Label

# (2) 100 buku (1) 1001 Cerita membangun Indonesia (1) 2016 (1) 2019 prabowo presiden (1) 2019 tetap jokowi (1) 2020 (1) 2021 (2) 21 tahun (1) 21 wasiat Sultan untu Aceh (2) 49 tahun IAIN Araniry (2) 99 buku (1) a ceh bahan buku (1) Abu Mudi (1) aceh (11) Aceh Barat (2) aceh digest (1) aceh history (2) aceh kode (2) aceh kopi (1) Aceh Singkil (1) aceh tengah (3) Aceh Tourism (2) Adat Aceh (3) agama (25) Air Bersih (2) aisya (1) Alue Naga (1) amazon (1) aminullah (1) anehnya negeriku indonesia (3) anggaran nanggroe aceh (1) anies (1) APBA (6) apresiasi serambi indonesia (1) arsip (1) artikel hanif (74) artikel kompas (1) artikel nabil azra (3) artikel rini (4) Artikel Serambi (9) artikel serambi-tokoh sastra melayu (2) artikel Tanah Rencong (1) artikel trans89.com (1) artikel/opini Modus Aceh (1) arundati roy (1) asia (1) asuransi (2) atlas of places (1) australia (1) Ayam (1) bacaan hari raya (1) bahan buku (106) bahan buku aceh (1) bahan buku kolaborasi (2) bahan buku. (12) bahan tulisan (1) bahana buku (1) bahasa (2) Banda Aceh (1) Bank Aceh syariah (1) Bank syariah Indonesia (1) batu (1) bawaslu (1) bencana alam (7) bendera dan lambang (1) Berbagi (1) berita nabil (1) berita serambi (1) berkeadilan (1) BHR (1) Bie Da Rao Wo Zhong Tian (1) bill gates (2) Bioscoop (1) Bioskop (1) birokrasi (1) birokrasi politik (1) Blogger Competition 2017 (1) Blogger Indonesia (1) BMA 2023 (3) Bola Kaki (1) book (1) BP2A (1) BPBA (1) BSI (1) budaya (83) budaya aceh (12) budaya massa (1) budaya tradisional (2) bukit barisan (1) buku (7) buku covid anak (1) Buku kapolri (1) bulkstore (2) bullying (1) bumi (2) bumi kita (1) bumi lestari (2) bumiku satu (1) Buyakrueng tedong-dong (1) cadabra (1) cerdas (1) cerita (2) cerpen (2) child abuse (1) climate change (3) Connecting Happiness (3) ConnectingHappiness (1) Cormoran Strike (1) Corona (1) corona virus19 (2) covid (1) Covid-19 (1) covid19 (9) CSR (1) cuplikan (1) Cut Nyak Dhien (1) dakwah kreatid (2) Dana Hibah (2) dara baroe (1) Data (1) dayah (4) De Atjehers (1) demam giok (1) Democrazy? (5) demokrasi (10) demokrasi aceh (6) diaspora (1) dinasti politik (3) diplomasi gajah (1) Ditlantas Meupep-pep (1) diva (1) DKPP (1) Don’t Disturb Me Farming (1) DPRA (1) dr jeckyl (1) Drama (1) drive book not cars (2) dua tahun BSI (1) Dusun Podiamat (1) earth hour (2) earth hour 2012 (2) ekonmi islam (1) Ekonomi (52) Ekonomi Aceh (51) ekonomi biru (1) ekonomi Islam (7) ekonomi sirkular (2) ekoomi (1) Ekosistem kopi (1) eksport import (1) Elizabeth Kolbert (1) essay (1) essay keren (1) essay nabil azra (1) falcon (1) fiksi (1) Film (6) Film animasi (1) film china (1) film cina (1) film drama (3) Film jadul (1) film lawas (1) filsafat (2) fir'aun (1) forum warga kota (1) forum warung kopi (2) FOTO ACEH (2) fourth generation university (2) GAIA (1) gajah sumatera (1) gam cantoi (2) gambar (1) ganjar (1) Garis Wallacea (1) garis Weber (1) Gas Terus (1) GasssTerusSemangatKreativitasnya (1) gempa (2) gender (3) generasi manusia (1) germs (1) gibran. jokowi (1) Gillian Rubinstein (1) god (1) goenawan mohamad (1) gramedia (1) groomer (1) grooming (1) gubernur (2) guiness book of record (1) guru (1) guru blusukan (1) guru kreatif (1) guru milenial (1) H. Soeprapto Soeparno (1) hacker cilik (1) Hadih Maja (1) Halodoc (1) Halue Bluek (1) hanibal lechter (1) hanif sofyan (7) hardikda (1) hari Air Sedunia (3) hari bumi (2) Hari gizi (1) hari hoaxs nasional (2) harry potter (1) hasan tiro (1) hastag (1) hemat energi (1) herman (1) Hikayat Aceh (2) hoaks (2) hoax (2) hobbies (1) hoegeng (1) HUDA (1) hukum (3) humboldtian (1) hutan indonesia (5) ibadah (1) ide baru (1) ide buku (2) idelisme (1) ideologi (1) idul fitri 2011 (1) iklan (1) Iklan Bagus (2) indonesia (4) Indonesia city Expo 2011 (1) industri (1) inovasi (1) Inovasi Program (1) intat linto (1) intermezo (5) internet dan anal-anak (1) investasi (2) investasi aceh (1) Iran (1) isatana merdeka (1) Islam (1) islam itu indah (3) Islamic banking (1) ismail bolong (1) Ismail Fahmi Lubis (1) IT (4) jalur Rempah (2) Jalur Rempah Dunia (2) Jalur rempah Nusantara (2) jeff bezzos (1) Jejak Belanda di Aceh (1) jepang (1) jk rowling (2) JNE (5) JNE Banda Aceh (1) JNE33Tahun (1) JNEContentCompetition2024 (1) joanne kathleen rowling (1) jokoei (1) jokowi (1) juara 1 BMA kupasi 2023 (1) juara 1 jurnalis (1) juara 2 BMA kupasi (1) juara 3 BMA kupasi 2023 (1) jurnal blajakarta (1) jurnal walisongo (1) jurnalisme warga (1) kadisdik (1) kaki kuasa (1) kalender masehi (1) kambing hitam (1) kampanye (1) kampus unsyiah (4) kamuflase (1) karakter (1) kasus kanjuruhan (1) kasus sambo (1) kaya (1) KBR (1) kebersihan (1) Kebudayaan Aceh (7) Kebumen (1) kedai kupi (1) kedai-kopi (1) Kedokteran (1) kedokteran Islam (1) kejahatan anak (1) kejahatan seksual anak (1) kekuasaan. (1) kelas menulis SMAN 5 (4) kelautan (4) keluarga berencana (1) Keluarga Ring Of Fire (1) kemenag (1) kemiskinan (2) kemukiman (2) kepemimpinan. (2) kepribadian (1) Kepribadian Muslim (1) kerajaan Aceh (2) kerja keras (1) kesehatan (13) kesehatan anak (4) keuangan (1) keuangan aceh (1) khaled hosseini (1) Khanduri Maulod (1) khutbah jumat (1) king maker (1) kirim naskah (1) Kisah (1) Kisah Islami (1) kite runner (1) KKR (2) KoescPlus (1) koleksi buku bagus (4) koleksi foto (2) Koleksi Kontribusi Buku (1) koleksi tulisanku (2) kolom kompas (1) kolom kompas hanif sofyan (2) kolom tempo (2) kompetensi siswa (1) Komunikasi (1) komunitas-serambi mihrab (1) konsumerisme (1) Kontribusi Hanif Sofyan untuk Buku (3) Kopi (2) kopi aceh (5) kopi gayo (2) kopi gayo.kopi aceh (1) kopi libri (1) Korupsi (7) korupsi di Aceh (4) kota masa depan (1) kota yang hilang (1) KPK (2) KPU (1) kredo (1) kriminal (1) krisis air (2) ku'eh (1) Kuliner Aceh (2) kultum (2) kupasi (1) kurikulum 2013 (1) kwikku (1) Labschool UIN Ar Raniry Banda Aceh (1) lain-lain (1) lalu lintas (1) lambang dab bendera (4) laut (1) Laut Aceh (1) Laut Biru (1) lebaran 2025 (1) legenda (1) Li Zhuo (1) lian hearn (1) Library (1) Library Gift Shop (2) lifestyle (1) limapuluah koto (1) Lin Xian (1) lincah (1) Lingkungan (42) lintho (1) listrik aceh (1) LNR (1) Lomba artikel 2016 (4) Lomba blog 2016 (1) lomba blog unsyiah 2018 (1) Lomba Blogger Unsyiah (2) lomba JNE (1) lomba mneulis asuransi (1) LSM-NGO (3) M nasir Fekon (1) Maek (1) maekfestival (1) magazine (1) makam (1) malcom gladwell (1) manajemen (2) manipulatif (1) manusia (2) marginal (1) Masyarakat Urban. (1) Mauled (1) maulid (2) Maulod (1) Media (1) megawati (1) Melinjo (1) Memberi (1) menhir (1) Menyantuni (1) mesjid baiturahman (2) Meulaboh (1) MH Amiruddin (1) migas (1) mimbar jum'at (1) minangkabau (1) Misbar (1) misi (1) mitigasi bencana (5) molod (1) moral (1) More Than Just A Library (2) motivasi (1) MTSN 4 Labschool UIN Ar Raniry (1) MTSN4 Banda Aceh (1) mukim (2) mulieng (1) museum (2) museum aceh (2) Museum Tsunami Aceh (4) music (1) Music show (1) musik (1) muslim produktif (1) musrenbang (1) Nabi Muhammad (2) naga (1) nagari seribu menhir (1) narkotika (1) naskah asli (3) Naskah Kuno Aceh (2) Negeri rempah terbaik (1) nelayan (1) new normal (1) Nina Fathdini (1) novel (1) Nubuah (1) Nusantara (1) off road (1) olahraga (2) one day one surah (1) opini (5) opini aceh tribun (2) opini analisadaily.com (1) opini bebas (1) Opini di lentera (1) opini hanif (1) opini hanif di serambi indonesia (4) opini hanif sofyan (1) Opini Hanif Sofyan di Kompas.id (1) opini hanif sofyan di steemit (1) opini harian aceh (4) Opini Harian Waspada (1) opini kompasiana (2) opini lintas gayo (11) opini lintas gayo com (1) opini LintasGayo.co (2) opini majalah tanah rencong (1) opini nabil azra (1) opini rini wulandari (1) opini serambi (43) opini serambi indoensia (4) opini serambi indonesia (169) opini siswa (4) opini tabloid lintas gayo (5) opini tempo (1) otsus (1) OYPMK (1) pandemi (1) pandemi covid-19 (9) papua (1) Pariwisata (3) pariwisata aceh (1) parlemen aceh politik aceh (8) pawang (1) PDAM (1) PDIP (1) pelosok negeri (1) Peluang Pasar (1) pemanasan global. green energy (1) pembangunan (29) pembangunan aceh (1) pemerintah (4) pemerintahan (1) pemilu 2014 (5) pemilu pilkada (1) pemilukada (9) Pemilukada Aceh (14) penddikan (2) pendidikan (29) pendidikan Aceh (27) penjahat kambuhan (1) penyair aceh (1) Penyakit kusta (1) Perbankan (3) perbankan islam (3) perdamaian (1) perempuan (8) perempuan Aceh (5) perempuan dan ibu (1) perempuan dan politik (2) perikanan (1) perpustakaan (2) perputakaan (1) personal (2) personal-ekonomi (1) pertanian (2) perusahaan ekspedisi (1) perusahaan logistik (1) perwira tinggi polri (1) pesantren (2) Pesta Demokrasi (1) pidie (1) pileg (1) pileg 2019 (2) pilkada (14) pilpres (2) pilpres 2019 (3) pilpres 2024 (2) PKK Aceh (1) plastik (1) PNS (1) polisi (2) polisi jahat (1) politik (115) politik aceh (160) politik indonesia (3) politik KPK versus korupsi (4) politik nasional (4) politis (1) politisasi (1) politk (5) Polri (1) polri presisi (1) popular (1) poster. (1) prabowo (2) prediktif (1) presiden (1) presiden 2019-2024 (1) PRESISI POLRI (1) produktifitas (1) PROFIL (1) propaganda (1) psikologi (2) psikologi anak (1) psikologi pendidikan (1) psikologis (1) Pulo Aceh (1) PUSA (2) pustaka (1) qanun (1) qanun Anti rentenir (1) Qanun LKS (2) Qu Meng Ru (1) ramadan (1) ramadhan (2) Ramadhan 2011 (4) ramadhan 2012 (2) rawa tripa (1) recycle (1) reduce (1) reformasi birokrasi (1) religius (1) Resensi buku (3) Resensi Buku hanif (2) resensi film (2) resensi hanif (2) residivis (1) resolusi. 2021 (2) responsibility (1) reuse (1) review buku (1) revolusi industri (1) robert galbraith (1) rohingya (1) Romansa (1) romantisme kanak-kanak (1) RPJM Aceh (3) RTRWA (2) ruang kelas (1) rujak u grouh apaloet (1) rumbia aceh (1) sains (1) Samalanga (1) sampah (1) satria mahardika (1) satu guru satu buku (1) satwa liar (1) secangkir kopi (1) sejarah (9) sejarah Aceh (28) sejarah Aceh. (3) sejarah dunia (1) sejarah-bahasa (5) sekda (1) sekolah (1) sekolah terpencil (1) selfie politik (1) Servant Leadership (1) setahun polri presisi (1) setapak perubahan (1) sigit listyo (1) sikoat (1) Sineas Aceh (2) Sinema Aceh (2) sinovac (1) situs (1) snapshot (1) sosial (14) sosiologi (1) sosiopat (1) SOSOK.TOKOH ACEH (3) spesies (1) statistik (1) Stigma (1) Stop Bajak Karya Online (1) sultan iskandar muda (1) sumatera barat (1) sustainable laundry (1) syariat islam (7) TA sakti (1) tahun baru (2) tambang aceh (1) tambang ilegal (1) tanah rencong (1) tantang IB (1) Tata Kelola pemerintahan (4) tata kota (2) TDMRC (1) Tehani Wessely (1) tehnologi (5) televisi (1) Tenaga kerja (2) terbit buku (1) the cucko'scalling (1) Thriller (1) timor leste (1) tips (3) tokoh dunia (1) tokoh kartun serambi (2) tradisi (2) tradisi aceh (2) tradisional (1) transparansi (1) tsunami (9) Tsunami Aceh (9) Tsunami story Teller (2) tuan hide (1) tukang obat (1) tulisan ringan (1) TUmbuh seimbang berkelanjutan bersama BSI (1) TV Aceh (1) tv dan anak-anak (3) uang haram (1) ujaran kebencian (1) ulama aceh (7) UMKM (1) Unsyiah (2) Unsyiah Library (3) Unsyiah Library Fiesta 2017 (3) upeti (1) upeti jin (1) ureung aceh (1) vaksin (2) viral (1) visi (1) Visit Aceh (2) Visit Banda Aceh (7) Visit Banda Aceh 2011 (4) walhi goes to school (1) wali nanggroe (3) walikota 2014 (1) wanita Iran (1) warung kupi (2) wirausaha aceh (1) Wisata Aceh (5) wisata spiritual (2) wisata tematik jalur rempah (1) Yayat Supriyatna (1) youtube (2) YouTube YoYo English Channel (1) YPBB (1) zero waste (2) Zhuang Xiao Man (1)

Sabtu, 27 April 2013

Ulama; Antara Lambang, Bendera dan Umat

oleh hanif sofyan-opini serambi indonesia

Dimana para ulama dalam pertikaian lambang dan bendera nanggroe kita hari ini? Pertanyaan sederhana ini hanya pertanyaan awam yang mencoba memahami realitas dengan mencari jawaban pada eksistensi ulama sebagai kekuatan yang “tersembunyi”. Karena tidak ada yang menafikan peran ulama Aceh sejak dahulu dalam kontribusinya terhadap berbagai persoalan, termasuk perkara sosial politik yang timbul di Aceh saat ini. Dinamika itu telah dimulai sejak PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) masuk dalam kancah politik di tahun 1939 terkait revolusi sosial sebagai bentuk perlawanan anti kolonial. Namun, barisan ulama hari ini sedang berada dalam situasi dilematis, pertarungan dan konstelasi politik antara kekuasan dan otoritas yang membingungkan.

Kita tidak hanya akan menyorot satu sisi dinamika sosial politik dari lambang dan bendera, namun isu itu hanya mewakili dari banyaknya irisan persoalan ke-Acehan-an yang akan coba diungkap melalui bagaimana sesungguhnya persoalan yang sedang dihadapi para ulama kita sehingga kehilangan kontribusi solusi terhadap persoalan Aceh hari ini.

Dalam konteks ini kita tidak akan memperdebatkan soal definisi “ulama” karena ada ruang dan waktu yang lain yang tepat untuk merumuskannya, karena akan melebar pada debat Ulama Dayah Tradisional dan Ulama Dayah Modern, Ulama Parpol dan Ulama Pemerintah atau Non Pemerintah. Namun ketidaksepahaman akan hal itu masih dapat diperdebatkan karena substansinya adalah kontribusi dan peran dalam menyikapi persoalan kekinian Aceh yang sudah saatnya mendapat sentuhan ulama yang teduh dan menentramkan. Sekaligus membongkar kebuntuan tentang apakah hanya dengan seorang sosok ulama kharismatik yang dapat menyatukan para ulama Aceh dalam satu payung yang sama seperti era Tengku Daud Beureueh, tatkala para ulama hari ini berada pada kabilah yang berbeda-beda dan belum bersatu dalam sebuah visi yang sama?. Atau kita cukup mengandalkan kefasihan para ulama memberikan pencerahan dan masukan bagi perdamaian Aceh hari ini, dan mengabaikan disparitas perbedaan itu?.

Dalam UU RI No. 44 Tahun 1999, Bab I pasal 1 No. 8 disebutkan, “Keistimewaan Aceh adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah. Dengan kewenangan formal tersebut, harusnya ulama Aceh memiliki bargaining power karena dikuatkan dengan undang-undang, namun realitasnya justru kontradiktif dengan kewenangannya yang menguat. Padahal perkembangan peran ulama telah mengalami pasang surut yang dinamis sejak era PUSA 1939 hingga memasuki babak baru di 2001 dengan lahirnya MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) sebagai amanah Perda No. 3 tahun 2003, bahkan hingga lahirnya Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) di tahun 2009 yang terpisah dari MPU. Sekaligus membuka ruang dinamika baru, namun bisa juga dimaknai adanya perbedaan pandangan dalam melihat “sejatinya seorang ulama”, karena seiring dengan bertumbuhnya parlok, menjadikan ulama berkubu-kubu dalam barisan yang berlainan. Sehingga bermunculan istilah ulama parlok A atau ulama parpol B, sekaligus ini menjadi sebuah kemunduran jika dapat disebut begitu terhadap kekuatan ulama sebagai satu entitas yang seharusnya kompak dalam mewarnai dinamika sosial politik di Aceh yang makin tidak menentu.

Sekaligus ini menandai terjadinya pergeseran peran, dimana di era episode sejarah, keulamaan selalu menonjol dan dalam konteks kekinian peranan ulama di dalam parpol dan kepala daerah justru tidak berhasil, mereka cenderung pasif dan diam dalam melihat dan merespon persoalan Aceh yang akut. Dan keberadaannya hanya menjadi sekedar simbol namun tidak pada aspek yang substantif, disebabkan munculnya pergeseran persepsi di dalam masyarakat dalam memandang sosok ulama, dengan anggapan bahwa ulama yang masuk dalam kancah politik menjadi sosok yang tidak lagi bersih dari cita-cita dan idealisme atau kehilangan akar dayahnya. Meskipun sesungguhnya keterlibatannya masih dan makin intens diperlukan dalam “menyeimbangkan” keputusan di dalam pemerintahan, termasuk dalam soal paling mutakhir lambang dan bendera yang menuai benih ketidaksepahaman. Namun hal itu hanya dapat dilakukan oleh seorang ulama “sejati” bukan model ulama parpol yang justru hanyut terbawa arus otoritas yang kuat. Dalam bahasa yang lain sosok ulama yang mampu “menghijaukan” yang berwarna-warni.

Dalam kisruh persoalan politik hari ini dan mencuatnya isu lambang dan bendera yang menyita energi dan perhatian kita. Lalu dikaitkan lagi-lagi dengan trade mark kesyariatan kita, tiba-tiba menyeruak pertanyaan bagaimana seharusnya peran para ulama kita dalam menyikapi berbagai persoalan mutakhir hari ini. Karena bendera dan lambang mungkin dianggap menjadi persoalan “diluar” kapasitas para ulama, karena tidak bersangkut paut dengan ke-akhiratan tapi keduniawian? Namun karena sudah menjadi persoalan ummah dan perdamaian yang sedang dipertaruhkan, ulama mau tak mau harus turun tangan menjadi penengah dan penyejuk.

Dilema Ulama
Kondisi vakumnya para ulama hari ini, bisa jadi disamping karena lilitan persoalan “peran dan ruang gerak yang sempit”,ketiadaan visi yang sama dari para ulama secara keseluruhan dan perbedaan status, diantara pemerintah, parpol dan dayah baik tradisional maupun modern yang belum tuntas, sekalipun telah didukung dengan UU, menyebabkan mereka terpecah dalam banyak kubu. Benar bahwa mereka kini telah dimasukan dalam komponen sebagai “penasehat pemerintah” dan sumber “rujukan” namun itu belum dan tidak cukup untuk mendorong mereka berperan lebih besar lagi. Ruang dan kapasitasnya disamping harus independen juga harus tepat porsi. Sekalipun mengacu pada hadist yang menyebut bahwa “Jika sebuah urusan tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah sebuah kehancuran pasti akan datang”, namun ulama memiliki wilayah kapasitas yang khusus dan khas, dan dalam kerangka itu seharusnya menjadi cemeti untuk membangun sebuah kekuatan ulama sebagai komponen pemerintahan yang solid tidak sekedar menjadi subordinat dan pelengkap penderita. Realitasnya, mereka masih jauh diluar kapasitas yang sesungguhnya dan masih diluar pagar pemerintahan serta belum berperan maksimal.

Terlepas dari definisi dan redefinisi siapa yang patut disebut “ulama” hari ini, kita berharap ke-mumpuni-an para ulama kita dapat menjembati persoalan terkini dengan memberi masukan yang membumi terkait perpolitikan Aceh yang mulai gerah. Saya teringat pada sebuah buku Resolusi Konflik Dalam Islam; Kajian Normatif dan Historis Dalam Perspektif Ulama Dayah yang dikarang Teungku Haji Ibrahim Bardan atau Abu Panton, pada tahun 2008 lalu yang digagas Aceh Institute yang mencoba memotret persoalan kekinian politik dan perdamaian dan menyatukan cara pandang dan solusinya dengan pendekatan kacamata ulama dayah. Karya itu menjadi kajian menarik dan disebut-sebut sebagai sebuah lompatan pemikiran yang menarik dari seorang tengku dayah dalam menyikapi persoalan kekinian aceh. Sayangnya alternatif yang mencerahkan itu kemudian menemui jalan buntu karena ketiadaan tindak lanjut dalam implementasinya. Karena berbagai belitan persoalan yang melilit ulama terkait kurang berperannya dalam dinamika sosial politik Aceh, malah sebaliknya yang terjadi, justru dinamika sosial politik Aceh yang memberi warna kepada para ulama kita, mereka terbawa arus yang kuat dan mereka cenderung hanya menjadi pelengkap penderita dalam pemerintahan dan otoritas yang kuat hari ini.

Sebagian ulama lebih mencari “aman” dan lebih menfokuskan pada penguatan ilmu dan kaderisasi di dayah dari pada masuk dalam kancah politik yang bisa menyeretnya ke dalam pusaran persaingan antar “parpol raksasa” yang tidak sehat seperti masa konflik dulu karena barangkali trauma itu masih membekas. Persoalan lain adalah “dapur” karena bagaimanapun saat ini kita melihat realitas ulama dan dayah yang masuk gelanggang politik menjadi kehilangan jati diri, ketika masuk dalam kancah politik dan berbaju parpol, mereka menjadi tidak mandiri dan tidak independen. Hal ini tidak dapat dinafikan karena sebagian tanggungjawab pengelolaan dayah selama ini juga masih disupport oleh pemerintah yang notabene juga “bersangkut paut” dengan urusan kekuatan otoritas mayoritas yang menguasainya. Sehingga mau tak mau ulama dan dayah-nya berada dalam posisi dilematis, harus independen atau mengikuti garis politik otoritas dan parpol yang diikutinya. Dan dalam konteks persoalan lambang dan bendera yang mengemuka, ulama sebenarnya hanya berpijak pada prinsip sederhana “kemashlahatan ummah”, bahwa pemilihan simbol dan lambang haruslah bisa mewakili persatuan dan keberagaman, bukan menciptakan pertikaian baru tentunya.

Quota 30 Persen Ulama?
Problematikanya makin kompleks ketika ada kecenderungan bahwa pihak penguasa “memaksa” publik terkait kebijakan tertentu, dan ulama mau tak mau harus masuk dalam percaturan konflik itu untuk memberi solusi dan jalan tengah. Hal ini menjadi wilayah “abu-abu” yang harus dimasuki oleh para ulama kita, sementara ulama sendiri masih didera persoalan masa depan dayah dan statusnya, sehingga menjadi sangat dilematis. Beragamnya lembaga ulama yang ada, juga satu persoalan yang lain, yang sekaligus juga mengindikasikan dua hal, adanya perkembangan dayah yang meningkat dan disisi lain bisa juga diartikan adanya ketidaksepahaman yang berarti adanya perpecahan dalam tubuh internal para ulama itu sendiri, lalu bagaimana mereka mau berkiprah dalam sosial politik Aceh hari yang akut, dengan lilitan persoalan itu?.

Ini tentu saja menjadi kekuatiran yang harus dicermati dan dicarikan jalan keluar. Bagaimana membangun sinergisasi ulama dalam sebuah gerbong yang sama meskipun memiliki substansi perbedaan pemikiran ilmu dan imam, namun sama persepsi dan visi dalam menyikapi persoalan Aceh hari ini. Penyatuan mindset dan cara pandang, visi dalam membangun dayah dan Aceh sekaligus menjadi tantangan terdepan dan patut direnungkan. Artinya bahwa peran ulama harus “dinaikkan kelasnya” dalam implementasi karena telah didukung UU, tidak lagi hanya menjadi subordinat, penasehat pemerintah, atau supporting system. Karena pendekatan ulama diyakini dapat menjadi jembatan yang menghubungkan para pihak yang berbeda kesepahaman. Keyakinan ulama tentunya netral, pada penyatuan umat, tidak terkotak dalam dalam disparitas suku, budaya dan keragaman lokal lainnya.

Mengkaji pada peran ulama di negara lain, dimana mereka menduduki posisi strategis, tidak hanya menentukan kebijakan sertifikat halal haram, hilal Ramadhan, namun juga jauh masuk dalam persoalan dinamika sosial politik kenegaraan. Jikalau boleh diwacanakan, dalam konteks menguatnya pemberlakuan UU no 8 tahun 2012 dan peraturan KPU No. 7 tahun 2013 terkait penetapan kuota 30 persen keterwakilan perempuan diperlemen, barangkali khusus untuk Aceh kita dapat mengusulkan kuota 30% untuk ulama, sehingga komposisi di dalam parlemen nantinya, 30 persen Ulama, 30 persen perempuan dan 60 persen dari komponen lainnya. Artinya bahwa kita mendorong peran ulama yang lebih besar, sehingga makin menguatkan kesyariatan kita, namun bukan sekedar memenuhi simbol Aceh bersyariat, tapi lebih mendorong perdamaian yang tidak rapuh dengan konflik yang terus berulang dan makin menguatkan cita-cita mewujudkan sebuah model kota madani yang sedang diwacanakan. Dimana dalam seluruh komponen yang ada juga dilengkapi dengan pemahaman nilai-nilai dan kultur islami untuk memberikan warna islami dan bersyariat. Dan ini dimungkinkan jika ulama juga diberi kewenangan yang memadai dalam memberi masukan di dalam menyelesaikan berbagai persoalan termasuk persoalan pemerintahan. Karena kiranya yang menjadi sasaran sebuah kota madani, adalah sebuah kota yang memiliki “good governance” yang didalamnya ada harmonisasi ummah dan umara yang didukung ulama. [hans-2013]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar