Kamis, 04/04/2013 14:35
Pada tanggal 17 Desember 2012, di sebuah ruangan di Hotel Sultan, Jakarta, berkumpulah tokoh-tokoh nasional dan Aceh termasuk anggota Komisi A DPR Aceh. Dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai bendera Aceh. Tokoh nasional dan Aceh menyarankan agar bendera dengan gambar bulan-bintang dan pedang, bendera yang digunakan oleh Kesultanan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda, dipakai menjadi bendera provinsi yang berjuluk Serambi Mekah itu. Saran itu rupanya hanya didengar oleh Komisi A sehingga yang disepakati dalam Qanun No. 3 Tahun 2013 adalah bendera yang saat ini menjadi polemik.
Menghadapi hal yang demikian, Wakil Ketua MPR, Ahmad Farhan Hamid, yang juga anggota DPD dari Aceh dan putra asli provinsi itu mengharap semuanya tetap tenang. Jangan sampai masalah ini dibawa ke akar rumput. Pria yang menjadi saksi saat MOU Helsinki itu ditandatangani mengharap agar Pemerintah Aceh memprioritaskan pembangunan daripada soal bendera.
Untuk mengupas masalah bendera wartawan Majalah Majelis, Ardi Winangun, melakukan wawancara dengan pria lulusan Program Doktor Universitas Airlangga itu. Berikut petikannya:
Selepas Pernjanjian Helsinki kondisi Aceh stabil namun selepas ditetapkan Qanun No. 3 Tahun 2013 Tentang Lambang dan Bendera Aceh, masalah-masalah terkuak
Saya akan menilisik ke belakang sebentar bahwa dalam UU. No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh ada pasal yang ditulis secara eksplisit bahwa Aceh berhak mempunyai bendera, lambang, dan hymne sendiri. Ada kesan tulisan bendera itu dimaknakan seperti apa? Karena seluruh daerah mempunyai pataka. Nanti di kamus dilihat apa beda bendera dan pataka. Dalam UU. No. 11 Tahun 2006 sudah diberi gambaran bahwa bendera tidak boleh menunjukan atau tidak dimaksudkan untuk pernyataan kedaulatan. Bendera hanya semacam lambang yang menyatukan Aceh secara kebudayaan dan adat. Begitu juga tentang lambang, juga hymne.
Kadang-kadang orang di luar Aceh mendengar itu bisa merinding, kok Aceh mempunyai lambang sendiri, bendera sendiri, lagu sendiri, seperti Indonesia yang mempunyai bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan lambang Garuda Pancasila. MOU Helsinki yang juga menulis yang sama seperti UU. No. 11 Tahun 2006.
Sejak tahun 2006 hingga tahun 2013, DPR Aceh yang terbentuk pada tahun 2009 bersama dengan pemerintah Aceh mulai mendiskusikan tentang bendera dan lambang. Karena anggota DPR Aceh banyak alumni GAM maka bisa jadi mereka memilih bendera yang demikian dengan sedikit modifikasi pada masa pergolakan itu. Lalu mereka memikirkan untuk memasukan hal itu menjadi lambang dan bendera Aceh.
Pada tahun 2007 pemerintah (pusat) menerbitkan PP. No. 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah yang berisi apa-apa saja yang boleh dan apa-apa saja yang tak boleh untuk membuat lambang dan bendera daerah. Tentu PP itu tidak semata-mata ditunjukan untuk Aceh tetapi juga berlaku untuk semua.
Dalam masa pembuatan bendera Aceh, teman-teman di Aceh berpikir tidak melanggar apapun. Ketika disebut itu berbau separatis, mereka bilang setelah berunding di Helsinki kan tidak separatis lagi sudah masuk dalam NKRI namun Kita perlu menyimak beberapa hal yang pokok seperti yang dikatakan oleh Jusuf Kalla, jangankan untuk bendera daerah untuk mantan kombatan pun tidak boleh lagi menggunakan simbol-simbol GAM. Polemik seperti demikian membuat suasana yang damai menjadi menggelegak sedikit. Saya berharap masalah ini tidak lama dan cepat selesai.
Sesuai kesepakatan sebelumnya sepertinya bendera yang disetujui adalah bendera dengan gambar bulan-bintang dan sebuah pedang
Yang sekarang ini dikatakan oleh teman-teman Jakarta adalah benderanya ASNLF (Aceh Sumatera Nation Liberantions Front), Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, yang dikenal sebagai GAM. Kalau yang dikatakan gambar lain, yang Anda maksudkan itu adalah gambar bendera Kerajaan Aceh di masa lalu yakni bulan-bintang dan pedang.
Sejarah ini yang perlu dikuak secara scientific bases oleh orang-orang yang berkompeten. Lambang bulan-bintang dan pedang dikatakan pernah dipakai oleh Sultan Iskandar Muda dan sultan-sultan sebelumnya, dan semua orang mengakui bahwa masa kejayaan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda. Oleh beberapa tokoh nasional dan Aceh menganjurkan, mari Kita bersatu padu dalam sebuah simbol mengingat kejayaan Aceh di masa lalu untuk merebut kejayaan Aceh di masa depan, gunakanlah bendera berbentuk seperti ini (bulan-bintang dan pedang), itu pernah diusulkan termasuk dalam pertemuan pada 17 Desember 2012 di Jakarta yang dihadiri oleh Jusuf Kalla, Hamid Awaluddin, Yusril Ihza Mahendera, J. Kristiadi, Ferry Mursyidan Baldan, Priyo Budi Santoso, Saya sendiri, dan lainnya, juga cenderung mengajukan yang berbentuk bulan-bintang dan pedang tetapi teman-teman DPR Aceh dari Komisi A yang hadir tidak membuat kesimpulan, hanya mendengar saja, sehingga tidak terikat. Ternyata yang disyahkan oleh DPR Aceh seperti yang seperti sekarang ini.
Bendera yang disyahkan Qanun No. 3 Tahun 2013 ada yang mengakui tidak mencerminkan masyarakat Aceh secara keseluruhan, misalnya Suku Gayo
Dalam kenyataan memang ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyatakan tidak sepakat dengan bendera itu. Hanya Kita tidak tahu seberapa besar namun bagi Saya yang terpenting adalah simbol menjadi jiwa bagi semua orang. Kalau dibuat seperti ini suasananya memanas dan menjadi sesuatu yang menggejolak dalam batin maka agak sukar dilebur kembali untuk menjadi jiwa semua orang. Ini akan butuh waktu lagi untuk meleburkan saudara-saudara Kita dari Gayo, Alas, Aceh bagian selatan dan pantai-pantai barat yang melakukan penolakan-penolakan itu. Bahwa kemudian berubah pikiran teman-teman di DPR Aceh, mudah-mudahan tidak menimbulkan gejolak secara politik, pikirkan secara tenang, mungkin akan ada penyesuaian-penyesuaian tetapi semua terserah dua sikap penting, yakni teman-teman di Aceh (Pemerintah Aceh dan DPR Aceh) dan pemerintah pusat.
Apabila dikatakan tidak boleh menggunakan bendera dengan lambang itu, pemerintah pusat harus memberi alasan yang tegas dan jelas yang masuk akal dan memastikan secara tegas pula. Teman-teman di Aceh juga harus bisa membangun argumentasi, kalau bisa mengatakan ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perdamaian dan peraturan perundang-undangan di atasnya. Harus bisa berargumentasi dan bisa diterima secara akal kalau tidak Kita jangan bertempur di media apalagi membawa masalah ini ke akar rumput.
Pada umumnya masyarakat menerima saja. Kalau dibawa ke masyarakat ada 2 kubu, satu menerima secara penuh dengan segala resikonya, yang satu menolak dengan berbagai resikonya. Ini bisa menjadi benturan dan konflik di masyarakat.
Separatisme muncul bila ada ketidakadilan, apakah di Aceh saat ini terjadi adanya ketidakadilan?
Kalau Saya melihat dengan UU. No. 11 Tahun 2006, kewenangan semua hampir ada di Aceh, secara finansial Kita mengalokasikan dana secara khusus, lalu ekspresi politik diberi kebebasan partai lokal. Rasanya ketidakadilan yang selama ini terjadi sudah terpenuhi secara bertahap tinggal Pemerintah Aceh dan DPR Aceh mengelola hal ini untuk kebaikan masyarakat. Saya tidak melihat sesuatu yang substantif yang berkaitan dengan kemajuan Aceh terhadap keberadaan bendera dan lambang dalam waktu yang singkat ini. Kalau Kita beri prioritas, bendera dan lambang bukan prioritas teratas, prioritas teratas adalah mengurangi kemiskinan, menyediakan infrastruktur untuk masyarakat namun Kita tidak boleh melawan kondisi teman-teman di Aceh sudah mendahulukan masalah bendera ini.
Memang ada yang belum selesai yakni turunan-turunan dari UU. No. 11 Tahun 2006 yang menjadi kewajiban pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah segera menyelesaikan kewajiban-kewajiban setelah UU. No. 11 Tahun 2006 disepakati. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden untuk segera cepat menyelesaikan.
Sepertinya Qanun No. 3 Tahun 2013 akan dibatalkan
Semua orang harus taat pada prinsip hukum. Ada ketentuan bahwa peraturan daerah atau qanun kalau di Aceh itu mempunyai 2 cara kendali. Pertama, kendali reprensif. Yakni disetujui dahulu sebelum diketok. Kedua, kendali evaluatif. Diketok lebih dahulu kemudian masuk lembaran daerah kemudian diklarifikasi oleh kementerian. Bila kementerian menyatakan perlu adanya perbaikan maka pemerintah daerah harus memperbaiki.
Kalau ada benturan maka ada kewenangan Presiden atau MA. Baik masyarakat atau pemerintah bisa melakukan seperti judicial review ditujukan kepada MA. Presiden berhak membatalkan tentu dengan sebuah kajian sempurna tetapi karena hal ini menyangkut sesuatu yang sensitif maka komunikasi harus terbangun dengan baik antara pemerintah pusat dan daerah dan dengan seluruh element masyarakat yang dianggap punya kaitan untuk menetramkan keadaan.
Di Aceh sering diselenggarakan Sosialisasi 4 Pilar namun kondisinya kok masih ‘seperti itu’?
Yang terjadi bukan pada masyarakat, yang terjadi pada Gubernur Aceh dan DPR Aceh yang membuat qanun. Upaya Kita mensosialisasikan 4 Pilar kalau dihitung prosetase penduduk Aceh belum ada 1 persen. Sekali datang, TOT, Kita melatih 200 orang, sementara penduduk Aceh 5 juta. Upaya-upaya bersama Kita lakukan tapi ada satu yang positif terlepas dari hati atau batin mereka bahwa semua yang dibuat di Aceh untuk NKRI, itu yang menyenangkan.
Menghadapi hal yang demikian, Wakil Ketua MPR, Ahmad Farhan Hamid, yang juga anggota DPD dari Aceh dan putra asli provinsi itu mengharap semuanya tetap tenang. Jangan sampai masalah ini dibawa ke akar rumput. Pria yang menjadi saksi saat MOU Helsinki itu ditandatangani mengharap agar Pemerintah Aceh memprioritaskan pembangunan daripada soal bendera.
Untuk mengupas masalah bendera wartawan Majalah Majelis, Ardi Winangun, melakukan wawancara dengan pria lulusan Program Doktor Universitas Airlangga itu. Berikut petikannya:
Selepas Pernjanjian Helsinki kondisi Aceh stabil namun selepas ditetapkan Qanun No. 3 Tahun 2013 Tentang Lambang dan Bendera Aceh, masalah-masalah terkuak
Saya akan menilisik ke belakang sebentar bahwa dalam UU. No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh ada pasal yang ditulis secara eksplisit bahwa Aceh berhak mempunyai bendera, lambang, dan hymne sendiri. Ada kesan tulisan bendera itu dimaknakan seperti apa? Karena seluruh daerah mempunyai pataka. Nanti di kamus dilihat apa beda bendera dan pataka. Dalam UU. No. 11 Tahun 2006 sudah diberi gambaran bahwa bendera tidak boleh menunjukan atau tidak dimaksudkan untuk pernyataan kedaulatan. Bendera hanya semacam lambang yang menyatukan Aceh secara kebudayaan dan adat. Begitu juga tentang lambang, juga hymne.
Kadang-kadang orang di luar Aceh mendengar itu bisa merinding, kok Aceh mempunyai lambang sendiri, bendera sendiri, lagu sendiri, seperti Indonesia yang mempunyai bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan lambang Garuda Pancasila. MOU Helsinki yang juga menulis yang sama seperti UU. No. 11 Tahun 2006.
Sejak tahun 2006 hingga tahun 2013, DPR Aceh yang terbentuk pada tahun 2009 bersama dengan pemerintah Aceh mulai mendiskusikan tentang bendera dan lambang. Karena anggota DPR Aceh banyak alumni GAM maka bisa jadi mereka memilih bendera yang demikian dengan sedikit modifikasi pada masa pergolakan itu. Lalu mereka memikirkan untuk memasukan hal itu menjadi lambang dan bendera Aceh.
Pada tahun 2007 pemerintah (pusat) menerbitkan PP. No. 77 Tahun 2007 Tentang Lambang Daerah yang berisi apa-apa saja yang boleh dan apa-apa saja yang tak boleh untuk membuat lambang dan bendera daerah. Tentu PP itu tidak semata-mata ditunjukan untuk Aceh tetapi juga berlaku untuk semua.
Dalam masa pembuatan bendera Aceh, teman-teman di Aceh berpikir tidak melanggar apapun. Ketika disebut itu berbau separatis, mereka bilang setelah berunding di Helsinki kan tidak separatis lagi sudah masuk dalam NKRI namun Kita perlu menyimak beberapa hal yang pokok seperti yang dikatakan oleh Jusuf Kalla, jangankan untuk bendera daerah untuk mantan kombatan pun tidak boleh lagi menggunakan simbol-simbol GAM. Polemik seperti demikian membuat suasana yang damai menjadi menggelegak sedikit. Saya berharap masalah ini tidak lama dan cepat selesai.
Sesuai kesepakatan sebelumnya sepertinya bendera yang disetujui adalah bendera dengan gambar bulan-bintang dan sebuah pedang
Yang sekarang ini dikatakan oleh teman-teman Jakarta adalah benderanya ASNLF (Aceh Sumatera Nation Liberantions Front), Front Pembebasan Nasional Aceh Sumatera, yang dikenal sebagai GAM. Kalau yang dikatakan gambar lain, yang Anda maksudkan itu adalah gambar bendera Kerajaan Aceh di masa lalu yakni bulan-bintang dan pedang.
Sejarah ini yang perlu dikuak secara scientific bases oleh orang-orang yang berkompeten. Lambang bulan-bintang dan pedang dikatakan pernah dipakai oleh Sultan Iskandar Muda dan sultan-sultan sebelumnya, dan semua orang mengakui bahwa masa kejayaan Aceh di masa Sultan Iskandar Muda. Oleh beberapa tokoh nasional dan Aceh menganjurkan, mari Kita bersatu padu dalam sebuah simbol mengingat kejayaan Aceh di masa lalu untuk merebut kejayaan Aceh di masa depan, gunakanlah bendera berbentuk seperti ini (bulan-bintang dan pedang), itu pernah diusulkan termasuk dalam pertemuan pada 17 Desember 2012 di Jakarta yang dihadiri oleh Jusuf Kalla, Hamid Awaluddin, Yusril Ihza Mahendera, J. Kristiadi, Ferry Mursyidan Baldan, Priyo Budi Santoso, Saya sendiri, dan lainnya, juga cenderung mengajukan yang berbentuk bulan-bintang dan pedang tetapi teman-teman DPR Aceh dari Komisi A yang hadir tidak membuat kesimpulan, hanya mendengar saja, sehingga tidak terikat. Ternyata yang disyahkan oleh DPR Aceh seperti yang seperti sekarang ini.
Bendera yang disyahkan Qanun No. 3 Tahun 2013 ada yang mengakui tidak mencerminkan masyarakat Aceh secara keseluruhan, misalnya Suku Gayo
Dalam kenyataan memang ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyatakan tidak sepakat dengan bendera itu. Hanya Kita tidak tahu seberapa besar namun bagi Saya yang terpenting adalah simbol menjadi jiwa bagi semua orang. Kalau dibuat seperti ini suasananya memanas dan menjadi sesuatu yang menggejolak dalam batin maka agak sukar dilebur kembali untuk menjadi jiwa semua orang. Ini akan butuh waktu lagi untuk meleburkan saudara-saudara Kita dari Gayo, Alas, Aceh bagian selatan dan pantai-pantai barat yang melakukan penolakan-penolakan itu. Bahwa kemudian berubah pikiran teman-teman di DPR Aceh, mudah-mudahan tidak menimbulkan gejolak secara politik, pikirkan secara tenang, mungkin akan ada penyesuaian-penyesuaian tetapi semua terserah dua sikap penting, yakni teman-teman di Aceh (Pemerintah Aceh dan DPR Aceh) dan pemerintah pusat.
Apabila dikatakan tidak boleh menggunakan bendera dengan lambang itu, pemerintah pusat harus memberi alasan yang tegas dan jelas yang masuk akal dan memastikan secara tegas pula. Teman-teman di Aceh juga harus bisa membangun argumentasi, kalau bisa mengatakan ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perdamaian dan peraturan perundang-undangan di atasnya. Harus bisa berargumentasi dan bisa diterima secara akal kalau tidak Kita jangan bertempur di media apalagi membawa masalah ini ke akar rumput.
Pada umumnya masyarakat menerima saja. Kalau dibawa ke masyarakat ada 2 kubu, satu menerima secara penuh dengan segala resikonya, yang satu menolak dengan berbagai resikonya. Ini bisa menjadi benturan dan konflik di masyarakat.
Separatisme muncul bila ada ketidakadilan, apakah di Aceh saat ini terjadi adanya ketidakadilan?
Kalau Saya melihat dengan UU. No. 11 Tahun 2006, kewenangan semua hampir ada di Aceh, secara finansial Kita mengalokasikan dana secara khusus, lalu ekspresi politik diberi kebebasan partai lokal. Rasanya ketidakadilan yang selama ini terjadi sudah terpenuhi secara bertahap tinggal Pemerintah Aceh dan DPR Aceh mengelola hal ini untuk kebaikan masyarakat. Saya tidak melihat sesuatu yang substantif yang berkaitan dengan kemajuan Aceh terhadap keberadaan bendera dan lambang dalam waktu yang singkat ini. Kalau Kita beri prioritas, bendera dan lambang bukan prioritas teratas, prioritas teratas adalah mengurangi kemiskinan, menyediakan infrastruktur untuk masyarakat namun Kita tidak boleh melawan kondisi teman-teman di Aceh sudah mendahulukan masalah bendera ini.
Memang ada yang belum selesai yakni turunan-turunan dari UU. No. 11 Tahun 2006 yang menjadi kewajiban pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah segera menyelesaikan kewajiban-kewajiban setelah UU. No. 11 Tahun 2006 disepakati. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Presiden untuk segera cepat menyelesaikan.
Sepertinya Qanun No. 3 Tahun 2013 akan dibatalkan
Semua orang harus taat pada prinsip hukum. Ada ketentuan bahwa peraturan daerah atau qanun kalau di Aceh itu mempunyai 2 cara kendali. Pertama, kendali reprensif. Yakni disetujui dahulu sebelum diketok. Kedua, kendali evaluatif. Diketok lebih dahulu kemudian masuk lembaran daerah kemudian diklarifikasi oleh kementerian. Bila kementerian menyatakan perlu adanya perbaikan maka pemerintah daerah harus memperbaiki.
Kalau ada benturan maka ada kewenangan Presiden atau MA. Baik masyarakat atau pemerintah bisa melakukan seperti judicial review ditujukan kepada MA. Presiden berhak membatalkan tentu dengan sebuah kajian sempurna tetapi karena hal ini menyangkut sesuatu yang sensitif maka komunikasi harus terbangun dengan baik antara pemerintah pusat dan daerah dan dengan seluruh element masyarakat yang dianggap punya kaitan untuk menetramkan keadaan.
Di Aceh sering diselenggarakan Sosialisasi 4 Pilar namun kondisinya kok masih ‘seperti itu’?
Yang terjadi bukan pada masyarakat, yang terjadi pada Gubernur Aceh dan DPR Aceh yang membuat qanun. Upaya Kita mensosialisasikan 4 Pilar kalau dihitung prosetase penduduk Aceh belum ada 1 persen. Sekali datang, TOT, Kita melatih 200 orang, sementara penduduk Aceh 5 juta. Upaya-upaya bersama Kita lakukan tapi ada satu yang positif terlepas dari hati atau batin mereka bahwa semua yang dibuat di Aceh untuk NKRI, itu yang menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar