Thu, Jun 16th 2011, 08:13
- Opini serambi indonesia
Banyak juga yang tidak shalat, mungkin oleh pegawai kontrak atau honorer, lantas waktu yang istimewa (afdhal) untuk shalat, justru habis di jalanan dan antrean. Kita yang pulang membelakangi azan, sepertinya lebih mau mendengar bisikan setan: takut kurang cukup istirahat siang di rumah, daripada bisikan malaikat: kuatir kurang pahala dengan shalat empat rakaat zhuhur, yang cuma butuh seperempat jam.
Sebagian tukang becak, pedagang kaki lima, penjaga toko, penjual emas dan seterusnya, saudara yang senabi dengan kita, lebih memilih merayu pembeli, menyembah devisa dan valuta, daripada menyembah Allah Swt. Sebagian petani, pelaut, sales, wartawan, penyiar, penyanyi, ustad, guru kontrak, guru honor, bidan honor, perawat honor, “polisi syariah”, sopir, penjahit, buruh, satpam, pesuruh, tukang parkir, tukang sepatu, penjual bakso, penjaja ikan, pendorong gerobak eskrim, penyemir sepatu, pemanjat kelapa, penjaga mayat, aktivis, harlan terminal, ojek, baby sitter, bapak dan ibu rumah tangga, atau pengurus partai, berlaku kaidah ini. Jika beradu kepentingan perut dengan akhirat, lantas kita memprioritaskan perut, maka nafsu itulah tuhan kita, paling kurang saat itu, begitu ancaman dalam bab-bab tauhid.
Sebagian tukang foto, saudara seagama dengan kita, sebagaimana setiap hari di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, lebih memilih keluar pekarangan daripada harus membuka sepatu, wudhuk, dan shalat berjamaah. Sayang, kita mengais rezeki dengan memotret Rumah Allah, sepanjang hayat mendengar pengajian sebelum shalat, tapi busana yang tetap ketat dan gayanya yang sebagian pongah, belum menyadarkannya supaya masuk ke rumah-Nya.
Sebagian besar pengemis, memilih masuk kedai, menikmati rezeki jamaah lewat mengiba-iba, bersama pemilik warung, daripada membungkus empang dan menitip kotak celengan, untuk melangkah ke shaf shalat. Sayang betul, sebagian mereka, Allah coba lewat kecacatan, namun seakan marah pada Tuhan, enggan tabik dan takzim pada-Nya. Padahal mulia, dengan mengeluh dan terus terang pada Allah dalam shalat, supaya Allah kurniakan pahala dan surga, daripada merengek dan berpura-pura pada manusia, yang hanya dapat recehan dan rupiah lusuh.
Sebagian akademisi dan mahasiswa, juga profesi yang menjaja barang dan jasa lainnya, saudara kita yang sepedoman hidup, saat azan masuk menyelinap ke ruang kerja, lebih memilih diam dengan dahi yang mengerut pertanda beban yang berat dari dosen atau atasan, daripada melapor dan menguraikan uneg-uneg pada Zat yang Maha Besar.
Atas dasar itulah, potret kita yang lari saat azan, menarik kita telusuri, karena ada makhluk lain juga yang mirip serupa dengan kita. Nurani kita yang mau berzikir dan husnuzh zhan, bisa menjadi ‘arasy Allah. Sebaliknya hati kita bisa menjadi villa, istana, dan pendopo, yang nyaman bagi setan, andai kita lupa Tuhan dan tertipu daya. Lari saat azan juga ramai kita praktikkan, lewat keengganan meninggalkan remote televisi dan meja makan saat isya, atau berat bangun saat shubuh, saat bilal mengulang: ashshalatu khairum minannaum. Malas menutup toko saat jualan, berat mencampakkan cangkul saat membajak lahan, pakai dalih dan logika jika disuruh berhenti kuliah saat mengajar, itu pertanda kita “sukses” ditipu setan. Dulu setan lari menghindar azan, menabrak apa pun hingga ke area bebas azan. Kini dia lumayan aman dari “tembakan” azan; dia cukup bergeser sedikit dari menara azan, lalu masuk ke hati-hati insan dungu; dan nongkrong bersama di café pinggir jalan dan warung yang tutup pintu depan.
Hingga kiamat tiba, bumi yang bulat ini selalu diiringi oleh suara muazzin, secara bersahutan. Ada satu riwayat, bahwa setan lari terbirit-birit, tatkala azan dikumandangkan, menjelang shalat. Azan dia lari, iqamat dia pergi, dan shalat dia balik menggoda lagi, kecuali bagi yang dijaga Allah. Andai dia tetap tidak beranjak, tidak mau bergeming, dan masih nongkrong, saat suara azan menggema, dia akan hangus berkeping-keping. Sebagaimana musnahnya fisik setan, anak buah iblis itu, waktu mendengar pengajian, kajian, halqah, nasehat, dakwah, ceramah agama, dan zikir.
Dulu azan terdengar terbatas, maka muazzin pun, bilal pun, mesti naik lebih tinggi ke menara masjid. Lantas setan, makhluk ghaib yang Allah ciptakan dari api yang tidak berasap itu, terbang tak perlu tinggi sekali ke atas awan. Atau setan, jin jahat itu, cukup menjauh ke lautan yang tidak terlalu dalam. Atau setan, jenis jin nakal benaran yang sering menjelma mengecohkan orang atau yang berwajah manusia itu, menghindar seruan azan dengan masuk agak ke dalam rimba di pinggiran permukiman.
Kini azan, panggilan Allah untuk meraih kemenangan (hayya ‘alal falah) itu, sudah menggema dengan sound dan mikrofon, di meunasah, dayah, mushalla sekolah, mushalla kantor, mushalla dusun, dan masjid. Walaupun mushalla kantor kumuh itu di pojok gedung mewah, lafaz azan mesti dihidupkan. Kendatipun kebanyakan meunasah masih sunyi senyap manakala shalat, lafaz azan tidak kita biarkan lapuk digilas zaman.
Hari ini panggilan Allah melalui lisan bilal untuk menegakkan shalat (hayya ‘alash shalah) itu sudah dikasetkan dan dilangsungkan lewat televisi, radio, dan media seluler. Mestinya ajang kita raup rahmat kian banyak dengan menyimak dan menjawab apa yang muazzin ejakan. Bukan malah kita mematikan radio, atau mengambil chanel dan frekuensi lain di televisi, atau tancap gas menjarak dengan sumber azan. Inilah jawaban, kenapa kita kian jauh dengan rahmat pagi dan petang: pertama malas menyimak azan; dan kedua acuh tak acuh dengan suara qari yang mengaji. Cuma kaset dan radio tua, cuma kahadam masjid dan petugas mushalla yang tak ada kerjaan, kilah kita. Padahal sedikit saja pun dari kita yang mau mengaji sendiri di rumah, usai maghrib dan sebelum kerja pagi. Berlombalah kita untuk mengumandangkan azan. Namun jangan kita berlomba untuk menjadi imam. Begitu isyarat Rasulullah Saw, yang puncak peringatan isra mikraj.
Sungguh bahagia, lantas ketua lembaga, institusi, komisi, dan kepala badan dan dinas, perlu mengapresiasikan, jika memiliki anak buah yang tulus menghidupkan tombol on, saklar mic di kantor, lalu azan di mushalla, dengan suara serak-serak basah atau merdu syahdu.
Bukan malah memuji bagi oknum pegawai yang minggat saat shalat: pura-pura sibuk kerja belum final, balik ke sekolah dengan alasan menjemput anak, dan perut keroncongan lalu belok ke kantin. Padahal setengah hari tadi duduk-duduk manis saja di meja kerja dengan computer gratis--arus listrik, biaya jaringan net, dan inventaris kator dibeli dengan uang pajak rakyat--buat main game, facebook-an, sms-an, twitter-an, chatting, dan internetan. Malang sekali nasib kita pegawai negeri model begini. Tatkala belum lulus, berdoa panjang lebar dalam tahajjud lagi, akan taat dan syukur kelak.
Namun begitu kursi empuk sudah diduduki, bagaikan si Kleng yang bernazar di tengah laut. Saat di laut, janjinya ia akan potong lembu, jika selamat ke tepian. Namun begitu terdampar selamat agak ke pantai, dia kurangi menjadi seekor kambing, agak ke darat dikurangi menjadi seekor ayam, dan akhirnya cuma sebutir telur ayam. Malang sekali jika kita pegawai memiliki bos yang malas shalat. Manakala tiba saat sembahyang, dia pura-pura layani tamu, atau mengunci di rungan dingin, bukan malah menjadi imam dan penceramah di kantorannya.
Malang sekali Aceh ini, jika azan “dikentutkan” orang Islam sendiri; sayang jika pemimpin hasil pilkada mendatang masih memberi contoh bagi rakyat, seakan-akan mari ramai-ramai menghindar azan, lari saat azan.
* Penulis adalah Direktur TPQ Direktur TPQ Plus Baiturrahman, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar