oleh
hanif sofyan
Persoalan
penting dalam Pemilu bukan bagaimana pesta akan berlangsung, bagaimana
persiapannya, karena semua sudah ada yang mengurusnya, negara!. Tapi negara “tidak
berkepentingan” dengan siapa yang akan maju dan seperti apa track record dan
masa lalunya. Karena politik bisa berhitung, berdagang, bernegosiasi dan
“menurut” pada banyak kepentingan dan kebutuhan. Sementara para konstituen
setali tiga uang juga dapat dibeli, digiring dan dapat memilih idealisme-nya
sendiri tanpa bisa diganggu.
Seperti memilih kucing dalam karung,
kita tak tahu persis bagaimana hasilnya. Bisa jadi ada korelasi yang signifikan
antara analogi memilih kucing tadi dan pesta demokrasi 14 April 2014 mendatang.
Artinya ada hubungan kental antara “calon yang telah dikenal baik” dan kebimbangan
“bukan orang yang tepat dan baik untuk dipilih”. Karena para calon semestinya
tidak hanya cukup dikenal, tetapi juga diketahui track record masa lalunya.
Wajar jika ada kekuatiran, hendak dibawa
kemana negara kedepan dengan melihat arah gejolak perpolitikan yang meningkat.
Suhu perpolitikan seperti api, kian biru, memanas. Dinamika berubah setiap
waktu, konvensi partai, deal-deal
politik, perang urat syaraf di media, debat politik, bahkan black campaign, menjadi menu harian.
Bahkan Wakil Ketua Komisi III DPR, Aziz
Syamsuddin, mengutarakan kekuatiran yang dirasakannya dengan mengusulkan kepada
KPK, tidak memanggil politisi menjelang Pemilu 2014. Menurutnya pemanggilan
tersebut dapat menjadi serangan politik melalui penegakan hukum. Menggoyang
pencalonan politik baik di eksekutif dan legislatif. Apalagi menjelang hari
pemilihan semakin banyak laporan yang masuk ke institusi penegak hukum (serambi,4/12).
Sasaran “tembak” laporan bisa karena faktor kesengajaan, demi popularitas, ekspose dan elektabilitas, dan jika ditujukan kepada lawan untuk menggembosi konstituen-nya dan dampak luasnya
mengganggu situasi politik. Alasannya, agar pesta rakyat tidak terganggu,
benarkah?.
Memang kenyataan dan pernyataan itu bisa
dimaknai dua hal. Pertama meredam kemungkinan black campaign yang sesungguhnya tidak diharapkan dalam pemilu damai.
Namun juga bisa berarti akan banyak incumbent,
para calon senator, wakil rakyat menjadi “terbiarkan” masuk ke parlemen dengan
kondisi berkasus, entah rasuah atau kasus lainnya. Sehingga akses rakyat terhadap
para calon menjadi terlambat karena tidak di lakukan sebelum terpilih, bahkan akan
menambah pekerjaan baru, berdemo, menuntut mundur para “petualang politik” yang
terlanjur “dijaring” parpolnya, bukan ter-jaring
(tidak disengaja).
Realitas tersebut sangat multitafsir dan
juga politis, karena begitulah politik memainkan perannya dalam menjalankan
roda kepentingan. Karena jika diterjemahkan dengan alasan akan berbenturan dengan pemilu damai maka tak dapat disangkal
siapapun. Tapi jika alasan sebenarnya, karena ketakutan para calon unggulan
partainya tersandung kasus, siapa yang tahu?.
Sehingga konstituenlah yang harus mencerdaskan
diri sendiri. Mana diantara sekian banyak calon yang tidak saja dikenal baik,
peka, namun juga terbuka mata, pikiran, telinga dan mata hatinya. Kebutuhan
rakyat terhadap wakil adalah keterwakilan suara hati dan hati nurani. Bukan
pada proyek yang bakal di bagi ketika duduk di perlemen. Karena hal ini juga
sangat mungkin dilakukan dengan otonomi dan desentralisasi pemerintah pusat-daerah hari ini.
Pemilih
cerdas
Sasaran yang terus didorong dalam pemilu
seperti dalam iklan Panwaslu tentang Daftar Calon Tetap (DCT), adalah mendorong
para konstituen lebih mengenali calonnya. Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah
Konstitusi berujar, rakyat harus lebih pintar memilih calon presiden, dengan
melihat masa lalu calon presiden bersangkutan. “Kalau memilih presiden, jangan
lihat visi-misinya secara tertulis. Itu dibuatkan orang. Kalau Mau tahu pak JK,
lihat masa lalunya, Prabowo lihat masa lalunya juga. Dia tidak berbuat benar
kalau dia tersandera masa lalu.” (serambi 4/13).
Pendapat itu adalah pendapat paling
logis dalam mengenali para calon wakil kita. Karena salah memilih dan bahkan
tidak memilih sekalipun kita sebenarnya sudah berpolitik. Dan tak bisa menyalahkan
siapapun jika kita tak memilih tentunya. Ibarat ikut undian kita tak memasukan
nomor, sehingga tak mungkin berpeluang menang dengan apapun caranya.
Kesalahan kita dalam mencerdasi calon
adalah terjerumus memilih karena kebutuhan dan kepentingan tadi. Kemungkinan
para calon politisi apalagi yang incumbent
patut dicermati, karena akses jabatan yang telah terbuka sebelumnya
memungkinkannya memberi harapan lebih “realistis” dibanding politisi pendatang
baru. Karena lingkaran politik yang telah dibentuknya adalah “senjata” berbahaya
jika kita mencermatinya dengan baik. Hal-hal buruk yang tersistematis bisa
berdampak sistemik terhadap keberlangsungan masa depan Aceh kita sendiri.
Lingkaran
Petualang Politik
Jika seluruh lingkar dan jaringan
“oknum” dan para petualang politik multipartai di Aceh menguasai 25% saja dari keseluruhan
sistem. Artinya, bahwa akan ada pemilih yang mencoba “terlalu cerdas” dengan
menerima janji dan imbalan langsung berupa proyek dan jabatan dengan memaksa memilih calon yang jelas korup,
akan makin menguatkan status quo perilaku
korup tersebut. Dan sistem secara konsisten akan tetap dalam kondisi rusak,
karena korupsi makin endemik, makin akut dan dalam bahasa lain, sistem dihantui
kondisi sustainable corruption,
“korupsi yang berkelanjutan”.
Dengan terkuaknya banyak kasus korupsi,
semakin menegaskan bahwa korupsi itu memang
telah endemik dan berjamaah. Todung Mulya Lubis, mengemukan sebaliknya, jika
dikatakan endemik, tentunya semakin banyak koruptor yang diseret? Dan realitas
masih minimnya para pelaku yang terjaring, menunjukkan kerja yang masih
panjang, karena korupsi telah menjadi “norma” dan jejaring lebih dari 32 tahun
lamanya.(Tempo, 11/13).
Kondisi ini juga disemangati dengan
perimbangan keuangan Pusat dan daerah yang makin terbuka dengan Keberadaan UU
No. 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25/1999 yang kemudian juga berubah menjadi UU No. 33/2004
tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Karena tata kelolanya
yang juga cenderung korup sebagaimana disebut Jeffrey Winters, karena semua
elemen sudah disogok dan negara secara keseluruhan menjadi, negera lembek (soft state) meminjam istilah karl Gunnar
Myrdal. Negara berada pada kondisi dimana warga dan pemerintahannya tidak
memiliki ketegaran yang jelas, mengidap sifat kelembekan (leniency) dan serba memudahkan (easy
going), sehingga tidak punya kepekaan menghadapi masalah-masalah besar,
termasuk korupsi.
Simalakama
politik
Blunder politik memang tak terelakkan,
karena para calon senator merasa mereka adalah yang terbaik meski bisa jadi
bukan orang yang tepat. Terbaik bagi siapa adalah pertanyaan yang berbeda
konteksnya dalam politik. Rakyat berada dalam lingkaran yang berbeda dalam
pusaran politik meskipun suara mereka adalah suara malaikat yang semestinya harus
didengarkan. Namun hanya menjadi alat pendulang suara.
Kita tak bisa dengan tepat mendeteksi
siapa The right man in the right place
dalam arti sebenarnya, bersih juga peka. Karena deretan nama yang masuk dalam
bursa adalah mereka yang sudah kita kenal, meski bisa jadi bukan calon yang
kita kehendaki akan duduk. Karena kenal baik belum tentu orangnya baik,
orangnya baik belum tentu baik dalam makna sesungguhnya, karena bisa memberi sogokan
proyek, juga dapat dikonotasikan baik oleh yang menerimanya.
Namun yang lebih diharapkan adalah
mereka yang terbukti baik sesuai harapan rakyat. Karena nilai kebaikan juga
bisa dijungkir balikkan faktanya. Apakah terbayang oleh kita jika gubernur
berganti maka JKA otomatis akan hilang?, karena nyatanya JKA tetap ada meskipun
berganti pimpinan. Itu hanya sebuah amsal. Apakah pembangunan Aceh akan segera melambat
ketika pimpinan berganti, tidak juga tentunya. Indikasi yang lebih realistis
menjadi pertanyaan seharusnya, apakah pembangunan akan lebih lancar dan lebih
baik dibanding sebelumnya, dengan masuknya para “pemain politik” baru ke dalam
pemerintahan?. Karena faktor korupsi yang minim, SKPA bekerja maksimal,
legislatif mengawasi pembangunan, alokasi anggaran sesuai tupoksi dan perencanaan,
adalah hal yang lebih urgen menjadi ukuran keberhasilan.
Jika isu diputar balikkan dengan
kemungkinan tidak akan sejahtera, tidak ada damai, adalah politisasi isu agar
rakyat didorong pada ketakutan, ketidaknyamanan, dan ambigu. Karena idealnya
ketika seluruh wakil rakyat “bekerja” Lillahi Ta’ala sesuai sumpah jabatan,
maka ibarat kisah nubuah, seorang senator terpilih akan menangis, seperti menangisnya
Umar Bin Khatab, ketika diberi jabatan karena takut tidak dapat menanggung
begitu banyaknya beban yang harus dipikul dipunggungnya ketika di yaumil mashysar.
Dalam politik, meskipun bersyariat,
agama adalah alasan nomor kesekian dalam memenangkan proses dan meraih semua
hasil. Karena beratnya pertarungan masuk menjadi senator dimulai dari asumsi
yang harus dibangun dalam benak masyarakat, lolos administrasi, kampanye,
dukungan lingkaran politik. Sementara masa lalu, perilaku, dianggap cateris paribus; istilah ekonomi untuk
menyebut hal yang diabaikan saja dan dianggap tidak akan mempengaruhi hasil
pemilu. Karena mesin politik bisa bekerja memompa popularitas dan elektabilitas
sekalipun kendaraan dan image yang terbangun adalah partai paling korup se-Indonesia
sekalipun. Tapi mau tidak mau politik harus terus berjalan, agar roda
pemerintahan terus bergerak dinamis. Sehingga kita berhadapan dengan buah
simalakama, dimakan mati, tidak dimakan juga mati.
Politik memang culas dan berusaha “mencerdasi”
sikon dengan cara apapun. Seperti kata Machiavelli, selama dapat memenangkan
pertarungan maka lakukanlah, peduli apa dengan kekacauan!.
Menunggu
atau Pasrah?
Perhelatan akbar “pesta demokrasi” 14
April 2014, menjadi momen yang mendebarkan. Karena rakyat memilih, hampir
seperti memilih kucing dalam karung. Hanya saja kali ini meskipun binatangnya
jelas ber-bentuk kucing, namun kita belum tahu apakah jenis “kucing garong”
atau “kucing rumahan”. Yang perilakunya biasanya kucing-kucingan dengan pemilik
rumah. Ketika tuannya ada, maka sang kucing diam, bagitu tuannya lepas mata
sesaat, maka ludeslah seluruh persediaan ikan di atas meja makan. Tetapi apakah
sebaiknya kita tidak “memelihara kucing”, karena kita juga punya predator lain
“para tikus” yang juga berkepentingan dengan ikan di meja makan yang sama yang
harus kita pertahankan?. Dalam ketiadaan pilihan, setidaknya kita harus lebih
selektif memilih.Kenali dulu “para kucing” agar setidaknya, tidak seluruh
persediaan ikan kita ludes disikatnya.[hans-2013].