Wed, Jun 15th 2011, 08:52
- SIAPAPUN mungkin tahu slogan (tagline) “one heart”, sebuah corporate brand image perusahaan sepeda motor yang saban hari disiarkan oleh media massa dan elektronik maupun pajangan baliho-baliho di jalanan.
Berangkat dari slogan inilah menurut saya filosofinya dapat dijadikan sempena Aceh ke depan. Momentumnya, sangat tepat menjelang pilkada mendatang. Apalagi, suasana dan suhu politik semakin memanas dan tidak menentu. Polemik revisi Qanun Pilkada, calon indpenden dan jadwal pelaksanaan Pilkada antara DPRA dengan Pemerintah Aceh serta KIP menjadikan masyarakat harap-harap cemas. Ditambah lagi pernyataan-pernyataan vulgar elite politik, menjadikan kondisi ini berbanding lurus dengan suhu dan cuaca Aceh, yang terkadang panas menyengat lalu hujan disertai angin kencang.
Tantangan suasana politik ini semoga tidak menjadi awal konflik baru Aceh. Sebaliknya, bagaimana produsen (pemimpin) dan konsumen (rakyat) bersama-sama menghadapi dan menaklukannya, demi satu visi (one heart) Aceh yang berperadaban, mandiri dan sejahtera.
Sehingga, konteks ini menjadi peringatan awal (early warning) segenap elemen menghindari kekisruhan pilkada. Namun kalau yang dibangun orientasi pragmatisme kekuasaan, maka yang muncul hanyalah politic interest (kepentingan politik) dan power struggle (perebutan kekuasaan). Implikasinya, tidak hanya memunculkan pertarungan kekuasaan di kalangan elite, namun akan merambah masyarakat grass root. Akhirnya, timbul konflik baru (rekonflik) dan merusak keberlanjutan perdamaian.
Lalu, benarkah rakyat Aceh hanya akan bersatu jika ada musuh bersama (common enemy)? Sebaliknya, bila ini tidak ada lagi maka kawan seperjuanganpun akan menjadi lawan. Benarkah, biang dan pemicunya adalah karena harta dan kekuasaan? Benar atau tidaknya pertanyaan tersebut, maka kita perlu merefleksi sejarah konflik-damai-rekonflik di Aceh. Jika merujuk kepada perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI), maka Aceh salah satu daerah yang mempunyai peran signifikan. Dengan kebersamaan yang solid antara pemimpin dengan rakyat, Aceh satu-satunya daerah yang tidak bisa ditaklukan oleh kolonialis Belanda dan Jepang.
Ironisnya, pascakemerdekaan malah memunculkan konflik baru di kalangan para pejuang, seperti perang Cumbok (1946-1947). Perang akibat kesalahan peran dan tafsir terhadap proklamasi RI oleh kaum ulama dipimpin Tgk. Daud Beureueh dan Uleebalang dipimpin Teuku Daud Cumbok. Di mana ditengarai tidak terlepas karena persoalan kekuasaan antara kaum ulama (PUSA) dengan Uleebalang Aceh.
Setelah perang saudara (Cumbok) berakhir, rakyat Aceh kembali menunjukan kebersamaannya melawan agresi Belanda. Pada tahun 1949 di saat daerah lainnya takluk pada Belanda, Aceh malah membantu RI dalam bentuk bantuan para-militer, politik dan ekonomi menghadapi agresi Belanda (Nazaruddin Syamsuddin, 282:1999). Sayangnya, setelah itu pemerintah RI malah mengabaikan Aceh. Sehingga, sejak tahun 1953 beralih konflik (DI/TII) dari melawan Belanda dan Jepang menjadi melawan RI.
Pasca DI/TII tahun 1957 konflik Aceh juga belum mereda, salah satu re-generasi Tgk Daud Beureueh, Muhammad Hasan Ditiro, pada 4 Desember 1976 mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM), sebagai organisasi perlawanan dan menuntut kemerdekaan Aceh. Terlepas dianggap sebagai pemberontak oleh RI, faktanya AM yang berganti nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus tumbuh dan berkembang.
Selanjutnya, konflik Aceh-Jakarta terus bergulir selama tiga dekade yang dilakukan GAM dan elemen rakyat. Akhirnya, pascagempa dan tsunami Aceh (26 Desember 2004), tepatnya 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia perdamaian Aceh-pun terwujud melalui MoU RI-GAM. Saat-saat kebersamaan inilah harus diapresiasi oleh siapapun. Sementara, di kalangan masyarakat sipil juga dapat dilihat ketika Kongres Mahasiswa dan Pemuda Serantau (KOMPAS), melahirkan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Klimaksnya, 8 November 1999 dua juta rakyat Aceh tumpah ruah ke Banda Aceh, menghadiri tuntutan referendum dengan opsi otonomi atau merdeka. Terlepas, pro-kontra perhelatan tersebut ternyata atas nama kebersamaan sebahagian besar rakyat Aceh dapat disatukan.
PascaMoU kebersamaan rakyat kembali dibuktikan, tepatnya September 2005 ketika dibentuknya draf awal RUU-PA yang sekarang menjadi UUPA. Antusiasme rakyat dalam pembahasan draf awal RUU-PA sangatlah kentara. Draf yang disusun oleh Unsyiah, IAIN, Unimal, Tim Ahli Pemerintah Aceh, DPRD, GAM dan civil society, akhirnya menjadi satu draf versi rakyat Aceh. Terlepas, kemudian dipreteli oleh pemerintah dan DPR, tetapi itulah draf sebagai wujud kebersamaan rakyat Aceh.
Selanjutnya, juga dibuktikan pada 11 Desember 2006 saat pelaksanaan pilkada Aceh dan 19 kabupaten/kota, mayoritas rakyat memilih calon independen mewakili GAM-SIRA, sehingga menjadi fenomena Aceh. Sayangnya, dibalik itu ternyata menjadi babak awal munculnya keretakan internal GAM dan masyarakat (civil society). Hal ini ditandai dengan munculnya dua kandidat, Irwandi-Nazar (SINAR) dan Humam Hamid-Hasbi Abdullah (H2O) yang merasa sama-sama mewakili dari kalangan GAM dan SIRA, serta kandidat sipil lainnya. Meskipun, dalam konteks demokratisasi hal itu lumrah menghadirkan banyak pasangan. Namun, hal ini tidak bisa diterima oleh sebagian kalangan GAM.
Pasca terpilihnya Irwandi-Nazar, saat itu saya berpikir keretakan ini akan dapat diminimalisir. Ternyata keliru setelah ditetapkan PP No.20/2007 tetang Partai Lokal (parlok) di Aceh dan diikuti banyaknya pembentukan parlok, keretakan malah semakin melebar di samping internal GAM, juga dengan masyarakat sipil serta elemen lainnya. Sehingga, sampai saat ini menjelang pilkada 2011 suasana psikologi politik Aceh menjadi tidak stabil.
Suasana ketidakbersamaan elemen rakyat semakin terbuka. Lihat saja, polemik berkepanjangan antara Pemerintah Aceh dengan DPRA terhadap pilkada. Padahal, sebelumnya sama-sama berjuang terhadap ketidakadilan pemerintah pusat. Begitu juga dengan ulama dan masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah pusat, saat ini malah diam. Belum lagi, intrik-intrik politik, character assassination (pembunuhan karakter) dan fitnah di kalangan kandidat dan masyarakat. Saya khawatir fenomena ini karena persoalan power struggle (perebutan kekuasaan) para elite semata dan mengatasnamakan Aceh.
Jika fenomena ini terus berlanjut dan terjadinya perang “cumbok” jilid kedua, konsekuensinya bargaining politic terhadap self-government akan menurun. Begitu juga eksistensi parlok sebagai simbol kekhususan Aceh akan mengecil, akibat krisis kepercayaan rakyat. Akhirnya, yang dimenangkan partai politik nasional dan pemerintah pusat yang sampai saat ini terkesan hanya mencari aman dan simpati rakyat Aceh.
Oleh karena itu, menghindari konsekuensi tersebut Pemerintah Aceh, DPRA, ulama, masyarakat sipil, partai politik, dan KPA perlu bersatu hati. Kejayaan Aceh karena kebersamaan dan kehancuran akibat keretakan rakyat dengan pemimpin. Oleh karena itu, sangat tepat filosofi one heart menjadi motivator. Kalah dan menang dalam pilkada hanya sebatas kompetisi politik. Jangan biarkan dendam politik para elite merusak rakyat dan Aceh. Akhirnya, sekali lagi biarkan rakyat menentukan siapa pilihan pemimpinnya. Semoga!
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Berangkat dari slogan inilah menurut saya filosofinya dapat dijadikan sempena Aceh ke depan. Momentumnya, sangat tepat menjelang pilkada mendatang. Apalagi, suasana dan suhu politik semakin memanas dan tidak menentu. Polemik revisi Qanun Pilkada, calon indpenden dan jadwal pelaksanaan Pilkada antara DPRA dengan Pemerintah Aceh serta KIP menjadikan masyarakat harap-harap cemas. Ditambah lagi pernyataan-pernyataan vulgar elite politik, menjadikan kondisi ini berbanding lurus dengan suhu dan cuaca Aceh, yang terkadang panas menyengat lalu hujan disertai angin kencang.
Tantangan suasana politik ini semoga tidak menjadi awal konflik baru Aceh. Sebaliknya, bagaimana produsen (pemimpin) dan konsumen (rakyat) bersama-sama menghadapi dan menaklukannya, demi satu visi (one heart) Aceh yang berperadaban, mandiri dan sejahtera.
Sehingga, konteks ini menjadi peringatan awal (early warning) segenap elemen menghindari kekisruhan pilkada. Namun kalau yang dibangun orientasi pragmatisme kekuasaan, maka yang muncul hanyalah politic interest (kepentingan politik) dan power struggle (perebutan kekuasaan). Implikasinya, tidak hanya memunculkan pertarungan kekuasaan di kalangan elite, namun akan merambah masyarakat grass root. Akhirnya, timbul konflik baru (rekonflik) dan merusak keberlanjutan perdamaian.
Lalu, benarkah rakyat Aceh hanya akan bersatu jika ada musuh bersama (common enemy)? Sebaliknya, bila ini tidak ada lagi maka kawan seperjuanganpun akan menjadi lawan. Benarkah, biang dan pemicunya adalah karena harta dan kekuasaan? Benar atau tidaknya pertanyaan tersebut, maka kita perlu merefleksi sejarah konflik-damai-rekonflik di Aceh. Jika merujuk kepada perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI), maka Aceh salah satu daerah yang mempunyai peran signifikan. Dengan kebersamaan yang solid antara pemimpin dengan rakyat, Aceh satu-satunya daerah yang tidak bisa ditaklukan oleh kolonialis Belanda dan Jepang.
Ironisnya, pascakemerdekaan malah memunculkan konflik baru di kalangan para pejuang, seperti perang Cumbok (1946-1947). Perang akibat kesalahan peran dan tafsir terhadap proklamasi RI oleh kaum ulama dipimpin Tgk. Daud Beureueh dan Uleebalang dipimpin Teuku Daud Cumbok. Di mana ditengarai tidak terlepas karena persoalan kekuasaan antara kaum ulama (PUSA) dengan Uleebalang Aceh.
Setelah perang saudara (Cumbok) berakhir, rakyat Aceh kembali menunjukan kebersamaannya melawan agresi Belanda. Pada tahun 1949 di saat daerah lainnya takluk pada Belanda, Aceh malah membantu RI dalam bentuk bantuan para-militer, politik dan ekonomi menghadapi agresi Belanda (Nazaruddin Syamsuddin, 282:1999). Sayangnya, setelah itu pemerintah RI malah mengabaikan Aceh. Sehingga, sejak tahun 1953 beralih konflik (DI/TII) dari melawan Belanda dan Jepang menjadi melawan RI.
Pasca DI/TII tahun 1957 konflik Aceh juga belum mereda, salah satu re-generasi Tgk Daud Beureueh, Muhammad Hasan Ditiro, pada 4 Desember 1976 mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM), sebagai organisasi perlawanan dan menuntut kemerdekaan Aceh. Terlepas dianggap sebagai pemberontak oleh RI, faktanya AM yang berganti nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus tumbuh dan berkembang.
Selanjutnya, konflik Aceh-Jakarta terus bergulir selama tiga dekade yang dilakukan GAM dan elemen rakyat. Akhirnya, pascagempa dan tsunami Aceh (26 Desember 2004), tepatnya 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia perdamaian Aceh-pun terwujud melalui MoU RI-GAM. Saat-saat kebersamaan inilah harus diapresiasi oleh siapapun. Sementara, di kalangan masyarakat sipil juga dapat dilihat ketika Kongres Mahasiswa dan Pemuda Serantau (KOMPAS), melahirkan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). Klimaksnya, 8 November 1999 dua juta rakyat Aceh tumpah ruah ke Banda Aceh, menghadiri tuntutan referendum dengan opsi otonomi atau merdeka. Terlepas, pro-kontra perhelatan tersebut ternyata atas nama kebersamaan sebahagian besar rakyat Aceh dapat disatukan.
PascaMoU kebersamaan rakyat kembali dibuktikan, tepatnya September 2005 ketika dibentuknya draf awal RUU-PA yang sekarang menjadi UUPA. Antusiasme rakyat dalam pembahasan draf awal RUU-PA sangatlah kentara. Draf yang disusun oleh Unsyiah, IAIN, Unimal, Tim Ahli Pemerintah Aceh, DPRD, GAM dan civil society, akhirnya menjadi satu draf versi rakyat Aceh. Terlepas, kemudian dipreteli oleh pemerintah dan DPR, tetapi itulah draf sebagai wujud kebersamaan rakyat Aceh.
Selanjutnya, juga dibuktikan pada 11 Desember 2006 saat pelaksanaan pilkada Aceh dan 19 kabupaten/kota, mayoritas rakyat memilih calon independen mewakili GAM-SIRA, sehingga menjadi fenomena Aceh. Sayangnya, dibalik itu ternyata menjadi babak awal munculnya keretakan internal GAM dan masyarakat (civil society). Hal ini ditandai dengan munculnya dua kandidat, Irwandi-Nazar (SINAR) dan Humam Hamid-Hasbi Abdullah (H2O) yang merasa sama-sama mewakili dari kalangan GAM dan SIRA, serta kandidat sipil lainnya. Meskipun, dalam konteks demokratisasi hal itu lumrah menghadirkan banyak pasangan. Namun, hal ini tidak bisa diterima oleh sebagian kalangan GAM.
Pasca terpilihnya Irwandi-Nazar, saat itu saya berpikir keretakan ini akan dapat diminimalisir. Ternyata keliru setelah ditetapkan PP No.20/2007 tetang Partai Lokal (parlok) di Aceh dan diikuti banyaknya pembentukan parlok, keretakan malah semakin melebar di samping internal GAM, juga dengan masyarakat sipil serta elemen lainnya. Sehingga, sampai saat ini menjelang pilkada 2011 suasana psikologi politik Aceh menjadi tidak stabil.
Suasana ketidakbersamaan elemen rakyat semakin terbuka. Lihat saja, polemik berkepanjangan antara Pemerintah Aceh dengan DPRA terhadap pilkada. Padahal, sebelumnya sama-sama berjuang terhadap ketidakadilan pemerintah pusat. Begitu juga dengan ulama dan masyarakat sipil yang kritis terhadap pemerintah pusat, saat ini malah diam. Belum lagi, intrik-intrik politik, character assassination (pembunuhan karakter) dan fitnah di kalangan kandidat dan masyarakat. Saya khawatir fenomena ini karena persoalan power struggle (perebutan kekuasaan) para elite semata dan mengatasnamakan Aceh.
Jika fenomena ini terus berlanjut dan terjadinya perang “cumbok” jilid kedua, konsekuensinya bargaining politic terhadap self-government akan menurun. Begitu juga eksistensi parlok sebagai simbol kekhususan Aceh akan mengecil, akibat krisis kepercayaan rakyat. Akhirnya, yang dimenangkan partai politik nasional dan pemerintah pusat yang sampai saat ini terkesan hanya mencari aman dan simpati rakyat Aceh.
Oleh karena itu, menghindari konsekuensi tersebut Pemerintah Aceh, DPRA, ulama, masyarakat sipil, partai politik, dan KPA perlu bersatu hati. Kejayaan Aceh karena kebersamaan dan kehancuran akibat keretakan rakyat dengan pemimpin. Oleh karena itu, sangat tepat filosofi one heart menjadi motivator. Kalah dan menang dalam pilkada hanya sebatas kompetisi politik. Jangan biarkan dendam politik para elite merusak rakyat dan Aceh. Akhirnya, sekali lagi biarkan rakyat menentukan siapa pilihan pemimpinnya. Semoga!
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar