Thu, Jun 23rd 2011, 08:31
- Opini serambi indonesia
BEBERAPA minggu lalu kita membaca berita tentang keluhan warga Banda Aceh yang melihat semakin semrawutnya lalu lintas dalam kota. Dalam pemberitaan tersebut, terdapat pula tanggapan dari Pemerintah Daerah melalui dinas terkait yang menyatakan belum memiliki solusi yang tepat untuk membenahi kondisi ini. Salah satu alasan yang disebutkan adalah karena kurangnya lokasi parkir serta pertumbuhan toko yang tidak menyediakan sarana parkir untuk pengunjung.
Keterbatasan lahan mungkin dapat menjadi alasan timbulnya masalah ini, untuk sekadar memberi gambaran, sesuai dengan data BPS melalui sensus 2010, jumlah penduduk kota Banda Aceh dan juga beberapa kecamatan Aceh Besar yang berada di sekitar Banda Aceh (Peukan Bada, Darul Imarah, Baitussalam, dan Kr. Barona Jaya) mencapai 304.444 jiwa.
Kendaraan pribadi baik berupa mobil maupun sepeda motor telah menjadi pilihan utama dalam melakukan aktivitas sehari-hari masyarakat. Jika kita mengasumsikan bahwa sekitar 20% masyarakat memiliki mobil dan sekitar 40% lainnya memiliki kendaraan bermotor, maka jumlah mobil yang beroperasi di Banda Aceh dapat mencapai 60.000-an unit, sementara sepeda motor mencapai sekitar 120.000-an unit.
Kebutuhan ruang
Menurut pedoman teknis penyelenggaraan fasilitas parkir yang diterbitkan oleh Departemen Perhubungan, sebuah mobil penumpang golongan II membutuhkan ruang sebesar 5mx2.5m untuk parkir sementara sepeda motor membutuhkan ruang sekitar 2mx0.75m. Bayangkan, bahkan jika hanya 50% dari semua kendaraan ini beroperasi di jalan-jalan Banda Aceh, maka kebutuhan ruang untuk parkir dapat mencapai 470.000an meter persegi, atau setara dengan 50 lapangan sepak bola, sementara ketika kendaraan ini bergerak, maka ruang yang dibutuhkan juga akan semakin bertambah sesuai dengan kecepatannya.
Sektor penjualan kendaraan bermotor mungkin masih menjadi salah satu sektor andalan dalam peningkatan pendapatan daerah. Pertumbuhan jumlah kendaraan kendaraan yang cukup tinggi telah memicu jumlah pendapatan daerah melalui Pajak Kendaraan Bermotor maupun Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Bahkan menurut Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA), Drs Paradis M.Si, pajak kendaraan telah menyumbang sebesar Rp 520 miliar untuk PAD Aceh tahun 2010 atau mencapai 70% dari total PAD provinsi.
Namun pemerintah harus sangat berhati-hati dengan tingginya angka pertumbuhan kedaraan ini. PAD dari kendaraan bermotor mungkin dapat digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur kendaraan seperti jalan maupun area parkir. Namun untuk beberapa daerah, seperti halnya kota Banda Aceh, ada satu hal yang sangat sulit untuk dapat dipenuhi, yaitu ruang. Ruang akan menjadi barang yang sangat mahal untuk hanya sekadar dihabiskan sebagai prasarana transportasi.
Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah kota tidak hanya cukup dengan berargumen bahwa kemacetan kota disebabkan oleh para pengusaha/penyedia jasa yang tidak menyediakan area parkir di lahan pertokoannya, karena ada penyebab lain yang jauh lebih mendasar dari kesemrawutan lalulintas ini. Salah satu yang menjadi penyebab utama adalah tidak adanya alternatif-alternatif lain yang dapat disediakan atau difasilitasi oleh pemerintah kota dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya untuk dapat bergerak (mobilisasi). Masyarakat seolah-olah dipaksa untuk harus memiliki sepeda motor ataupun mobil pribadi karena tidak ada pilihan moda transportasi lain yang benar-benar dapat diandalkan oleh masyarakat.
Transportasi umum
Jika ingin menjadi sebuah kota yang maju, pemerintah kota Banda Aceh wajib memikirkan dengan baik sarana transportasi umum perkotaannya. Karena bila dikelola dengan baik, transportasi umum akan sangat membantu dalam meningkatkan citra kota dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi interaksi sosial masyarakat, terutama di ruang publik, dan tentu saja peningkatan PAD kota.
Adapun syarat-syarat suatu transportasi umum dapat dikatakan baik bila sudah memenuhi beberapa kriteria, diantaranya: pertama, menjangkau seluruh kota. Jaringan transportasi umum harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat terutama dari tempat tinggal menuju tempat-tempat mereka beraktivitas sehari-hari.
Kota Banda Aceh saat ini memiliki jaringan transportasi kota yang sangat minim. Jalur-jalur kendaraan umum tidak pernah mencapai kawasan-kawasan yang menjadi titik berangkat (perumahan). Pembangunan titik-titik tumbuh baru seperti pembangunan jalan Simpang Surabaya-Batoh yang juga diikuti dengan pemindahan terminal bis justru tidak diikuti dengan penambahan jalur-jalur transportasi umum baru sehingga masyarakat harus mengandalkan kendaraan pribadi untuk dapat melintasi jalur tersebut.
Kedua, dapat diandalkan. Agar masyarakat mau menggunakan transportasi umum, fasilitas yang digunakan harus dapat diandalkan, terutama menyangkut dengan ketepatan waktu. Ketika menggunakan kendaraan umum, penumpang harus mengetahui dengan pasti kapan mereka harus keluar dari rumah dan kapan akan tiba di tujuan.
Ketiga, fleksible. Ini berarti bahwa ketika berada dalam sebuah transportasi umum, masyarakat harus dapat dengan mudah mengganti jalur jika harus mengganti tempat tujuannya. Selama ini fleksibilitas ini hanya bisa didapat jika kita menggunakan kendaraan pribadi. Keempat, dan tentu saja syarat-syarat lain seperti keamanan dan kenyamanan di dalam kendaraan, harga yang terjangkau, dan lain-lain.
Transport planner
Dengan segala permasalahan transportasi yang dihadapi saat ini, Banda Aceh harus memiliki seorang transport planner yang memiliki visi yang cukup cerdas serta mampu memanfaatkan potensi-potensi kota yang ada.
Memberikan alternatif moda transportasi bagi masyarakat merupakan kunci utama dalam penangulangan masalah transportasi perkotaan. Oleh karena itu selain harus merencanakan jalur-jalur transportasi umum yang menyeluruh, pemerintah juga harus memperhatikan jaringan-jaringan pendukung di bawahnya seperti perencanaan jalur pedestrian, dan jalur sepeda.
Kendaraan umum dan jalur pedestrian merupakan dua hal yang saling berkaitan, kita tidak akan bisa mengubah perilaku masyarakat untuk memilih kendaraan umum, jika kota belum memiliki jalur-jalur pedestrian yang memadai, karena ketika masyarakat menggunakan kendaraan umum, berarti mereka akan meninggalkan kendaraan pribadinya, sehingga penghubung dengan tempat tujuannya adalah dengan berjalan kaki.
Oleh karena itu, perencanaan sarana transportasi yang bersinergi dan saling mendukung merupakan solusi terbaik untuk meningkatkan mutu mobilisasi perkotaan. Masyarakat diberikan alternatif-alternatif moda transportasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Hal ini akan memberikan dampak yang berkelanjutan bagi kota karena peningkatan jumlah penduduk tidak diikuti dengan peningkatan kebutuhan ruang untuk bergerak yang signifikan sehingga kapasitas kota akan mampu mengimbangi kebutuhan masyarakat.
* Fakhrurrazi adalah lulusan Master Study of Urbanism Delft Technology University, The Netherlands.
Keterbatasan lahan mungkin dapat menjadi alasan timbulnya masalah ini, untuk sekadar memberi gambaran, sesuai dengan data BPS melalui sensus 2010, jumlah penduduk kota Banda Aceh dan juga beberapa kecamatan Aceh Besar yang berada di sekitar Banda Aceh (Peukan Bada, Darul Imarah, Baitussalam, dan Kr. Barona Jaya) mencapai 304.444 jiwa.
Kendaraan pribadi baik berupa mobil maupun sepeda motor telah menjadi pilihan utama dalam melakukan aktivitas sehari-hari masyarakat. Jika kita mengasumsikan bahwa sekitar 20% masyarakat memiliki mobil dan sekitar 40% lainnya memiliki kendaraan bermotor, maka jumlah mobil yang beroperasi di Banda Aceh dapat mencapai 60.000-an unit, sementara sepeda motor mencapai sekitar 120.000-an unit.
Kebutuhan ruang
Menurut pedoman teknis penyelenggaraan fasilitas parkir yang diterbitkan oleh Departemen Perhubungan, sebuah mobil penumpang golongan II membutuhkan ruang sebesar 5mx2.5m untuk parkir sementara sepeda motor membutuhkan ruang sekitar 2mx0.75m. Bayangkan, bahkan jika hanya 50% dari semua kendaraan ini beroperasi di jalan-jalan Banda Aceh, maka kebutuhan ruang untuk parkir dapat mencapai 470.000an meter persegi, atau setara dengan 50 lapangan sepak bola, sementara ketika kendaraan ini bergerak, maka ruang yang dibutuhkan juga akan semakin bertambah sesuai dengan kecepatannya.
Sektor penjualan kendaraan bermotor mungkin masih menjadi salah satu sektor andalan dalam peningkatan pendapatan daerah. Pertumbuhan jumlah kendaraan kendaraan yang cukup tinggi telah memicu jumlah pendapatan daerah melalui Pajak Kendaraan Bermotor maupun Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Bahkan menurut Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA), Drs Paradis M.Si, pajak kendaraan telah menyumbang sebesar Rp 520 miliar untuk PAD Aceh tahun 2010 atau mencapai 70% dari total PAD provinsi.
Namun pemerintah harus sangat berhati-hati dengan tingginya angka pertumbuhan kedaraan ini. PAD dari kendaraan bermotor mungkin dapat digunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur kendaraan seperti jalan maupun area parkir. Namun untuk beberapa daerah, seperti halnya kota Banda Aceh, ada satu hal yang sangat sulit untuk dapat dipenuhi, yaitu ruang. Ruang akan menjadi barang yang sangat mahal untuk hanya sekadar dihabiskan sebagai prasarana transportasi.
Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah kota tidak hanya cukup dengan berargumen bahwa kemacetan kota disebabkan oleh para pengusaha/penyedia jasa yang tidak menyediakan area parkir di lahan pertokoannya, karena ada penyebab lain yang jauh lebih mendasar dari kesemrawutan lalulintas ini. Salah satu yang menjadi penyebab utama adalah tidak adanya alternatif-alternatif lain yang dapat disediakan atau difasilitasi oleh pemerintah kota dalam memenuhi kebutuhan masyarakatnya untuk dapat bergerak (mobilisasi). Masyarakat seolah-olah dipaksa untuk harus memiliki sepeda motor ataupun mobil pribadi karena tidak ada pilihan moda transportasi lain yang benar-benar dapat diandalkan oleh masyarakat.
Transportasi umum
Jika ingin menjadi sebuah kota yang maju, pemerintah kota Banda Aceh wajib memikirkan dengan baik sarana transportasi umum perkotaannya. Karena bila dikelola dengan baik, transportasi umum akan sangat membantu dalam meningkatkan citra kota dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi interaksi sosial masyarakat, terutama di ruang publik, dan tentu saja peningkatan PAD kota.
Adapun syarat-syarat suatu transportasi umum dapat dikatakan baik bila sudah memenuhi beberapa kriteria, diantaranya: pertama, menjangkau seluruh kota. Jaringan transportasi umum harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat terutama dari tempat tinggal menuju tempat-tempat mereka beraktivitas sehari-hari.
Kota Banda Aceh saat ini memiliki jaringan transportasi kota yang sangat minim. Jalur-jalur kendaraan umum tidak pernah mencapai kawasan-kawasan yang menjadi titik berangkat (perumahan). Pembangunan titik-titik tumbuh baru seperti pembangunan jalan Simpang Surabaya-Batoh yang juga diikuti dengan pemindahan terminal bis justru tidak diikuti dengan penambahan jalur-jalur transportasi umum baru sehingga masyarakat harus mengandalkan kendaraan pribadi untuk dapat melintasi jalur tersebut.
Kedua, dapat diandalkan. Agar masyarakat mau menggunakan transportasi umum, fasilitas yang digunakan harus dapat diandalkan, terutama menyangkut dengan ketepatan waktu. Ketika menggunakan kendaraan umum, penumpang harus mengetahui dengan pasti kapan mereka harus keluar dari rumah dan kapan akan tiba di tujuan.
Ketiga, fleksible. Ini berarti bahwa ketika berada dalam sebuah transportasi umum, masyarakat harus dapat dengan mudah mengganti jalur jika harus mengganti tempat tujuannya. Selama ini fleksibilitas ini hanya bisa didapat jika kita menggunakan kendaraan pribadi. Keempat, dan tentu saja syarat-syarat lain seperti keamanan dan kenyamanan di dalam kendaraan, harga yang terjangkau, dan lain-lain.
Transport planner
Dengan segala permasalahan transportasi yang dihadapi saat ini, Banda Aceh harus memiliki seorang transport planner yang memiliki visi yang cukup cerdas serta mampu memanfaatkan potensi-potensi kota yang ada.
Memberikan alternatif moda transportasi bagi masyarakat merupakan kunci utama dalam penangulangan masalah transportasi perkotaan. Oleh karena itu selain harus merencanakan jalur-jalur transportasi umum yang menyeluruh, pemerintah juga harus memperhatikan jaringan-jaringan pendukung di bawahnya seperti perencanaan jalur pedestrian, dan jalur sepeda.
Kendaraan umum dan jalur pedestrian merupakan dua hal yang saling berkaitan, kita tidak akan bisa mengubah perilaku masyarakat untuk memilih kendaraan umum, jika kota belum memiliki jalur-jalur pedestrian yang memadai, karena ketika masyarakat menggunakan kendaraan umum, berarti mereka akan meninggalkan kendaraan pribadinya, sehingga penghubung dengan tempat tujuannya adalah dengan berjalan kaki.
Oleh karena itu, perencanaan sarana transportasi yang bersinergi dan saling mendukung merupakan solusi terbaik untuk meningkatkan mutu mobilisasi perkotaan. Masyarakat diberikan alternatif-alternatif moda transportasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Hal ini akan memberikan dampak yang berkelanjutan bagi kota karena peningkatan jumlah penduduk tidak diikuti dengan peningkatan kebutuhan ruang untuk bergerak yang signifikan sehingga kapasitas kota akan mampu mengimbangi kebutuhan masyarakat.
* Fakhrurrazi adalah lulusan Master Study of Urbanism Delft Technology University, The Netherlands.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar