) lainnya. Misalnya, kasus pengacuan Tatib DPRA/K antara UUPA dan UU No. 27/2009. Bagaimana pula relasi antara UUPA dengan UUD 1945 sebagai Konstitusi. Hal ini penting, manakala di satu pihak, konstitusi menjamin hak-hak politik individu dalam kehidupan bernegara, sebagaimana pada Pasal 28 D ayat (1) dan (4) . Namun, di lain pihak, Pasal 256 di dalam Bab Ketentuan Peralihan pada UUPA justru menyumbat hak-hak politik individu yang sebelumnya justru telah dibuka pada Pasal 67 UUPA itu sendiri.
Hal kedua, adalah kerancuan dalam memahami antara judicial review dengan revisi atau perubahan UUPA, sebagaimana yang terjadi di dalam opini-opini pada masa awal upaya untuk melakukan judicial review pasal 256 tersebut. Bagaimana perbedaan ruang lingkup dan mekanismenya.
Kerancuan itu terus membiak hingga tiba pada sikap politik bahwa putusan MK-yang berelasi langsung dengan konstitusi-disimpulkan sebagai tidak mengikat. Sementara MK memang tidak memiliki kewenangan menjadi eksekutor terhadap keputusannya sendiri. MK bisa mengatakan kalau pemerintah hendak menegakkan konstitusi maka dengan sendirinya pemerintah harus mengeksekusi putusan MK tersebut. Anehnya, pihak pemerintah Pusat-Aceh justru banyak menghabiskan energinya untuk memaksakan terselenggaranya Pilkada 2011 daripada upaya untuk mengeksekusi putusan MK.
Sejauh ini, perkembangan politik di Aceh telah menunjukkan bagaimana KIP maupun PA (melalui DPRA) telah menjadi institusi-institusi yang berperan dalam menempatkan zigot-zigot politik berada di luar ‘rahim’.
Celakanya, pihak pemerintah Pusat yang seharusnya berperan sebagai pihak yang mengeksekusi keputusan MK, justru terjebak di dalam perseteruan politik lokal antara pihak eksekutif (dari PA) dengan legislatif (yang didomnasi oleh PA). Kasus yang berada di dalam domain domestik PA telah ditransformasikan menjadi masalah politik demokrasi Aceh dan sekarang berubah menjadi masalah Pusat-Aceh. Lalu, siapa menjebak siapa dalam kontestasi politik ini?
Ketika zigot politik berada di luar rahim, maka akan terjadi 2 kemungkinan: pertama kandungan tidak panjang usianya; dan kedua, bisa mengancam si ibu. Nah, kedua hal itu menyimbolkan apakah dalam konteks politik Aceh-Indonesia?
* Penulis adalah sosiolog dengan fokus Aceh.
Kini wacana itu merebak di sekitar upaya KIP untuk bersikeras menyelenggarakan Pilkada 2011 sesuai dengan Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011. Sebenarnya, meskipun kedua hal itu terkait, tetapi ini adalah 2 hal yang berbeda. Sialnya, dalam wacana politik sering dicampur-adukkan, sebagaimana pengadukan antara judicial review dan revisi UUPA di awal kemunculan perdebatan tentang pembukaan kembali jalur perseorangan dalam sistem demokrasi di Aceh.
Andai ahli kebidanan politik melihat proses kelahiran Pilkada 2011 yang sedang ditangani, baik oleh DPRA (PA) maupun KIP dewasa ini, mungkin mereka akan menarik kesimpulan bahwa pilkada merupakan produk kehamilan ektopia. Hal ini bisa terjadi dalam konteks politik Aceh, antara lain, karena rahim demokrasi telah terjangkiti kuman, adanya instrumen kehamilan, atau akibat dari seringnya bergantian pasangan seks sehingga zigot-zigot politik Aceh berada di luar rahim.
KIP
Ada teknokrat hukum yang menyatakan bahwa KIP adalah subordinasi KPU. Tentunya, ada benarnya secara struktural. Tetapi, apakah KIP dapat menyelenggarakan Pilkada hanya atas dasar Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011? Tentu, kewenangan penyelenggaraan pilkada berada ditangan KIP, tetapi apakah atas dasar surat KPU ataukah qanun sebagai turunan UUPA? Sementara UUPA telah mengaturnya secara rinci di dalam Bab IX dan X.
Karena itu, masalahnya bukan apakah Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011 itu sesuai atau bertentangan dengan perundang-undangan yang ada. Demikian pula, undang-undang yang manakah yang menjadi acuannya? Sementara UUPA yang telah mengaturnya dengan rinci hingga saat ini belum melahirkan turunannya yang berupa qanun Pilkada. Lalu, bagaimanakah relasi di dalam sistem hukumnya antara Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011 yang menjadi rujukan SK KIP Aceh No. 1/2011 dengan UUPA?
Bagi Mukhlis Mukhtar, jika KIP menyelenggarakan pilkada atas dasar Surat Edaran KPU Nomor 135/KPU/V/2011 berarti sebuah tindakan politik yang tidak memiliki landasan hukum dalam konteks status politik otonomi khusus Aceh, yang sepenuhnya telah diatur dengan rinci pada UUPA. Hal ini berbeda dengan kasus Tata Tertib DPRA yang perinciannya diatur pada UU No. 27/2009, bukannya pada UUPA.
Jika dilihat dari sebab keluarnya kebijakan penyelenggaraan Pilkada 2011 oleh KIP, jelas tidak terlepas dari upaya politik pihak eksekutif, baik pusat maupun Aceh. Persekongkolan itu, di antaranya, berupa rapat dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, yang memutuskan pilkada tak boleh ditunda, dan tahapan dimulai pada Mei 2011. Pada saat yang bersamaan, KIP mengupayakan rekomendasi tertulis dari pihak KPU untuk hal penyelenggaraan pilkada. Tambahan pula, opini ke publik oleh eksekutif Aceh-Pusat dan KIP-KPU adalah berjalan paralel sehingga semakin menjadi sulit untuk menjelaskan tidak ada kaitan antara keduanya.
Dalam hal ini, pertama, jelas sekali bahwa KIP lebih taat asas pada rekomendasi KPU daripada UUPA manakala Ilham mengatakan: “Apa pun putusan KPU, akan kami laksanakan.” Ketua KIP Aceh, Abdul Salam Poroh pun mendikotomikan antara berdasarkan qanun atau Peraturan KPU.
PA
Sementara PA, melalui DPRA, hendak melahirkan qanun Pilkada yang mengabaikan keputusan MK. Bahkan jubir Partai Aceh menuduh Mahkamah Konstitusi telah melakukan pembohongan publik. Pernyataan demikian jelas menunjukkan kemiskinan pengetahuan tentang sistem hukum nasional, yang mana UUPA merupakan bagian dari sistem tersebut.
Memang perihal kemiskinan pengetahuan menjadi menonjol dewasa ini. Pertama, terkesan ada ketidakjernihan dalam memahami perihal keistimewaan dan kekhususan. Kedua hal tersebut sering dicampur-adukkan. Padahal keistimewaan Aceh berkaitan dengan masalah agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam kebijakan politik. Kalau hal ini diabaikan, maka keistimewaan Aceh dengan sendirinya akan hilang. Salah satu konsekuensinya, MPU harus kembali menjadi MUI Aceh. Lalu, MPD dan MAA menjadi institusi yang tanpa payung hukum. Jika demikian halnya, lalu apakah yang dimaksudkan oleh pernyataan juru bicara PA Fachrul Razi bahwa Mahkamah Konstitusi telah melanggar status keistimewaan Aceh?
Kekhususan tentunya berkenaan dengan status otonomi bagi Aceh. Hal ini secara tegas dinyatakan ruang lingkupnya, dan bagaimana relasi UUPA --sebagai lex specialis derogat legi generali--dengan produk politik (undang-undang yang setingkat) lainnya. Misalnya, kasus pengacuan Tatib DPRA/K antara UUPA dan UU No. 27/2009. Bagaimana pula relasi antara UUPA dengan UUD 1945 sebagai Konstitusi. Hal ini penting, manakala di satu pihak, konstitusi menjamin hak-hak politik individu dalam kehidupan bernegara, sebagaimana pada Pasal 28 D ayat (1) dan (4) . Namun, di lain pihak, Pasal 256 di dalam Bab Ketentuan Peralihan pada UUPA justru menyumbat hak-hak politik individu yang sebelumnya justru telah dibuka pada Pasal 67 UUPA itu sendiri.
Hal kedua, adalah kerancuan dalam memahami antara judicial review dengan revisi atau perubahan UUPA, sebagaimana yang terjadi di dalam opini-opini pada masa awal upaya untuk melakukan judicial review pasal 256 tersebut. Bagaimana perbedaan ruang lingkup dan mekanismenya.
Kerancuan itu terus membiak hingga tiba pada sikap politik bahwa putusan MK-yang berelasi langsung dengan konstitusi-disimpulkan sebagai tidak mengikat. Sementara MK memang tidak memiliki kewenangan menjadi eksekutor terhadap keputusannya sendiri. MK bisa mengatakan kalau pemerintah hendak menegakkan konstitusi maka dengan sendirinya pemerintah harus mengeksekusi putusan MK tersebut. Anehnya, pihak pemerintah Pusat-Aceh justru banyak menghabiskan energinya untuk memaksakan terselenggaranya Pilkada 2011 daripada upaya untuk mengeksekusi putusan MK.
Sejauh ini, perkembangan politik di Aceh telah menunjukkan bagaimana KIP maupun PA (melalui DPRA) telah menjadi institusi-institusi yang berperan dalam menempatkan zigot-zigot politik berada di luar ‘rahim’.
Celakanya, pihak pemerintah Pusat yang seharusnya berperan sebagai pihak yang mengeksekusi keputusan MK, justru terjebak di dalam perseteruan politik lokal antara pihak eksekutif (dari PA) dengan legislatif (yang didomnasi oleh PA). Kasus yang berada di dalam domain domestik PA telah ditransformasikan menjadi masalah politik demokrasi Aceh dan sekarang berubah menjadi masalah Pusat-Aceh. Lalu, siapa menjebak siapa dalam kontestasi politik ini?
Ketika zigot politik berada di luar rahim, maka akan terjadi 2 kemungkinan: pertama kandungan tidak panjang usianya; dan kedua, bisa mengancam si ibu. Nah, kedua hal itu menyimbolkan apakah dalam konteks politik Aceh-Indonesia?
* Penulis adalah sosiolog dengan fokus Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar