Mon, Jun 20th 2011, 09:27
- PILKADA, sejatinya sebagai medium bagi terpilihnya pemimpin yang kredibel, amanah dan bertanggung jawab. Agar yang terpilih adalah pemimpin sejati yang sesuai dengan harapan rakyat, maka prosesnya harus sesuai dengan nilai dan kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Ketika proses menuju pilkada dicederai oleh anasir-anasir mobokrasi, maka besar kemungkinan harapan untuk terpilihnya pemimpin yang kredibel, amanah dan bertanggung jawab semakin jauh dari kenyataan.
Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh ‘mob’, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi penuh destruksi (Lukmantoro, 2009). Bila kita melihat konstelasi politik Aceh belakangan ini, maka bisa dikatakan gejala mobokrasi semakin menemukan habitusnya di Aceh. Betapa tidak kekerasan politik kian masif; mulai dari kekerasan dalam soal tender proyek, “kekerasan” dalam pembuatan regulasi, hingga kekerasan yang terjadi di Pidie baru-baru ini pada seorang penceramah Maulid Nabi. Pelbagai kekerasan ini kalau dirunut secara serius dan seksama, maka kita bisa sampai pada sebuah simpulan pada apa yang namanya mobokrasi.
Mobokrasi merupakan virus yang menggerogoti demokrasi. Karena mobokrasi tak hanya membonsai nalar berdemokrasi tapi juga mematikanya dengan cara-cara anarkisme. Bagi para pengagum mobokrasi segala cara akan dilakukan--sekalipun licik dan picik--asalkan keinginan bisa tercapai. Sehingga tak heran kritik yang seyogyanya sebagai suplemen dalam menggerakan perubahan di tanggapi oleh pengaggum mobokrasi dengan cara yang membabi buta.
Perilaku mobokrasi ini boleh jadi sebagai cermin dari keroposnya mental berdemokrasi. Sehingga ketika ada kritik langsung diterkam tanpa mendahulukan sikap tabayyun melalui jalan dialogis. Padahal menurut seorang sosiolog Jerman “ kritik yang tidak jemu-jemunya dan dari saat ke saat menjaga agar pohon kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit.” Bahkan regulasi dikebiri untuk interest yang sifatnya parsial dan primordial.
Pola-pola mobokrasi ini merupakan karakter kekuasaan yang dibangun oleh Orde Baru. Sehingga kalau hari ini--di zaman reformasi ini--masih juga menggunakan pola yang sama maka bisa dikatakan sebagai kecelakaan sejarah. Dan pelakunya bisa di kategorikan sebagai kawan keledai yang doyan terperosok pada lubang yang sama.
Kalau ditelaah lebih luas lagi, maka perilaku mobokrasi ini boleh jadi sebagai wujud kegagapan dan kekerdilan berpolitik, sebagai dampak dari takut kalah. Sehingga digunakanlah cara-cara murahan untuk menggerus mental lawan politik. Menerabas, menelikung, menggusur dan memotong kompas adalah ciri dari politikus prematur yang haus akan kekuasaan ini, tapi tidak menghargai proses secara bermartabat. Elit model ini sangat mungkin menjadi komprador bagi rakyatnya sendiri kalau sudah berkuasa nantinya.
Karena itu, menjadi tanggung jawab semua komponen masyarakat Aceh untuk menjaga, mengawasi dan memantau setiap tahapan pilkada dari geliat anasir-anasir mobokrasi. Jangan sampai pilkada Aceh hanya sekadar gemuruh demokrasi prosedural yang sarat manipulasi, kebohongan dan kepalsuan. Sementara substansi demokrasi yang memosisikan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex) diabaikan.
Untuk itu, rakyat selaku pemilik kedaulatan dan suara dalam hajatan pilkada nantinya harus menentukan pilihan dengan berdasarkan pada pertimbangan rasionalitas, kebebasan dan nurani. Pertama, rasionalitas dalam menentukan pilihan. Keberadaan rasio atau akal dalam memilih calon kepala daerah sangat penting. Karena penggunaan akal akan menuntun pemilih untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas, berintegritas dan bermartabat.
Kedua, kebebasan merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi. Dalam konteks pilkada, kebebasan memilih adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, ketika ada calon kepala daerah ataupun tim sukses yang mengintervensi hak pilih kita, maka calon pemimpin seperti itu tidak layak untuk di pilih menjadi pemimpin. Karena ketika menjadi pemimpin ia akan menjadi anti kritik, mudah tersinggung, bahkan diktator.
Ketiga, jangan pernah sekali-kali mengenyampingkan nurani. Karena nurani akan menjadi “antibiotik” yang mengkanalkan rasio kita pada track yang benar. Nuranilah yang akan memberikan “imunitas” dari intimidasi, segepok rupiah dan segantang beras . Di atas itu semua adalah kesadaran etis para calon kepala daerah (gubernur) untuk membumikan pesan dan nilai-nilai demokrasi dalam setiap tahapan pilkada bagi terwujudnya demokrasi Aceh yang humanis, beradab dan kosmopolit.
* Muhamad Hamka adalah peminat kajian sosial dan politik.
Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh ‘mob’, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi penuh destruksi (Lukmantoro, 2009). Bila kita melihat konstelasi politik Aceh belakangan ini, maka bisa dikatakan gejala mobokrasi semakin menemukan habitusnya di Aceh. Betapa tidak kekerasan politik kian masif; mulai dari kekerasan dalam soal tender proyek, “kekerasan” dalam pembuatan regulasi, hingga kekerasan yang terjadi di Pidie baru-baru ini pada seorang penceramah Maulid Nabi. Pelbagai kekerasan ini kalau dirunut secara serius dan seksama, maka kita bisa sampai pada sebuah simpulan pada apa yang namanya mobokrasi.
Mobokrasi merupakan virus yang menggerogoti demokrasi. Karena mobokrasi tak hanya membonsai nalar berdemokrasi tapi juga mematikanya dengan cara-cara anarkisme. Bagi para pengagum mobokrasi segala cara akan dilakukan--sekalipun licik dan picik--asalkan keinginan bisa tercapai. Sehingga tak heran kritik yang seyogyanya sebagai suplemen dalam menggerakan perubahan di tanggapi oleh pengaggum mobokrasi dengan cara yang membabi buta.
Perilaku mobokrasi ini boleh jadi sebagai cermin dari keroposnya mental berdemokrasi. Sehingga ketika ada kritik langsung diterkam tanpa mendahulukan sikap tabayyun melalui jalan dialogis. Padahal menurut seorang sosiolog Jerman “ kritik yang tidak jemu-jemunya dan dari saat ke saat menjaga agar pohon kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit.” Bahkan regulasi dikebiri untuk interest yang sifatnya parsial dan primordial.
Pola-pola mobokrasi ini merupakan karakter kekuasaan yang dibangun oleh Orde Baru. Sehingga kalau hari ini--di zaman reformasi ini--masih juga menggunakan pola yang sama maka bisa dikatakan sebagai kecelakaan sejarah. Dan pelakunya bisa di kategorikan sebagai kawan keledai yang doyan terperosok pada lubang yang sama.
Kalau ditelaah lebih luas lagi, maka perilaku mobokrasi ini boleh jadi sebagai wujud kegagapan dan kekerdilan berpolitik, sebagai dampak dari takut kalah. Sehingga digunakanlah cara-cara murahan untuk menggerus mental lawan politik. Menerabas, menelikung, menggusur dan memotong kompas adalah ciri dari politikus prematur yang haus akan kekuasaan ini, tapi tidak menghargai proses secara bermartabat. Elit model ini sangat mungkin menjadi komprador bagi rakyatnya sendiri kalau sudah berkuasa nantinya.
Karena itu, menjadi tanggung jawab semua komponen masyarakat Aceh untuk menjaga, mengawasi dan memantau setiap tahapan pilkada dari geliat anasir-anasir mobokrasi. Jangan sampai pilkada Aceh hanya sekadar gemuruh demokrasi prosedural yang sarat manipulasi, kebohongan dan kepalsuan. Sementara substansi demokrasi yang memosisikan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex) diabaikan.
Untuk itu, rakyat selaku pemilik kedaulatan dan suara dalam hajatan pilkada nantinya harus menentukan pilihan dengan berdasarkan pada pertimbangan rasionalitas, kebebasan dan nurani. Pertama, rasionalitas dalam menentukan pilihan. Keberadaan rasio atau akal dalam memilih calon kepala daerah sangat penting. Karena penggunaan akal akan menuntun pemilih untuk memilih calon pemimpin yang berkualitas, berintegritas dan bermartabat.
Kedua, kebebasan merupakan prasyarat mutlak bagi demokrasi. Dalam konteks pilkada, kebebasan memilih adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, ketika ada calon kepala daerah ataupun tim sukses yang mengintervensi hak pilih kita, maka calon pemimpin seperti itu tidak layak untuk di pilih menjadi pemimpin. Karena ketika menjadi pemimpin ia akan menjadi anti kritik, mudah tersinggung, bahkan diktator.
Ketiga, jangan pernah sekali-kali mengenyampingkan nurani. Karena nurani akan menjadi “antibiotik” yang mengkanalkan rasio kita pada track yang benar. Nuranilah yang akan memberikan “imunitas” dari intimidasi, segepok rupiah dan segantang beras . Di atas itu semua adalah kesadaran etis para calon kepala daerah (gubernur) untuk membumikan pesan dan nilai-nilai demokrasi dalam setiap tahapan pilkada bagi terwujudnya demokrasi Aceh yang humanis, beradab dan kosmopolit.
* Muhamad Hamka adalah peminat kajian sosial dan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar