Sun, Dec 19th 2010, 08:42
Apresiasi
Seh Soh Qanun Wali Nanggroe
- MALAM merambat pagi. Mata ini tak jua bisa terpejam. Lalu sebuah tanya tiba-tiba muncul. Cara teumayong itu mirip gaya bertanya di panteu beut jameun. Apalagi pertanyaan itu mengantung.Pertanyaannya,; “Jika ditanya tentang posisi Wali Nanggroe - siapa lebih bagus, pemimpin adat atau pemimpin politik maka....” Nah itulah yang bikin sulit menjawabnya. Pemimpin adat atawa pemimpin politik. Sulit menjawabnya karena kedua pertanyaan itu sudah tidak netral, khususnya bagi mereka yang masih menyimpan memori politek Aceh.
Jameun, pemimpen adat itu sama dengan pemimpen hokum. Itu umumnya dipegang oleh pemangku adat (hukum) dari kalangan parte uleebalang. Jadi, pemimpin adat identik dengan kekuasaan uleebalang. Jameun cit, pemimpen politik sama dengan penguasa atau birokrat yang sempat dikuasai oleh parte tengku. Banyak dari kalangan uleebalang pernah lengser dari jabatan-jabatan birokrat awal-awal kemerdekaan RI, termasuk dalam bidang hukum.
Nah, kalau merujuk Aceh tempo doeloe itu maka akan jadi panas. Bisa jadi posisi Wali Nanggroe akan terbelah. Ada yang curiga (dalam hati) Wali Nanggroe itu sama dengan maklumat kemenangan kembali kalangan uleebalang jika tetap sebagai pemimpin adat. Sebaliknya, bisa jadi juga ada yang curiga Wali Nanggroe adalah baju lain dari politek teungku jika posisi Wali Nanggroe sebagai pemimpin politik.
Tak tertutup juga kemungkinan kedua pihak (tengku dan uleebalang) akan curiga kalau ini dinasti baru Aceh yang mengawinkan aristokrasi dengan monarki. Lebih dari itu, bisa jadi juga Wali Nanggroe dilihat sebagai jalan rujuk sejarah bagi dua pihak yang dulu pernah bertikai dengan amat seru.
Apapun jawaban yang dipilih, tentu sangat tidak baik jika bertolak dari kecurigaan. Meski juga tidak sangat bijak manakala kebijakan dirumuskan tanpa mempertimbangkan kecurigaan yang sangat mungkin muncul. Mungkin, karena itulah mengapa pilihan demokrasi menjadi pilihan yang lebih menarik meski demokrasi bukan mekanisme yang lebih sempurna dari pilihan-pilihan yang ada.
Lewat demokrasi, rakyatlah pemilik kedaulatan (dalam mengelola bumi). Jika ada satu orang atau sekelompok orang yang lebih suci, cerdas, dan kuat ia atau kelompok itu tidak boleh merampas kedaulatan rakyat meski ia atau kelompok itu sudah secara nyata menjadi pembebas rakyat dari penindasan yang dilakukan orang atau kelompok lain.
Rumusnya sederhana. Siapa saja berpeluang sama, bisa sebagai yang membebaskan atau merampas merampas kebebasan. Itu sebab kedaulatan rakyat menjadi penting.
Benar juga bila rakyat memang membutuhkan kepemimpinan profetik sekaligus peka budaya (adat) untuk menghadapi era hedonis atau koruptif yang gagal digempur oleh pemimpin hasil pilihan demokratis. Sayangnya, memberi kursi kekuasaan abadi kepada seseorang tanpa hasil pemilihan, berarti memberi ia godaan kekuasaan yang tidak tertutup kemungkinan untuk disalahgunakan. Sebab tidak ada lembaga yang bisa mengawasi dan melengserkannya.
Beruntung jika ia sosok yang adil. Tapi peruntungan lebih dekat pada politik perjudian. Karenanya, alangkah bagus “merendahkan” letak kursi duduk Sang Wali di hadapan kekuasaan namun uluran tangan dan gagasan pemersatuannya berlaku bagi semua golongan ketimbang “meninggikan” letak kursinya di atas semua kekuasaan tapi uluran tangan dan pikirannya justru hanya untuk satu golongan saja.
Sungguh, politik Wali Nanggroe itu hadir berawal kala atmosfir politik Aceh doeloe terbelah dua dan seperti mendapat mandat sejarah Sang Wali menggempur lawan agar semua yang bertikai di nanggroe kembali saling menjadi kawan. Karena itu, sudah sewajarnya jika kini politik Wali Nanggroe diakhiri dengan reformulasi posisi karena lawan sudah menjadi kawan dan karena itu sudah sangat tepat jika Wali Nanggroe mengambil peran pemersatu untuk mengawali babak baru kewalian di era damai ini.
Sungguh, apapun gelar yang dilekatkan pada Wali Nanggroe, baik al-malik (penguasa), al-mudabbir (pengatur), al-muwalli (pemimpin), atau as-salam (penyelamat/pendamai) semua memiliki nilai kebajikan apalagi jika gelar itu diambil dari asmaul husna. Satu dan lainnya tidak saling rendah apalagi merendahkan.
Pagi pun tiba. Dari salah satu channel televisi terdengar lantunan ayat suci dalam alunan mendayu. Saya teringat satu surah dalam Alquran (al-maidah 55) yang artinya, “Sesungguhnya Wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dalam keadaan ruku.”
Imam Ali as juga mengingatkan, “Barang siapa berlebih-lebihan dalam berangan-angan dikhawatirkan akan banyak berperilaku buruk.” Wallahualam bissawab.
* Risman A. Rachman, berhidmat pada social dan budaya Aceh, tinggal di Cirieh Ulee Kareng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar