Wed, Jun 8th 2011, 08:11
- PENTING kiranya mencermati kembali secara kritis tentang muatan substansial rancangan qanun Wali Nanggroe (Raqan WN) Aceh yang selama ini beredar di tengah masyarakat, sebagai bantahan terhadap qanun WN yang telah disahkan DPRA 2004-2009. Kemudian raqan WN ini menuai perdebatan dan kritik tajam dari berbagai kalangan di Aceh.
Tetapi sekarang raqan ini dibantah sebagai produk Partai Aceh dan dinyatakan ilegal (Serambi Indonesia, 6 Juni 2011). Anehnya, bantahan itu baru muncul sekarang. Padahal sebelumnya raqan tersebut telah ramai dan seru diperdebatkan dalam forum-forum seminar yang juga melibatkan para politisi Partai Aceh. Pertanyaannya, mengapa para politisi PA saat itu sama sekali tidak membantah bahwa draft raqan WN itu adalah ilegal dan bukan produk mereka?
Sepertinya, para politisi PA kini merasa tidak lagi memiliki self confident dan argumentasi yang kuat, untuk tegar mempertahankan gagasan yang ada dalam raqan WN yang kini kontroversi dan banyak ditolak oleh masyarakat Aceh. Padahal menurut saya, raqan WN yang memiliki superioritas itu, sungguh merupakan gagasan kreatif yang revolusioner dan sekaligus merupakan manifestasi dari kekhasan Provinsi Aceh, yang sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 45.
Di balik raqan yang superior itu, ada sejumlah kesadaran awal yang melatari perancangnya. Yakni, pertama, kesadaran bahwa Aceh masa lalu disadari lebih baik dan mulia dari pada Aceh pada masa kini. Karenanya, ada sejumlah nilai masa lalu yang dinilai mulia untuk direvitalisasikan ke dalam sistem pengelolaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Aceh ke depan. Agar martabat kemuliaan itu dapat kembali bersemi di Aceh.
Kedua, kesadaran bahwa kesepakatan perdamaian Helsinki, 2005, adalah sebuah penyelesaian win-win solution, di mana Pemerintah RI telah rela memberi kepada rakyat Aceh kesempatan yang luas dan bebas untuk menjadi khusus dan berbeda. Maka kekhususan inilah yang kemudian coba diekspresikan melalui terma self government, meski secara konseptual masih merupakan sebuah misteri. Barangkali apa yang sekarang terkandung dalam Raqan WN yang sempat seru diperdebatkan itu, adalah suatu terjemahan dari self government itu. Dan sekaligus merupakan konsesi dan kompensasi atas kesediaan Aceh untuk tetap rela berada dalam pangkuan ibu pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, kesadaran bahwa Aceh harus mengembangkan kreatifitas politik menyangkut model pemerintahan Aceh, sebagai suatu entitas wilayah pemerintahan yang unik, sebagai pemanfaatan hak dalam konteks status daerah khusus sebagaimana diatur oleh pasal 18B/(1), UUD’45. Karenanya, kekhawatiran atau ketakutan dari pemerintah Indonesia atau siapapun menjadi tidak relevan. Apalagi keunikan/kekhususan tersebut, selain tidak merugikan siapapun, juga semakin menunjuk kedewasaan perpolitikan Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Itulah tiga kesadaran awal yang kiranya menjadi alasan mendasar dari para perancang yang saat itu diyakini berasal dari Partai Aceh, yang kini perlu kita herankan mengapa dibantah. Namun, di balik kesadaran awal itu, ada beberapa catatan kritis yang perlu diorientasikan kembali. Antara lain adalah: pertama, bahwa mengapa masa lalu yang kini ingin direvitalisasikan itu harus bernuansa feodal, ketimbang mengembalikan kedaulatan rakyat dan sama sekali tidak peace sensitive. Padahal patologi korupsi yang kini telah mewabah secara pandemic, adalah akibat logis dari feudalisme rezim otoriter-militeristik Orde Baru.
Kedua, kita boleh yakin, bahwa substansi rancangan qanun WN tersebut dipersiapkan untuk masa depan masyarakat Aceh yang lebih baik dan lebih bermartabat. Maka seharusnya rakyat Aceh dilibatkan secara maksimal dalam seluruh proses perancangannya. Agar apa pun yang nantinya menjadi kesepakatan, adalah murni kesepakatan rakyat Aceh, yang siap dibela dan diperjuang bersama.
Ketiga, kearifan lokal dan historis yang dihadirkan, semestinya adalah nilai-nilai luhur yang potensial untuk merajut kekompakan rakyat Aceh. Apalagi jika lembaga Wali Naggroe itu bertujuan untuk mempersatukan kembali rakyat Aceh yang telah cukup lama terkotak-kotak, yang telah kehilangan daya juang dan keseriusan bekerja, dalam membangun kehidupan bersama.
Keempat, boleh saja jika lembaga WN itu dirumuskan menjadi suatu lembaga superbody yang menaungi lembaga-lembaga trias-politica lainnya. Asal saja lembaga WN ini dibentuk melalui mekanisme yang partisipatoris, demokratis dan sifat kepemimpinannya pun bersifat kolektif. Yang merupakan representasi dari tuha-tuha nanggroe sebagai negarawan yang memiliki visi-misi puga nanggroe (restorasi), yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kepemimpinan kolektif ini minimal terdiri dari tujuh orang bijak yang mampu berpikir secara lintas kepentingan dan kelompok. Mereka misalnya bisa mewakili ulama, cendekiawan, perempuan, pemuda, budayawan, seniman, dan guru atau variasi lain. Bukan mendudukkan para mantan pemimpin formal yang tak jelas prestasi kenegarawanan mereka.
Dengan mendasarkan pada tiga kesadaran dan empat pertimbangan di atas, betapapun muatan raqan Wali Nanggore memiliki derajat superioritas, kiranya akan secara rela diterima masyarakat Aceh, yang kemudian diharapkan menjadi kekuatan reformatif dan kepemimpinan kolektif yang transformatif. Sejauh Aceh masih dalam bingkai NKRI, maka tidak perlu dilihat sebagai suatu bahaya disintegrative bagi kelanggengan Negara Kesatuan RI. Apalagi semua itu justru merupakan pengejawantahan dari substansi UUD 45 itu sendiri, bahkan sekaligus menjadi strategi pemeliharaan perdamaian yang lebih positif dan manusiawi.
Maka pemerintah RI juga tidak perlu merasa khawatir, sehingga merasa perlu mengatur ketat aturan-aturan menyangkut bagaimana rakyat Aceh ingin membangun pemerintahan atas dirinya sendiri. Segala muatan yang memanifestasikan kekhususan yang demokratis bersama nilai-nilai budayanya itu, kiranya menjadikan Aceh sebagai pilot projet laboratorium politik kemanusiaan Indonesia, yang sejak awalnya telah menabalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Karena sejauh ini, perwujudan pembangunan nasionalisme Indonesia yang kompak dan bersaudara, yang berbasiskan pada kesadaran multikultur tampak masih sangat bermasalah.
Artinya, Indonesia baru hasil amandemen UUD 45, adalah Indonesia yang semestinya mampu mengelola pertumbuhan dan perkembangan segala kebhinnekaan warganya yang selama ini kehilangan ruang aktualisasi dan representasinya. Padahal penghargaan kepada kebhinnekaan itulah resep unggul bagi pembentukan keikaan Indonesia yang solid, maju dan membanggakan warganya.
Akhirnya penting untuk ditegaskan, bahwa rancang-bangun substansi qanun Wali Nanggroe yang kini masih belum menemukan kesepakatan bersama, haruslah didasarkan pada rancangan pengembalian kedaulatan rakyat dan pembentukan tata pemerintahan yang bersih dan terpercaya. Dengan spirit local wisdom yang mempersatukan.
Sementara pemerintahann Pusat mestilah menjadi “orang-tua bijak” yang mengawasi secara ketat prilaku “anak-anak” bangsanya, yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri, sebagai wujud dari keragaman eksistensial multikulturisme Indonesia yang berbeda-beda. Itulah sebuah perwujudan cerdas, arif, unik dan manusiawi dari semboyan agung: “Bhinneka Tunggal Ika” yang semestinya diwujudkan dalam paham Indonesia Baru dan Aceh Baru ke depan. Ketika kita berani membayangkan sebuah impian Indonesia Baru yang tangguh, mandiri dan berwibawa.
* Penulis adalah pendiri dan peneliti The Aceh Institute, Banda Aceh.
Tetapi sekarang raqan ini dibantah sebagai produk Partai Aceh dan dinyatakan ilegal (Serambi Indonesia, 6 Juni 2011). Anehnya, bantahan itu baru muncul sekarang. Padahal sebelumnya raqan tersebut telah ramai dan seru diperdebatkan dalam forum-forum seminar yang juga melibatkan para politisi Partai Aceh. Pertanyaannya, mengapa para politisi PA saat itu sama sekali tidak membantah bahwa draft raqan WN itu adalah ilegal dan bukan produk mereka?
Sepertinya, para politisi PA kini merasa tidak lagi memiliki self confident dan argumentasi yang kuat, untuk tegar mempertahankan gagasan yang ada dalam raqan WN yang kini kontroversi dan banyak ditolak oleh masyarakat Aceh. Padahal menurut saya, raqan WN yang memiliki superioritas itu, sungguh merupakan gagasan kreatif yang revolusioner dan sekaligus merupakan manifestasi dari kekhasan Provinsi Aceh, yang sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 45.
Di balik raqan yang superior itu, ada sejumlah kesadaran awal yang melatari perancangnya. Yakni, pertama, kesadaran bahwa Aceh masa lalu disadari lebih baik dan mulia dari pada Aceh pada masa kini. Karenanya, ada sejumlah nilai masa lalu yang dinilai mulia untuk direvitalisasikan ke dalam sistem pengelolaan pemerintahan dan pembangunan masyarakat Aceh ke depan. Agar martabat kemuliaan itu dapat kembali bersemi di Aceh.
Kedua, kesadaran bahwa kesepakatan perdamaian Helsinki, 2005, adalah sebuah penyelesaian win-win solution, di mana Pemerintah RI telah rela memberi kepada rakyat Aceh kesempatan yang luas dan bebas untuk menjadi khusus dan berbeda. Maka kekhususan inilah yang kemudian coba diekspresikan melalui terma self government, meski secara konseptual masih merupakan sebuah misteri. Barangkali apa yang sekarang terkandung dalam Raqan WN yang sempat seru diperdebatkan itu, adalah suatu terjemahan dari self government itu. Dan sekaligus merupakan konsesi dan kompensasi atas kesediaan Aceh untuk tetap rela berada dalam pangkuan ibu pertiwi, Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, kesadaran bahwa Aceh harus mengembangkan kreatifitas politik menyangkut model pemerintahan Aceh, sebagai suatu entitas wilayah pemerintahan yang unik, sebagai pemanfaatan hak dalam konteks status daerah khusus sebagaimana diatur oleh pasal 18B/(1), UUD’45. Karenanya, kekhawatiran atau ketakutan dari pemerintah Indonesia atau siapapun menjadi tidak relevan. Apalagi keunikan/kekhususan tersebut, selain tidak merugikan siapapun, juga semakin menunjuk kedewasaan perpolitikan Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Itulah tiga kesadaran awal yang kiranya menjadi alasan mendasar dari para perancang yang saat itu diyakini berasal dari Partai Aceh, yang kini perlu kita herankan mengapa dibantah. Namun, di balik kesadaran awal itu, ada beberapa catatan kritis yang perlu diorientasikan kembali. Antara lain adalah: pertama, bahwa mengapa masa lalu yang kini ingin direvitalisasikan itu harus bernuansa feodal, ketimbang mengembalikan kedaulatan rakyat dan sama sekali tidak peace sensitive. Padahal patologi korupsi yang kini telah mewabah secara pandemic, adalah akibat logis dari feudalisme rezim otoriter-militeristik Orde Baru.
Kedua, kita boleh yakin, bahwa substansi rancangan qanun WN tersebut dipersiapkan untuk masa depan masyarakat Aceh yang lebih baik dan lebih bermartabat. Maka seharusnya rakyat Aceh dilibatkan secara maksimal dalam seluruh proses perancangannya. Agar apa pun yang nantinya menjadi kesepakatan, adalah murni kesepakatan rakyat Aceh, yang siap dibela dan diperjuang bersama.
Ketiga, kearifan lokal dan historis yang dihadirkan, semestinya adalah nilai-nilai luhur yang potensial untuk merajut kekompakan rakyat Aceh. Apalagi jika lembaga Wali Naggroe itu bertujuan untuk mempersatukan kembali rakyat Aceh yang telah cukup lama terkotak-kotak, yang telah kehilangan daya juang dan keseriusan bekerja, dalam membangun kehidupan bersama.
Keempat, boleh saja jika lembaga WN itu dirumuskan menjadi suatu lembaga superbody yang menaungi lembaga-lembaga trias-politica lainnya. Asal saja lembaga WN ini dibentuk melalui mekanisme yang partisipatoris, demokratis dan sifat kepemimpinannya pun bersifat kolektif. Yang merupakan representasi dari tuha-tuha nanggroe sebagai negarawan yang memiliki visi-misi puga nanggroe (restorasi), yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kepemimpinan kolektif ini minimal terdiri dari tujuh orang bijak yang mampu berpikir secara lintas kepentingan dan kelompok. Mereka misalnya bisa mewakili ulama, cendekiawan, perempuan, pemuda, budayawan, seniman, dan guru atau variasi lain. Bukan mendudukkan para mantan pemimpin formal yang tak jelas prestasi kenegarawanan mereka.
Dengan mendasarkan pada tiga kesadaran dan empat pertimbangan di atas, betapapun muatan raqan Wali Nanggore memiliki derajat superioritas, kiranya akan secara rela diterima masyarakat Aceh, yang kemudian diharapkan menjadi kekuatan reformatif dan kepemimpinan kolektif yang transformatif. Sejauh Aceh masih dalam bingkai NKRI, maka tidak perlu dilihat sebagai suatu bahaya disintegrative bagi kelanggengan Negara Kesatuan RI. Apalagi semua itu justru merupakan pengejawantahan dari substansi UUD 45 itu sendiri, bahkan sekaligus menjadi strategi pemeliharaan perdamaian yang lebih positif dan manusiawi.
Maka pemerintah RI juga tidak perlu merasa khawatir, sehingga merasa perlu mengatur ketat aturan-aturan menyangkut bagaimana rakyat Aceh ingin membangun pemerintahan atas dirinya sendiri. Segala muatan yang memanifestasikan kekhususan yang demokratis bersama nilai-nilai budayanya itu, kiranya menjadikan Aceh sebagai pilot projet laboratorium politik kemanusiaan Indonesia, yang sejak awalnya telah menabalkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Karena sejauh ini, perwujudan pembangunan nasionalisme Indonesia yang kompak dan bersaudara, yang berbasiskan pada kesadaran multikultur tampak masih sangat bermasalah.
Artinya, Indonesia baru hasil amandemen UUD 45, adalah Indonesia yang semestinya mampu mengelola pertumbuhan dan perkembangan segala kebhinnekaan warganya yang selama ini kehilangan ruang aktualisasi dan representasinya. Padahal penghargaan kepada kebhinnekaan itulah resep unggul bagi pembentukan keikaan Indonesia yang solid, maju dan membanggakan warganya.
Akhirnya penting untuk ditegaskan, bahwa rancang-bangun substansi qanun Wali Nanggroe yang kini masih belum menemukan kesepakatan bersama, haruslah didasarkan pada rancangan pengembalian kedaulatan rakyat dan pembentukan tata pemerintahan yang bersih dan terpercaya. Dengan spirit local wisdom yang mempersatukan.
Sementara pemerintahann Pusat mestilah menjadi “orang-tua bijak” yang mengawasi secara ketat prilaku “anak-anak” bangsanya, yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri, sebagai wujud dari keragaman eksistensial multikulturisme Indonesia yang berbeda-beda. Itulah sebuah perwujudan cerdas, arif, unik dan manusiawi dari semboyan agung: “Bhinneka Tunggal Ika” yang semestinya diwujudkan dalam paham Indonesia Baru dan Aceh Baru ke depan. Ketika kita berani membayangkan sebuah impian Indonesia Baru yang tangguh, mandiri dan berwibawa.
* Penulis adalah pendiri dan peneliti The Aceh Institute, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar