Mon, May 23rd 2011, 08:10
- Kutipan ini sekarang relevan dengan kondisi pendidikan di Aceh. Anak-anak yang semestinya pintar bisa menjadi bodoh hanya karena pendidikan yang salah kaprah. Jika semua anak tidak lulus Ujian Nasional (UN), paling tidak ada bagian kesalahan orang tua, guru, sekolah, dan pemerintah.
Sangat mengherankan jika ada sekolah yang 100% siswanya tidak lulus seperti yang terjadi pada SMAN 3 Simeulue Tengah. Kegagalan UN di satu SMA di daerah terpencil ini adalah puncak gunung es dari masalah pendidikan di Aceh. Jika dapat dijamin 100% jujur dalam penyelenggaraan UN dan UAS, mungkin saja angka lulus UN di banyak sekolah lain di Aceh lebih rendah daripada angka kelulusan yang diumumkan.
Kita dapat bercermin dan sadar betapa rendahnya kualitas pendidikan di Aceh. Sungguh memprihatinkan karena dengan dana pendidikan yang besar dan dengan keistimewaan yang diberikan oleh undang-undang untuk pendidikan di provinsi ini, Aceh tidak lebih baik dari daerah tertinggal lain seperti Jambi, Maluku, dan Papua yang masih mempunyai sekolah dengan kelulusan UN nol persen, padahal secara nasional jumlah sekolah dengan nol persen lulus UN turun drastis dari 267 sekolah pada 2010 menjadi hanya 5 sekolah tahun ini. Kita harus memetik pelajaran penting dari kasus ini untuk perbaikan pendidikan Aceh secara umum di masa depan.
Berikut ini beberapa dugaan mengapa mutu pendidikan di Aceh rendah. Pertama, faktor orang tua. Banyak orang tua menganggap bahwa kesuksesan anak dalam pembelajaran adalah tanggungjawab sekolah dan pemerintah. Orang tua menyerahkan anak seratus persen kepada sekolah. Padahal sebagian besar waktu anak sebenarnya ada di luar sekolah, termasuk di rumah dan lingkungan mereka tinggal. Bagi sebagian orang tua, nilai angka di atas segala-galanya, padahal keberhasilan pendidikan anak ketika mereka dewasa lebih ditentukan oleh nilai-nilai afektif (akhlak, kejujuran, kreativitas, inisiatif, dan sejenisnya) serta kecakapan hidup (life-skills), bukan semata pengetahuan (kognitif).
Kedua, faktor guru. Seorang pengamat pendidikan menyatakan bahwa sebaik apapun kurikulum, jika guru yang mengajar tidak berkualitas, maka mutu pendidikan akan rendah. Secara total, rasio siswa-guru di beberapa kabupaten/kota di Aceh mencapai sekitar 1:10. Artinya, satu guru untuk 10 siswa, tapi penyebarannya tidak merata. Di banyak daerah terpencil, guru tidak cukup, apalagi guru mata pelajaran tertentu seperti Matematika, Fisika, dan Kimia. Yang banyak adalah guru PPKN. Belum lagi kualitasnya, belum tentu baik. Banyak guru terkonsentrasi di daerah perkotaan. Rekrutmen guru sering bernuansa KKN dan tidak berdasarkan kebutuhan sebenarnya.
Banyak guru selama bertahun-tahun tidak pernah ditingkatkan mutunya dengan pelatihan. Jika pun ada, seringkali hanya untuk mengumpulkan lembaran sertifikat yang banyak agar bisa lulus sertifikasi. Pelatihan yang diadakan oleh pemerintah sering bersifat tabrak-lari (hit-and-run), tidak terstruktur dengan baik dengan sertifikasi keahlian yang hanya diperoleh dengan ujian kompetensi tertentu. Tidak jarang guru mengumpulkan begitu banyak sertifikat pelatihan dan penyelenggara pun mengobral sertifikat. Tapi, adakah ini semua berkorelasi dengan peningkatan mutu proses belajar mengajar (PBM) di kelas?
Metode pembelajaran yang semestinya dapat melahirkan para pembelajar (learners), sehingga mereka terasah dan terbiasa berinisiatif dan kreatif dalam kehidupan mereka, malah metode hapal-menghapal yang diterapkan. Maka tidak heran, sekolah dan orangtua bangga jika anak mereka sanggup menghapal ini dan itu. Apakah seorang anak yang mampu menghapal nama-nama presiden di dunia di dunia, misalnya, akan menjadi orang hebat ketika mereka dewasa. Belum tentu. Karena mereka adalah seorang penghapal (memorizer) bukan pembelajar (learner). Seorang learner akan bertahan hidup dan dapat mengatasi masalah hidupnya karena punya inisiatif dan kreativitas ketika dewasa, tapi seorang memorizer hanya menjadi orang yang tergantung. Metode guru mengajar berpengaruh dalam hal ini.
Ketiga, faktor sekolah. Ini menyangkut masalah manajemen sekolah. Walaupun standard pengelolaan sekolah sudah tersedia (Permendiknas 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan), tapi banyak sekolah belum dikelola dengan baik. Salah satu contoh adalah pengelolaan dana BOS, sering tidak tepat sasaran. Sebagian sekolah membelanjakan dana BOS bukan untuk hal-hal yang secara langsung meningkatkan PBM. Buku untuk siswa kurang, tapi dana BOS dibelikan lukisan, misalnya. Dana ini sering dikelola tidak transparan. Komite Sekolah yang semestinya menjadi lembaga pengontrol sekolah sering tidak efektif karena tidak dipilih oleh wali siswa secara demokratis sesuai prosedur yang benar. Banyak kepala sekolah tidak kompeten dan pengangkatannya tanpa seleksi kompetensi.
Keempat, faktor pengawas. Pengawasan terhadap sekolah tidak berlangsung sesuai harapan. Tugas pengawasan sering hanya untuk memenuhi formalitas, jarang dijadikan sebagai instrumen untuk perbaikan lebih lanjut. Hasil pengawasan yang semestinya dimanfaatkan untuk evaluasi, malah sekedar formalitas belaka.
Kelima, kurikulum. Betapa sebagian anak-anak menderita stres dengan pelajaran yang di masa depan mungkin tidak bermanfaat sama sekali. Mereka kadang diangggap bodoh, kurang berpendidikan hanya karena gagal di sekolah. Semua terjadi karena sekolah menjadi indikator pendidikan, padahal di sekolah banyak pelajaran yang tidak penting yang dipaksakan untuk dipelajari. Ini masalah kurikulum dan materi dalam silabi yang tidak disesuaikan dengan kabutuhan. Bahkan sering pula muatan lokal dipaksakan dan disesaki dengan begitu banyak materi, tapi kurang substansi.
Keenam, faktor pengelolaan pendidikan oleh pemerintah. Ini merupakan ulasan yang panjang untuk lain waktu. Tapi, beberapa pertanyaan mungkin perlu kita pikirkan apa jawabannya. Apakah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sudah mengalokasikan dan menggunakan dana pendidikan secara tepat sasaran. Belum tentu. Ini semua perlu kajian dan evaluasi.
“Pendidikan nampaknya harus direvolusi”, kata seorang kolega. Ingat kutipan Einstein, mudah-mudahan sekolah tidak justru menjadi tempat menyia-nyiakan usia dan tenaga anak manusia. Seharusnya pendidikan tidak selalu identik dengan sekolah, dan idealnya sekolah bukan satu-satunya yang berhak menilai kadar terdidik atau tidaknya seseorang. Maka, kegagalan UN bukan kegagalan seluruhnya. Jangan terlalu gusar, masih ada harapan.
* Penulis adalah dosen FE Unsyiah, Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar