Sun, Feb 14th 2010, 09:48
Selemak Kesenian Aceh
- “Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofinya periku nasi, senimannya tukang tiru” (Kahlil Gibran). Aceh patut berbangga atas prestasi akhir tahun 2009, di bidang budaya yang mendapat museum rekor dunia-Indonesia (muri). Apalagi, prestasi ini jadi bargaining nasional Muda Balia, seniman tutur dari Bakongan memperoleh sertifikat yang kemudian membawa harum kesenian Aceh. Dewan Kesenian Aceh (DKA) dan Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB) sebagai penyelenggara pembacaan hikayat 26 jam bagi Balia pun keciprat penghargaan yang sama.
Namun anehnya, penghargaan tingkat nasional bergengsi dunia kok mesti diambil ke pusat, tidak langsung pihak MURI yang turun ke Aceh. Mulanya saya kira sah-sah saja sertifikat tersebut diambil ke pusat meskipun dalam lazimnya, pihak muri yang turun ke daerah—jika orang di daerah yang meraih muri. Jikapun diundang untuk mengambil sertifikat tersebut ke Jakarta, seharusnya tiket pulang pergiditanggung oleh sekretariat pemberi penghargaan. Namanya saja penghargaan, maka menjadi lucu manakala orang yang meraih penghargaan dimaksud dipaksa merogoh kocek pula untuk mengambil sertifikatnya.
Ini kemudian ‘terpaksa’ dilakoni oleh Balia dari Bakongan. Sebagai anak kampung yang merantau bermodalkan seni tutur, untuk sampai ke ibukota adalah mimpi tinggi bagi Balia. Apalagi, memperoleh sertifikat keahlian bertaraf dunia. Harusnya, Balia tidak sampai mengemis mencari selembar tiket untuk dirinya. Pemerintah mesti memperhatikan hal ini.
Bagi DKA dan DKB sendiri, sejatinya bertanggungjawab untuk membawa Balia sehingga tak perlu seniman itu minta sedekah lewat media seperti dituturkan oleh Sjamsul Kahar (baca Serambi 17 Januari 2010). Semoga saja keberangkatan Balia bersama Ketua DKA dan Ketua DKB beberapa waktu lalu bertemu Paulus Pangka di sekreatariatMURI, Semarang, bukan tiket hasil minta sedekah Balia kepada masyarakat.
Jika memang untuk sampai ke sekretariat muri, Balia harus ‘mengamen’ lagi ke beberapa tempat demi lembar tiket untuk dirinya dan para ketua dewan kesenian, alangkah naifnya dunia berkesenian di Aceh. Maka apa yang diungkapkan oleh Gibran yang saya kutip di awal tulisan ini benar adanya.
Pemerintah acuh tak acuh terhadap dunia kesenian tidak lebih dari serigala yang hanya membutuhkan dunia seni sebagai hiburan semata, sedangkan para pembuat acara (event organizer) tak lebih menjadikan kesenian sebagai periuk nasinya dalam artian menjual proyek kesenian untuk mengisi beras sekali tanak. Selanjutnya, dunia berkesenian yang cenderung tiru meniru oleh pelaku seninya, cocok pula dengan ungkapan Gibran pada frasa terakhir.
Seharusnya, pemerintah menyadari bahwa birokrasi tanpa seni tidak akan indah. Jika ini dimiliki oleh pemerintah, kesenian di Aceh tidak lagi luntang-lantung. Demikian halnya dengan dewan kesenian sebagai lembaga payung, harus bisa ‘mengawinkan’ seniman dengan pemerintah. Lembaga dewan kesenian jangan lagi hanya dijadikan sebagai ‘periku nasi’ seperti kata Gibran di atas, sedangkan sesama seniman sendiri tidak mampu dibuat kesepahaman. Ini menjadi tanggung jawab lembaga dewan kesenian, karena institusi ini adalah payung seniman. Jika antara lembaga payung dan yang dipayungi ada kesepahaman, tentu berjabat tangan dengan pemerintah pun akan mudah sehingga Taman Budaya itu tak perlu lagi disewakan untuk aven kesenian (ini baru hal kecil).
Saya melihat keretakan terbesar di tubuh lembaga dewan kesenian dan seniman itu sendiri adalah adanya saling piting. Akibatnya, hasil kongres DKA akhir tahun lalu sampai sekarang tidak ditandatangani oleh Gubernur Aceh. Nah, jika memang hasil kongres itu tidak diakui oleh pemerintah, pastinya ada alasan kuat. Maka, lakukan saja kongres kembali, yang sah di mata seniman dan pemerintah, dengan melibatkan seluruh unsur seniman di Aceh (bagi DKA). Sedangkan DKB, juga sudah boleh melakukan Mubes; segera!—bukan secepatnya—karena lembaga itu sudah setahun habis masa kerja.
Jika di tubuh DKA, termasuk DKB, tidak berselemak masalah, tentu masalah-masalah di duniakesenian Aceh dapat terselesaikan. Sekarang ada masalah baru, munculnya Muda Balia dari Manggeng yang menantang Muda Balia dari Bakongan ‘tunang hikayat’. Kehebatan kedua Balia ini berhikayat sudah pernah saya tonton di kampung saya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana DKA dan DKB memfasilitasi kedua Balia ini bertemu tidak sampai terjadi ‘perang’.
Perlu diketahui bahwa, bagi masyarakat Aceh Selatan (sumber hikayat Aceh), pembacaan hikayat itu sakral, bisa ‘berdarah-darah’. Jika DKA dan DKB sebagai panitia pembacaan hikayat 26 jam itu tidak memfasilitasi pertemuan dua seniman tutur ini, tatkala keduanya bertemu bukan di acara resmi nanti, saya khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan di dunia berkesenian Aceh. Pertanyaannya, mungkinkah DKA dan DKB dapat memfasilitas
* HERMAN RN; penikmat seni di Gemasastrin dan Teater Nol Unyiah
Namun anehnya, penghargaan tingkat nasional bergengsi dunia kok mesti diambil ke pusat, tidak langsung pihak MURI yang turun ke Aceh. Mulanya saya kira sah-sah saja sertifikat tersebut diambil ke pusat meskipun dalam lazimnya, pihak muri yang turun ke daerah—jika orang di daerah yang meraih muri. Jikapun diundang untuk mengambil sertifikat tersebut ke Jakarta, seharusnya tiket pulang pergiditanggung oleh sekretariat pemberi penghargaan. Namanya saja penghargaan, maka menjadi lucu manakala orang yang meraih penghargaan dimaksud dipaksa merogoh kocek pula untuk mengambil sertifikatnya.
Ini kemudian ‘terpaksa’ dilakoni oleh Balia dari Bakongan. Sebagai anak kampung yang merantau bermodalkan seni tutur, untuk sampai ke ibukota adalah mimpi tinggi bagi Balia. Apalagi, memperoleh sertifikat keahlian bertaraf dunia. Harusnya, Balia tidak sampai mengemis mencari selembar tiket untuk dirinya. Pemerintah mesti memperhatikan hal ini.
Bagi DKA dan DKB sendiri, sejatinya bertanggungjawab untuk membawa Balia sehingga tak perlu seniman itu minta sedekah lewat media seperti dituturkan oleh Sjamsul Kahar (baca Serambi 17 Januari 2010). Semoga saja keberangkatan Balia bersama Ketua DKA dan Ketua DKB beberapa waktu lalu bertemu Paulus Pangka di sekreatariatMURI, Semarang, bukan tiket hasil minta sedekah Balia kepada masyarakat.
Jika memang untuk sampai ke sekretariat muri, Balia harus ‘mengamen’ lagi ke beberapa tempat demi lembar tiket untuk dirinya dan para ketua dewan kesenian, alangkah naifnya dunia berkesenian di Aceh. Maka apa yang diungkapkan oleh Gibran yang saya kutip di awal tulisan ini benar adanya.
Pemerintah acuh tak acuh terhadap dunia kesenian tidak lebih dari serigala yang hanya membutuhkan dunia seni sebagai hiburan semata, sedangkan para pembuat acara (event organizer) tak lebih menjadikan kesenian sebagai periuk nasinya dalam artian menjual proyek kesenian untuk mengisi beras sekali tanak. Selanjutnya, dunia berkesenian yang cenderung tiru meniru oleh pelaku seninya, cocok pula dengan ungkapan Gibran pada frasa terakhir.
Seharusnya, pemerintah menyadari bahwa birokrasi tanpa seni tidak akan indah. Jika ini dimiliki oleh pemerintah, kesenian di Aceh tidak lagi luntang-lantung. Demikian halnya dengan dewan kesenian sebagai lembaga payung, harus bisa ‘mengawinkan’ seniman dengan pemerintah. Lembaga dewan kesenian jangan lagi hanya dijadikan sebagai ‘periku nasi’ seperti kata Gibran di atas, sedangkan sesama seniman sendiri tidak mampu dibuat kesepahaman. Ini menjadi tanggung jawab lembaga dewan kesenian, karena institusi ini adalah payung seniman. Jika antara lembaga payung dan yang dipayungi ada kesepahaman, tentu berjabat tangan dengan pemerintah pun akan mudah sehingga Taman Budaya itu tak perlu lagi disewakan untuk aven kesenian (ini baru hal kecil).
Saya melihat keretakan terbesar di tubuh lembaga dewan kesenian dan seniman itu sendiri adalah adanya saling piting. Akibatnya, hasil kongres DKA akhir tahun lalu sampai sekarang tidak ditandatangani oleh Gubernur Aceh. Nah, jika memang hasil kongres itu tidak diakui oleh pemerintah, pastinya ada alasan kuat. Maka, lakukan saja kongres kembali, yang sah di mata seniman dan pemerintah, dengan melibatkan seluruh unsur seniman di Aceh (bagi DKA). Sedangkan DKB, juga sudah boleh melakukan Mubes; segera!—bukan secepatnya—karena lembaga itu sudah setahun habis masa kerja.
Jika di tubuh DKA, termasuk DKB, tidak berselemak masalah, tentu masalah-masalah di duniakesenian Aceh dapat terselesaikan. Sekarang ada masalah baru, munculnya Muda Balia dari Manggeng yang menantang Muda Balia dari Bakongan ‘tunang hikayat’. Kehebatan kedua Balia ini berhikayat sudah pernah saya tonton di kampung saya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana DKA dan DKB memfasilitasi kedua Balia ini bertemu tidak sampai terjadi ‘perang’.
Perlu diketahui bahwa, bagi masyarakat Aceh Selatan (sumber hikayat Aceh), pembacaan hikayat itu sakral, bisa ‘berdarah-darah’. Jika DKA dan DKB sebagai panitia pembacaan hikayat 26 jam itu tidak memfasilitasi pertemuan dua seniman tutur ini, tatkala keduanya bertemu bukan di acara resmi nanti, saya khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan di dunia berkesenian Aceh. Pertanyaannya, mungkinkah DKA dan DKB dapat memfasilitas
* HERMAN RN; penikmat seni di Gemasastrin dan Teater Nol Unyiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar