by hanif sofyan
Dalam Waterworld, film garapan Sutradara Kevin Reynolds, bumi digambarkan dipenuhi air, 75% bumi menjadi wilayah air dan sisanya daratan. Seperti sebuah skenario film, bumi digambarkan juga akan mengalami periode itu. Namun-- sebaliknya di awal 2025, air akan menjadi komoditi paling langka, paling susah dicari, dan paling mahal di pasaran. Jikalau Carrefour dan Matahari sudah menimbunnya sejak sekarang ia akan menjadi superstore pada era itu.
Apakah ide ini hanya sebuah kisah paradoksi, dari realitas yang akan terjadi?. Bagaimana jika skenario yang terjadi justru sebaliknya, dunia dipenuhi daratan kering kerontang tanpa batas?. Jika realitasnya berbalik, tentu akan sangat berbeda jalan ceritanya. Tanpa air, manusia, bahkan bumi tak memliki daya hidup. Selain udara sebagai paru-paru bumi, air adalah “ibu” dari segala kebutuhan primer manusia. Sebuah penelitian menyebutkan, manusia tanpa makan dapat bertahan hingga 8 minggu, namun tanpa air 3-5 hari akan menjadi rekor baru manusia untuk mampu bertahan hidup. (Howstuffworks,2009)
Gagasan apa yang hendak dimunculkan Kevin Reynolds sang produser, dengan menghadirkan film tersebut. Kesulitan akan airkah?, kelangkaan yang harus dibayar mahal karena ulah manusia hari ini yang membuat bumi berada pada krisis global yang ‘mengeringkan” daratan bumi?. Atau kekuatiran pada water war. Dalam Film Blue gold: world water wars yang disutradarai Malcolm McDowell dan Buku Blue Gold karya Maude Barlow dan Tony Clarke, kelak air akan menjadi komoditi primer bernilai multi jutadolar. Bisnis akan menguasai seluruh pasar, dan bahkan negara dengan konsep demokrasi yang mengatur bahwa “bumi dengan segala isinya untuk kesejahteraan rakyat” sekalipun tak mampu berkutik dibawah “ketiak” para pelaku bisnis. Kelak air juga akan menjadi alat pemicu perang, perang bisnis dan perang dalam arti sesungguhnya--perang memperebutkan air. Seperti halnya orang mulai mengincar “bisnis jual beli” emisi karbon, gas dibayar tunai, air kelak juga akan dibayar tunai jauh dari realitas sekarang.
“Air Premium” Dalam Botol, Bisnis dan Perang
Pada mulanya gagasan menjual air dalam botolan adalah gagasan gila. Betapa tidak, dengan kemudahan akses orang terhadap air, tiba-tiba muncul gagasan menjual air dengan harga mahal, hanya air murni dan bening lagi. Namun tren, gengsi, kebutuhan instan, praktis dan mudah, mulai mengarahkan bisnis ini pada pijakan dimulainya persaingan dan pertarungan bisnis yang sesungguhnya, untung atau rugi. Jika kini saja air botolan bisa dijual pada label harga ribuan bahkan puluhan ribu, padahal 2 dekade lalu dianggap “barang pasaran”, bagaimana bayangan kita untuk tahun 2025.
Bagaimana sebaiknya kita "bersikap" jika kekuatiran itu menjadi kenyataan?, bahkan jika kondisi lebih lambat dari yang kita perkirakan sekalipun. Ketika persaingan bisnis semakin ganas dan munculnya krisis air lebih dini, karena sumber cadangan air cepat terhabiskan?. Maka kita mungkin tak perlu menunggu hingga tahun 2025 untuk sampai pada kondisi krisis air. Mungkin 2015, atau 2020, akan menjadi tahun dimulainya krisis air, yang dimulai dari penguasaan air oleh segelintir perusahan. Kemudian krisis akan bergulir pada meningkatnya kebutuhan akan air sehat bersih dan hygienis. Sehingga meningkatkan demand dan menguras stock karena menurunnya supply. Hukum demand supply adalah hukum normal, yang bisa memberikan tanda kondisi cadangan air. Sekaligus menjadi sinyal untuk dijadikan alasan dimulainya persaingan dan peperangan. Diawali persaingan dan peperangan dalam bisnis, dan berujung pada perang vis a vis antar negara.
Permintaan air yang menggila, akan mengeringkan sumber-sumber air tawar pada awalnya, kemudian perang akan diarahkan pada diversifikasi produk olahan baru, menyuling air laut. Seperti yang tengah dilakukan di Abu Dhabi, kota multibilyun. Menimbun laut, menciptakan daratan baru saja, kini bukan mimpi lagi. Apa ini juga yang akan menjadi kenyataan ketika pada akhirnya bumi kehilangan air dan bumi didominasi daratan mahaluas?.
Negara vs Air Bersih, Paradigma Yang Berubah
Laut memang luas, namun seberapa banyak negara pada era tersebut yang mampu menyuplai air untuk mayoritas warga negaranya?. Bayangkan jika sebuah negara kecil seukuran Nauru didiami oleh 2 juta orang penduduk dan masing masing orang mengkonsumsi 2 liter setiap harinya maka dibutuhkan, kasarnya--kurang lebih 4 juta liter per hari. Berapa banyak pabrik dibutuhkan untuk menyuplai jumlah itu?, berapa banyak energi yang harus dikorbankan untuk melakukan penyulingan itu?. Energi apa yang layak digunakan untuk menyuplai kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari sepanjang hayat?. Dan pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah, berapa banyak negara mampu melakukan produksi air “sehat dan bersih” dengan alat dan tehnologi, dengan biaya yang tinggi. Akankah hal tersebut nantinya justru akan mendorong persaingan, ekpansi, aneksasi, invasi antar negara untuk saling berebut dan menguasai?.
Ada anggapan aneh dan terasa mengada-ada jika kita sekarang berandai-andai soal krisis air itu, karena hari ini, “air ledeng” masih gampang dijangkau di ujung kran air kita. Air minum dalam kemasan masih jadi komoditi kelas kesekian dari sekian banyak kebutuhan primer kita, dan kita masih bisa bercanda “asal uang masih ada, kita masih bisa menemukan air dimana saja”, di kedai kecil dipelosok desa terpencil sekalipun. Bahkan sebuah aknekdot, berkisah, ketika seseorang tersesat di tengah gurun, ia tak cuma sekedar melihat fatamorgana, tapi juga menemukan toko kelontong Cina yang menjajakan berbagai jenis air minum dalam kemasan dengan berbagai ukuran dan merek”. Walhasil, daya kritis kita, masih terbenam jauh, lagipula kondisi belum darurat. Kecuali bagi sekelompok para peduli lingkungan yang was-was dan mulai mencoba menawarkan gagasan dan ide “lebih ramah dan bersahabat dengan lingkungan”. Kelompok lain, bahkan mengolok-olok layaknya kisah Nabi Nuh dan perahunya, kita dianggap bicara omong kosong ketika kekuatiran masih begitu jauh dari pelupuk mata. Padahal, ide “kekuatiran” ini, setidaknya akan menjadi bahan renungan, ruang kontemplasi kita, meski konsep keseimbangan manusia dan alam masih dianggap sebuah kekuatiran yang tak beralasan dan hanya berdasar phobia atas sesuatu.
Generasi Krisis Air
Mungkin kelak kita akan menjadi bagian yang tak akan menjumpai realitas (sebuah dunia minim air). Meski faktor gizi mendorong kita memiliki umur lebih panjang sekalipun. Bagaimana dengan anak-anak kita yang hari ini masih menjadi tanggungan kita?. Dan hari ini kita, mau melakukan apa saja untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka, “buah hati” kita. Lalu pernahkan kita memikirkan bahwa langkah kecil untuk menjaga masa depan sebuah dunia tanpa krisis air, adalah demi “buah hati” kita yang kelak akan menjalani hidup di masanya.
Saat ini, minimal kita masih berlimpah air, kita belum lagi bicara soal bagaimana perlunya udara yang bersih, hutan yang harus terus dijaga untuk menjaga karbon tetap pada tempatnya dan melakukan suling udara setiap harinya untuk “membekali” udara sehat kita, meski saat inipun kita sudah dalam kondisi “polusi ringan”.
Kita belum lagi menyentuh substansi lain, bagaimana dengan air tanah dan interupsi air laut, yang mulai menjarah daratan Jakarta misalnya, hingga masuk radius mendekati permukiman. Mungkin seperti prediksi yang pernah dilakukan di 2015, Jakarta seluruhnya akan dijajah interupsi air laut. Sehingga PDAM akan beralih fungsi menjadi PDPAL (Perusahaan Daerah Penyuling Air Laut). Dan air akan menjadi komoditi level dua dari proses produksi pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Sehingga bayangan kita, air akan menjadi komoditi seperti kayu log (kayu bulat batangan) saat ini. Kebijakan pemerintah melarang kita menjual kayu log langsung, harus melalui proses olah dulu baru bisa dijual sebagai bahan siap pakai. Begitupun air, Perusahaan Derah yang dikelola negara hanya akan menjadi perusahaan penyuling air, dan perusahaan swasta akan membelinya dan mengemasnya dalam botol. Kira-kira seberapa penting komoditas air ketika itu? dan berapa kira-kira harganya?. Bagaimana “buah hati “ kita hari itu memperoleh airnya?. Mudahkah?, sulitkah?, berapa persen kira-kira yang bisa dengan mudah mendapatkan porsi itu? Berapa persenkah yang tak mampu menjangkau realitas itu, karena faktor kemiskinan, ketidakmampuan?
Bandingkan realitas mampu dan tidak mampu hari ini, berapa persen orang yang bisa mengakses air bersih hari ini?. Seimbangkah antara demand supplay dan jangkauan ekonomi kelompok pinggiran, yang hari ini menjadi mayoritas di Indonesia misalnya?. Atau konkritnya golongan ekonomi kelas berapakah yang kelak mampu bertahan hidup dan bisa menjangkau air sebagai kebutuhan hariannya?. Tak usahlah berpikir soal mandi, karena itu bisa dipenuhi oleh air dengan kualitas nomor tiga,lima atau bahkan kualitas nomor enam untuk kelas tertentu di bantaran kali Ciliwung Jakarta misalnya?.
Jangan dulu beranjak pada kemungkinan realitas lain yang bakal muncul, ketika kebutuhan primer ini menjadi “emas baru”, maka orang akan mengalihkan motif rampokannya bukan lagi pada berlian, tapi pada “blue gold” (emas biru), sebutan komoditi baru, "air", yang kelak, diperkirakan akan menjadi akar penyulut perang baru.
Masih Beruntung barangkali jika kita tinggal di Sumatera dan Kalimantan atau Irian, yang punya daratan lebih luas. Mungkin butuh waktu lebih lama untuk merasakan krisis air layaknya Jakarta. Namun krisis ini pasti akan terus menyebar layaknya epidemi, merangsek dari kota pinggiran laut dan beranjak ketengah permukiman secara perlahan. Karena musnahnya air tak mesti harus menunggu punahnya daratan. Ketika interupsi air laut jauh masuk kedaratan ketika itu juga “era krisis air” dimulai. mungkin dunia 2025, diawali kisahnya disitu. Water Crisis begins.Akhirnya kita memang harus mengikuti ritme alam, "mendengarkan" dengan hati, lebih bijaksana,lebih arif dan menyurutkan nafsu serakah menguasai alam dengan seluruh isinya layaknya tuhan-tuhan kecil dalam bumi Tuhan MahaBesar. [hans-2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar