Oleh M.Nabil Azra
Menulis Essay Kebencanaan 2014
Tahukan kamu bahwa di Aceh saat ini terdapat 7 kecamatan dengan 185.536 penduduk yang hidup di bawah bayang-bayang ancaman tsunami?. Dan Aceh masuk menjadi salah satu dari 12 provinsi zona beresiko rawan tsunami, sehingga ditetapkan menjadi pilot area atau leading bagi propinsi sekitarnya untuk melakukan koordinasi bencana (serambi, 10/12).
Tampaknya hampir tak terbayangkan untuk berpikir bahwa bumi yang indah, damai dan terkesan ‘bersahabat’ dengan manusia seperti kita lihat sehari-hari, ternyata sangatlah rentan dan sensitif. Padahal, tanpa disadari dalam hitungan detik, bisa saja secara tiba-tiba terjadi gempa kecil atau besar yang membentuk retakan-retakan baru dan membuka retakan lama di permukaan dan di perut buminya. Ini sebabnya mengapa, meskipun permukaan bumi ‘terlihat’ stabil, tapi kenyataannya bumi terus bergerak dinamis dengan cara yang hampir tidak dapat dirasakan oleh sebagian besar manusia karena sangat lambat, kecuali hanya ahli seismograf yang menguasai tehnologi mendeteksi gempa.
Sejarah seismologi kaya akan kejadian dan bencana yang disebabkan gempa bumi yang menggemparkan, bahkan yang dulu pernah terjadi seperti gempa di Lisabon, Reggio dan Messina atau seperti yang pernah terjadi di Aceh Indonesia.
Peristiwa tsunami 26 Desember 2004 di Aceh, terjadi karena sesar bawah laut saling menumbuk hampir disepanjang jarak 1.200 km. Sebuah zona subduksi (patahan) diantara Lempeng Indonesia dan Australia yaitu lempeng yang berada di India dan Australia dan lempeng Burma yang termasuk pada Lempeng Besar Euro-Asiatik. Gempa bumi yang terjadi merupakan dimensi berkekuatan 9,8 skala Richter dan menjadi gempa terkuat ketiga yang tercatat pada permulaan tahun 1900-an dunia.
Setelah 15 menit gempa tersebut menghantam, Pusat Pengendalian Bencana Tsunami di Pasifik yang disingkat dengan PTWC, mengirimkan berita yang menyebut tidak akan terjadi sesuatu yang berbahaya di Samudra Pasifik. Pesan meyakinkan tersebut berbunyi: ‘Tidak ada Tsunami yang membahayakan selain yang kami amati ini. Gempa Bumi ini terjadi diluar daerah Pasifik. Dan berdasarkan sejarah gempa bumi dan data tsunami, tidak pernah ada ancaman tsunami yang menghancurkan’.
Namun, perkiraan PTWC tersebut salah!. Pada saat perkiraan yang meyakinkan itu dikirim, Aceh dan Pulau Sumatera baru saja dilanda tsunami yang menghancurkan.Tsunami tersebut menghantam pantai Aceh dengan ketinggian lebih dari 10 meter!. Rangkaian gelombang ini bergerak dengan kecepatan 50 km/jam, memakan pantai-pantai, menghancurkan pohon, rumah menjadi puing berserakan dan nyawa yang tak tertolong hanya dalam jangka waktu satu jam setelahnya. Tsunami tersebut juga menerjang wilayah Thailand, India lalu Sri langka. Dan energi besar tersebut melanjutkan perjalanannya hingga mencapai pesisir pantai Afrika yang jaraknya lebih dari 4.500 km dengan melewati seluruh daerah samudera pasifik dalam jangka waktu 10 jam! korban reruntuhan yang terseret dan tertelan laut tersebut mencapai 291.000 korban jiwa ditemukan sedangkan 21.000 jiwa hilang. Luar Biasa!. Begitulah sebuah bencana menunjukkan efek yang menghancurkan. (Kompas, 1/2005).
Kejadian ini menunjukkan bencana bisa tak terdeteksi oleh kita, lalu apa usaha kita bertahan dari bencana yang ‘mematikan’ tersebut?.
Negeri Ring Of Fire
Indonesia memiliki gugusan pulau besar dan kecil hingga 17.504 buah, bahkan 9.364 diantaranya belum memiliki nama, dengan gunung berapi yang merata hampir di seluruh negeri. Negeri kita juga memiliki pantai terpanjang kedua didunia dengan panjang 95.000 atau 14 persen dari total panjang garis pantai yang ada di seluruh dunia, dengan jumlah penduduk yang besar pula. Fakta ini tertuang dalam UNCLOS (United nation Convention on the Law of the Sea).
Namun dibalik itu, kita juga memiliki ancaman potensi bencana yang sangat tinggi dan sangat bervariasi dari jenis bencananya. Dengan kata lain sebenarnya kita dikelilingi oleh begitu banyak potensi bencana. Bisa berupa letusan gunung berapi, gempa tektonik dan vulkanik, tsunami, longsor, banjir dan potensi bencana lain yang mungkin terjadi. Ini juga yang menyebabkan wilayah negara kita juga dijuluki ‘ring of fire’, negeri cincin api!.
Ring Of The Fire atau cincin api, adalah sebutan untuk daerah yang sering mengalami gempa dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan samudera pasifik, sekitar 90% dari gempa yang terjadi dan 81% gempa bumi terbesar terjadi disepanjang cincin api ini. (wikipedia).
Wilayah Indonesia menjadi daerah yang rawan bencana, pertama karena faktor alam, negeri kita ini berdiri diatas lempeng-lempeng tektonik, itu artinya posisi Indonesia berada tepat diatas jalur patahan-patahan gempa. Kedua, iklim tropis yang memberi dampak munculnya bencana, karena banyak tanah yang tidak stabil, dan memudahkan terjadinya pelapukan seperti longsor. Indonesia merupakan daerah pertemuan antara 3 lempeng tektonik besar, Lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Akibat bertabraknya antar lempeng Indo-Australia dan Eurasia sehingga memicu terjadinya tsunami seperti di Aceh sepuluh tahun yang silam.
Dengan begitu banyak fakta penting soal ring of fire tadi, tidak mungkin bagi kita untuk menghindar dari bencana. Maka usaha kita bertahan adalah dengan menjadikan bencana tadi sebagai ‘sahabat’ kita. Bagaimana caranya?, tentu dengan memahami berbagai seluk beluk tentang kebencanaan. Karena bencana tak terpisahkan lagi dari kehidupan kita, sehingga bencana harus dikelola. Kita harus belajar dari alam!.
Setidaknya ada tiga hal yang harus kita ketahui soal bencana, pertama, apa yang harus kita pahami sebelum bencana itu terjadi. Kedua; apa yang harus kita lakukan ketika bencana terjadi. Dan ketiga; apa usaha kita bertahan dari dampak paska bencana terjadi. Oleh karena itu diperlukan manajemen khusus untuk menanganinya. Polanya harus berubah dari hanya memberi tanggapan menjadi bersifat pencegahan. Dari sebelumnya hanya urusan pemerintah menjadi tanggungjawab kita bersama. Dan pola menangani dampak menjadi mengurangi resiko. Dan usaha pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction) adalah hal penting dalam pembangunan kita ke depan. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan menurunkan kerentanan. Dan mestinya pengurangan resiko bencana harus menjadi muatan disekolah dan di perguruan tinggi. (abdillah, 12/11).
Manajemen Bencana
Pertama; Sebelum sebuah bencana itu datang, kita harus memiliki persiapan, mulai dari pengetahuan tentang bencana, memahami apa fungsi gedung penyelamatan, mengetahui apa maksud bunyi sirine tanda bahaya, memahami apa maksud tanda evakuasi yang biasanya berwarna biru putih dengan gambar orang berlari di kejar ombak raksasa. Kita juga harus tahu kemana saja jalur atau arah jalan evakuasi yang ada di sekeliling kita. Mungkin harus ada papan besar di kota yang menunjukkan dimana saja ada tanda arah evakuasi, tujuannya agar kita tahu dan tidak lupa kita pernah kena tsunami besar.
Kita bisa belajar banyak dari kisah kearifan lokal atau pengalaman orang tua kita terdahulu seperti kisah Smong-nama lain dari tsunami dalam bahasa Simeulue di Pulau Simeulue. Kisah Smong, dituturkan secara turun menurun, dari generasi ke generasi, dari orang tua ke anak dan seterusnya melalui cerita, nanga-nanga, sikambang dan nandong (seni tradisional Simeulue berupa dendang),(wikipedia). Sehingga ketika bencana terjadi mereka bisa mengurangi jumlah korban yang terjadi.
Salah satu isi kisah tersebut adalah, ketika gempa besar terjadi, maka di pantai akan ditandai dengan surutnya air laut, dan ikan akan muncul dihamparan pantai. Namun bagi penduduk Simeulu mereka tidak akan beramai-ramai mengambil ikan, melihat tanda itu mereka justru akan segera berlarian ke atas bukit menyelamatkan diri. Karena beberapa menit kemudian akan datang ombak sangat besar yang kita kenal dengan Tsunami. Dengan pengalaman kisah Smong-nya, korban meninggal di Simeulu hanya enam orang ketika tsunami 26 Desember 2004 ketika itu padahal 1.700 rumah hancur. Kita juga harus belajar dari tanda-tanda alam, seperti perpindahan kawanan burung secara tiba-tiba, atau jenis binatang lain disekitar kita.
Kedua; Lalu ketika bencana itu terjadi kita juga harus telah bersiap-siaga, membawa hanya barang yang diperlukan. Tidak usah menggunakan mobil, kecuali hanya sekedar menuju ke gedung evakuasi, karena seringkali malah menyebabkan macet dan justru disitulah sering terjadi korban baru akibat tabrakan. Pilih gedung yang tinggi untuk menyelamatkan diri. Jika berada di dekat pantai usahakan cari gedung penyelematan dengan mengikuti arah jalur evakuasi. Hindari areal bukit yang bisa longsor karena tsunami biasanya disebabkan oleh gempa 7.0 skala Richter yang bisa menyebabkan gunung longsor. Menghindari gedung yang memiliki material kaca, dan menghindari berlindung dibawah pohon besar karena efek gempa juga bisa berakibat fatal.
Dan, Ketiga; ketika bencana berlalu, kita harus tetap memilih areal yang tinggi yang aman untuk mengungsi dan bertahan jika bencananya tsunami. Lalu kita harus mencari informasi ke Pos Pusat Penanganan Bencana yang biasanya ditangani langsung oleh Badan Penanggulangan Bencana (BPB), Pos Dapur Darurat dan Pos Pelayanan Kesehatan Darurat. Hal tersebut diperlukan untuk memudahkan kita meminta bantuan dan dibantu oleh BPB karena kita tercatat sebagai salah satu korban bencana.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) menjadi dasar hukum yang harus dipahami oleh kita semua secara luas. Apalagi sejak kita mengalami tsunami besar 26 Desember 2004 silam. Peristiwa itu juga menjadikan Aceh sebagai tempat pembelajaran dan penanggulangan bencana bagi Indonesia dan dunia internasional. Aceh menjadi semacam “laboratorium’ untuk mempelajari berbagai bencana melalui pengalaman yang ada.
Jika kita mau belajar dari kisah bencana gempa besar kedua pada 11 April 2013, kita tentu paham mengapa kita harus memahami urusan bencana dengan baik. Tidak bisa dibayangkan jika pada gempa kedua tersebut juga diikuti dengan tsunami karena skalanya lebih dari 7,0 skala Richter, yang umumnya mengundang tsunami. Tapi beruntung hal itu tidak terjadi, namun pelajarannya adalah bahwa kita tidak ‘siaga’. Semua ilmu tentang kesiagaan bencana tidak berarti karena kepanikan yang luar biasa.
Kepanikan adalah hal yang wajar karena pada gempa sebelumnya 26 Desember korbannya mencapai 283.100 orang dan memporakporandakan 8 negara. Padahal ketika kejadian itu terjadi ada 10 hal yang sudah dicanangkan oleh pemerintahah. Yaitu skenario persiapan peta resiko dan pertolongan; penerapan peta dan jalur evakuasi, penerapan rambu evakuasi, pembangunan krisi center, penyelenggaraan rutin-tsunami drill; pemasangan sirine; pembuatan gedung penyelematan; perencanaan tata ruang dengan mempertimbangkan aspek bencana serta pendidikan bencana pada kurikulum. (serambi, 2013).
Sekarang setelah 10 tahun peristiwa tsunami berlalu, kita harus belajar kembali, mengingat kembali apa persiapan kita menghadapi bencana lainnya. Karena bisa jadi kita telah lalai dan lupa bagaimana tatacara menyelamatkan diri. Kita harus melihat apakah kondisi gedung penyelamatan di pinggir pantai Ulhee Lheu dan sekitarnya masih bagus?, apakah rambu-rambu tanda evakuasi masih ada?, apakah sirine di pinggir pantai masih berfungsi dengan baik? dan hal lain yang selama ini mungkin terlupakan oleh kita semua. Sehingga julukan ring of fair, atau negeri cincin api yang dilingkupi bencana tidak hanya julukan saja. Karena jika begitu, ketika bencana datang, mungkin korban yang jatuh akan tetap sama banyaknya seperti 26 Desember 2004 dulu.
Semoga kita tidak lalai!, karena sebagai Muslim yang kuat di negeri syariah, kita harus memahami dengan baik makna ayat di dalam Surat Ali Imran ayat 200, ‘ Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertaqwa kepada Allah supaya kamu beruntung’. Semoga. [nabil azra]