by hanif sofyan
Ini tak ada kaitan dengan, kiamat 2012 versi Hollywood, ketika “kiamat” dikalahkan oleh mesin. Ini tentang dunia hari ini yang sedang memulai proses "kiamat kecil”. Qur’an telah memberikan nubuahnya, dan manusia berusaha menerjemahkannya dengan bahasa masing-masing.
Wacana perubahan cuaca/climate change, terus menunjukkan barisan pendukungnya. Tanggal 7-19 Desember 2009 lalu, PBB telah menyelenggarakan konferensi perubahan iklim di Kopenhagen, menyuarakan sebuah pemakzulan, bumi yang tengah berubah. Al Gore juga menyuarakannya melalui film dokumenter, "An inconfenient truth", memvisualisasi fenomena wajah “Bumi” yang sesungguhnya, dimana 7 milyar manusia hidup didalamnya tumpang tindih dengan segala problematikanya. Siapa yang lebih berhak menentukan hendak kemana nasib 7 milyar manusia beberapa dekade mendatang?, tentunya kita sendiri.
Perahu Ala Nabi Nuh
Alkisah, Nabi Nuh membuat perahu ditengah padang pasir gersang kerontang, di sebuah dunia minim air. Karena mengemban titah sebuah rahasia Tuhan, pekerjaan tak lazim itu dijalani juga. Ketika hari H tiba, semua orang yang “percaya” pada “pesan Allah”, masuk dalam perahu, termasuk kumpulan pasangan binatang. Seperti kisah yang tertulis, turun hujan lebat, yang melautkan daratan, dan tinggallah para pencela, yang tak pernah bisa membaca dan mendengar “suara Tuhan” dan mereka ditenggelamkan ego dan ketidakpeduliannya sendiri.
Kisah ini, seperti kisah climate change hari ini, ketika pesan dan tanda Allah melalui alam muncul, sebagian orang masih ragu-ragu dan cuek bebek, apakah “bumi” ini akan berubah begitu cepat?. Apakah terik matahari benar-benar akan melelehkan salju di Antartika?. Apakah, laut benar-benar akan naik kepermukaan lebih cepat dari dekade sebelumnya?.
Orang yang berada dalam radius paling dekat dengan sinyal bencana bumi, tentu akan semakin bergegas. Republik Maladewa misalnya, sebuah negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan atol di Samudra Hindia, tepatnya di sebelah selatan-barat daya India, mulai berkemas. Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Presiden Mohamed Nasheed pada 17 November 2009 lalu, bahkan dilakukan di kedalaman 6 meter di bawah laut, sebagai bentuk keprihatinan dan menyepakati sebuah resolusi tentang pengurangan emisi karbon global. Emisi karbon menyebabkan kenaikan permukaan laut sehingga akan mengancam keberadaan Republik Maladewa. (pikiran rakyat online; 18/10/09). Bahkan dalam wacana yang berbeda Maladewa, tengah mencari "tempat baru" untuk negaranya.
Berbagai kasus seperti halnya Maladewa, kemudian menggugah orang untuk bergegas mempersiapkan “perahu”, dengan berbagai daya dan upaya bagaimana menyelamatkan bumi, terutama dengan lebih ber-empati terhadap lingkungan. Ini sebuah pekerjaan mahapelik, climate change adalah sebuah “paket” besar bencana dengan “paket” besar penyebabnya.
Tantangan Global
Dalam bahasa yang berbeda, film Dokumenter An Inconvenient truth berusaha menawarkan argument persuasif, untuk memberikan gambaran situasi global, karena ini merupakan tantangan terbesar terhadap peradaban manusia. Namun tantangan lebih pelik lagi ke depan adalah bahwa wacana yang terus bergulir ini, menyangkut kepentingan dan kemauan banyak kelompok, tamak, rakus, dan tak peduli nilai, seperti kaum Nabi Nuh yang tak peduli petaka Tuhan. Ketika orang mulai membangun “perahu”, dengan kampanye yang massive, mereka melawannya dengan propaganda, bahwa cimate change sebagai isue murahan dan bahan jualan para kelompok peduli lingkungan. Banyaknya pihak yang bermain mengakibatkan ada bias kepentingan, disatu sisi fakta ini memang benar adanya, sementara disisi lain, kepentingan yang lebih besar berusaha “membeli” fakta ini, dan “menjualnya”, seperti halnya isu--carbon trade yang saat ini sedang “booming” dengan Poject REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation)--kampanye menurunkan kadar emisi karbon dengan membatasi perusakan hutan. Didalamnya terjadi barter antara negara kaya versus negara miskin--dimana dunia maju membujuk dunia ketiga, dengan iming-iming "dana segar", dan para pembayar emisi karbon, "bebas menentukan" ambang batas emisi karbonnya sendiri.
Dalam bahasa yang berbeda, film Dokumenter An Inconvenient truth berusaha menawarkan argument persuasif, untuk memberikan gambaran situasi global, karena ini merupakan tantangan terbesar terhadap peradaban manusia. Namun tantangan lebih pelik lagi ke depan adalah bahwa wacana yang terus bergulir ini, menyangkut kepentingan dan kemauan banyak kelompok, tamak, rakus, dan tak peduli nilai, seperti kaum Nabi Nuh yang tak peduli petaka Tuhan. Ketika orang mulai membangun “perahu”, dengan kampanye yang massive, mereka melawannya dengan propaganda, bahwa cimate change sebagai isue murahan dan bahan jualan para kelompok peduli lingkungan. Banyaknya pihak yang bermain mengakibatkan ada bias kepentingan, disatu sisi fakta ini memang benar adanya, sementara disisi lain, kepentingan yang lebih besar berusaha “membeli” fakta ini, dan “menjualnya”, seperti halnya isu--carbon trade yang saat ini sedang “booming” dengan Poject REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation)--kampanye menurunkan kadar emisi karbon dengan membatasi perusakan hutan. Didalamnya terjadi barter antara negara kaya versus negara miskin--dimana dunia maju membujuk dunia ketiga, dengan iming-iming "dana segar", dan para pembayar emisi karbon, "bebas menentukan" ambang batas emisi karbonnya sendiri.
Tantangan lebih beratnya lagi karena, negara-negara maju berada di garis depan dalam melakukan perlawanan terhadap kesepakatan “tingkat ambang batas emisi karbon yang layak bagi udara bersih”, semata-mata lebih karena kepentingan bisnis yang tak mau rugi. Dan dalam urusan pemanasan global, Amerika Serikat adalah negara yang 'kontribusi'-nya paling banyak, tak kurang dari 25% produksi karbondioksida dunia berasal dari Amerika Serikat. Salah satu penyebabnya adalah di sana isu pemanasan global masih saja menjadi polemik, antara lain akibat pemberitaan yang tidak berimbang di media massa serta lobi politis dari pihak-pihak yang tidak pro lingkungan.(kapanlagi.com 5/3/07).
Lagi, ini merupakan sebuah dinamika, dimana peluang dan tantangan bertarung, untuk memperebutkan tempat. Namun setidaknya upaya yang terus menerus tak berhenti akan membantu “mengerem” laju kerusakan bumi pada tingkat yang mungkin masih bisa “menolong” bumi untuk mengobati dirinya sendiri. [hans-2011]
di setiap jaman, pertarungan baik-buruk adalah dinamika, dan setiap langkah untuk memperbaikinya, sekecil apapun upaya dilakukan, lebih baik daripada tidak sama sekali.
BalasHapusBagus artikelnya.
BalasHapusSebagai referensi tambahan, baca juga kisah tentang kaum saba' dalam Al-Quran...
salam,
akmal