Wed, Jun 8th 2011, 08:00
- AGENDA pilkada kembali menjadi salah satu isu krusial di Aceh. Pro- kontra boleh tidaknya ada calon independen pun terus bergulir. Polemik kasus-kasus indikasi korupsi kian merebak. Karenanya menjadi penting untuk mencermati kondisi ini dengan arif sehingga tidak berpotensi merusak suasana damai di Aceh. Menyikapi kondisi tersebut, Koalisi ADTK yang merupakan kumpulan sembilan LSM yang fokus pada isu pemberantasan korupsi di Aceh menggelar konferensi pers perdana (22/03/2011) di Banda Aceh. Konferensi pers yang dihadiri beberapa jurnalis media massa kemudian menghasilkan sebuah kesimpulan bersama bahwa semua pihak harus mengambil peran positif untuk tetap mengawal proses demokratisasi, termasuk pada pelaksanaan pilkada di Aceh tahun ini. Harapan tersebut menjadi komitmen Koalisi ADTK bahwa pilkada tahun 2011 ini sebagai fase lanjutan yang cukup menentukan keberlangsungan damai di Aceh. Oleh sebab itu, segala bentuk provokasi dan intimidasi demi kepentingan partai politik dan atau kandidat yang ingin maju dalam pilkada nantinya harus dengan tegas ditolak oleh rakyat. Rakyat punya hak untuk tidak membenarkan dan menentang politik kotor. Hal demikian sangat tidak diharapkan di tengah besarnya harapan masyarakat akan keberlangsungan damai selama ini.
Di sisi lain, perlu kita ingatkan kembali agar bagi calon incumbent (kandidat yang saat ini berkuasa dan maju kembali dalam Pemilukada) tidak memanfaatkan jabatan dan mengarahkan sumber daya (birokrasi) sekaligus program pembangunan demi kepentingan politik praktis. Jangan politisasi APBA/APBK untuk kepentingan politik praktis pilkada. Pembahasan dan pengesahan anggaran menjadi alot dan berlarut-larut bukan lagi atas rasinolitas melainkan lebih dimotivasi oleh kepentingan politik menjelang pilkada. Hal demikian penting untuk ditegaskan sejak dini sehingga roda pemerintahan tidak terjebak pada politisasi kebijakan dan anggaran untuk mencapai credit point yang menguntungkan dalam pilkada tahun ini.
Akibatnya, potensi korupsi dan penyimpangan keuangan daerah akan semakin besar. Karenanya politisasi program dan kegiatan oleh incumbent yang saat ini sedang berkuasa, baik dilevel eksekutif maupun legislatif, pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Aceh merupakan bagian dari politik yang tidak sehat. Kampanye one man show atas program-program tertentu oleh elit berkuasa menandakan gaya curi start kampanye era modern, tetapi bernilai rendah di mata rakyat. Gaya demikian bukan saja menandakan pasangan berkuasa “pecah kongsi” tetapi juga seolah-olah program itu dibiayai dengan uangnya sendiri. Padahal siapa pun memungkinkan mampu berbuat karena memang uang tersebut bersumber dari APBA/APBK. Janganlah berlebihan dengan kampanye sebuah program yang sedang berjalan. Sadarilah jika itu adalah uang rakyat!
Usut Korupsi Jalan Terus
Korupsi bukan hanya menghambat pertumbuhan ekonomi, memiskinkan negeri. Tetapi pada titik tertentu justru semakin mereduksi nilai kepercayaan masyarakat pada nilai-nilasi substansi yang selama ini ingin ditegakkan di republik ini, termasuk di Aceh. Kepercayaan kepada institusi negara oleh masyarakat semakin pudar karena korupsi telah memakan legitimasi secara berlahan tetapi berjalan terus menerus.
Otomatis, saya dan Anda selaku pembaca bukan saja berharap tetapi juga ingin mewanti-wanti keras agar isu pilkada saat ini tidak menyampingkan upaya penegakan hukum atas kasus-kasus indikasi tindak pidana korupsi yang sedang mengemuka. Kasus tersebut, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus tetap diselesaikan secepatnya. Jangan karena ada kandidat yang akan maju yang ia sudah menjadi tersangka atau diduga kuat terlibat dalam kasus-kasus tertentu, kemudian “didiamkan” karena ada pilkada. Pembiaran gaya demikian harus ditolak. Sebaliknya, kita harus menolak pola pemberantasan korupsi yang lebih didorong oleh kepentingan politik tertentu. Kasus diangkat dan digembar-gemborkan hanya karena kepentingan politik yang tidak sehat. Gaya demikian bukan saja tidak etis, tetapi juga secara tegas dapat dikatakan tidak beradab.
Tidak rasional bila nantinya dengan hadirnya pilkada dalam tahun ini kemudian mereduksi semangat dan komitmen aparatur institusi penegak hukum untuk tidak serius dalam menuntaskan berbagai kasus indikasi tindak pidana korupsi di Aceh, terutama sekali yang berkorelasi langsung dengan elite politik yang sedang berkuasa. Pemilukada tetap penting, dan agenda penuntasan kasus-kasus korupsi juga harus tetap menjadi prioritas. Tegasnya bahwa kasus yang sedang ditangani harus terus dituntaskan.
Lalu bagaimana potensi praktik curang dalam pilkada nantinya, yang dikenal dengan corrupt practices? Model korupsi ini telah dinyatakan melawan hukum oleh banyak negara karena dipandang dapat mempengaruhi penggunaan hak memilih rakyat. Pada tingkat paling rendah, jika seseorang menolak corrupt partices ini maka paling tidak slogan “terima uangnya, jangan pilih orangnya” patut dipertimbangkan kembali. Paragdima berpikir tersebut, menurut hemat saya bukan saja sebenarnya membenarkan praktik korup tetapi juga secara tidak langsung terus memelihara, bahkan membenarkan tindakan menyimpang pemain politik untuk terus berbuat curang. Dan tentu uang yang digulirkan yang diterima oleh individu yang menganut “terima uangnya, jangan pilih orangnya” juga diragukan “kehalalannya”.
Bagaimana anggaran untuk pelaksanaan pilkada? Dana yang dikucurkan tersebut, terutama dari APBA/APBK yang dikelola oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) di Aceh harus transparan kepada publik, termasuk jika ada donasi dari pihak ketiga. Pilkada yang damai harus mewujudkan akuntabilitas (pertanggungjawaban) atas dana dikelolanya. Jangan sampai, pilkada menghasilkan tersangka korupsi baru! Demokrasi itu ongkosnya memang mahal. Karenanya jangan sampai sudah mahal kemudian memakan korban: damai berantakan, rakyat terluka dan Aceh kembali tercabik-cabik hanya karena kepentingan “kotak suara”. Dan pihak penyelenggaran harus berurusan dengan hukum. Sebuah kondisi yang sama sekali tidak diharapkan bersama.
Oleh sebab itu, mari berkontribusi positif mendorong terwujudnya pilkada yang jujur dan damai di Aceh. Tentu salah satu aktor pentingnya adalah media massa. Kita berharap agar peran fungsi media massa sebagai salah satu pilar demokrasi tidak hanya fokus pada isu terkait pilkada, tetapi juga tetap senantiasa berperan penting untuk mendorong proses penegakan hukum terhadap setiap kasus indikasi korupsi di Aceh.
Mari kita tunjukan kepada dunia bahwa pilkada di Aceh tetap berjalan fair dan bebas. Bebas dari kecurangan dan rakyat bebas untuk menentukan pilihannya. Mau memilih partai lokal atau partai nasional, atau calon independen adalah hak mutlak rakyat. Jangan intimidasi apalagi menampar rakyat untuk memilih kandidat tertentu. Sebab, pilkada yang damai tanpa korupsi adalah bagian untuk melanggengkan damai di Aceh.
* Penulis adalah Sekjen Aceh Damai Tanpa Korupsi (ADTK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar