Senin, 25 Juni 2012
DULU, sejak 1976, mereka adalah bagian dari orang-orang yang dikejar-kejar oleh pemerintah Republik Indonesia karena aktivitas politik mereka memberontak dan ingin membangun Negara baru yang terpisah dari NKRI. Sekarang, mereka menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur melalui pemilukada. Mereka akan memimpin Provinsi Aceh untuk lima tahun ke depan. Begitulah, narasi sejarah selalu saja memberikan konteks pada lahirnya sebuah peristiwa politik.
Petualangan politik mereka di luar dan di dalam negeri telah membawa mereka selama bertahun-tahun kedalam kesunyian jiwa Sang Pemberontak. Sementara bumi Aceh menggelora, air mata dan darah “anak negeri” tumpah dan membasahi pojok-pojok Tanah Rencong. Rakyat Aceh mengalami suatu masa yang sangat sulit ketika itu. Namun, masa-masa tak enak itu kini sudah berlalu. Aceh sudah menjadi daerah yang “damai”, dan Sang Pemberontak kini dipercaya rakyat untuk memimpin negeri ini. “Waktu berlalu, masapun berubah, dan diatas puing reruntuhan, mekarlah kehidupan baru.” (Leopard Stoddard).
Menjadi nakhoda
Rakyat Aceh telah mempercayakan mereka (dr Zaini Abdullah/Muzakkir Manaf) untuk menjadi nakhoda yang akan membawa Aceh menuju ke peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup rakyat. Mereka bukan yang pertama memang, karena sudah ada beberapa nakhoda sebelumnya, yang ternyata belum mampu memberikan yang terbaik bagi Aceh. Semoga kali ini, Aceh akan tiba di pelabuhan dalam rona keadilan dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana dijanjikan selama kampanye. Dan tidak ada yang pernah berharap bahwa provinsi Aceh akan kandas di pelabuhan yang terakhir ini.
Begitu besar harapan yang ditumpukan kepada Sang Pemimpin Baru, karena ditengarai, dalam rentang waktu yang cukup lama hidup dipengasingan di benua Eropa sudah cukup matang bagi Sang Pemimpin untuk bekal membangun Aceh untuk menjadi lebih maju, untuk menjadi lebih demokratis dengan prinsip-prinsip keadilan demi kesejahteraan hidup seluruh rakyat. Kalau Imam Khomeini memimpim perlawanan dari pengasingannya di Paris Selatan, Prancis, dan kembali untuk membangun negerinya menjadi Negara dan Bangsa yang bermartabat, akankah dr Zaini Abdullah juga akan melakukan hal yang serupa?
Puluhan tahun masa pergolakan di Aceh, telah merusak sebanyak yang tak terkirakan, kini tiba saatnya untuk membangun kembali, ini adalah kesempatan untuk menulis sejarah baru pembangunan kembali jiwa dan daerah Aceh. Dari stigma musuh Negara, kini mendapat pengakuan sebagai pemimpin bangsa, Aceh menanti kiprahmu Sang Pemimpin sekaligus untuk menepis statemen Nietzshe yang termasyhur “Musuh-musuhku adalah mereka yang hanya bisa merusak tanpa dapat menciptakan oleh diri mereka sendiri.”
Zaini Abdullah pada masa itu merupakan salah satu dari sekian banyak orang di Aceh yang sangat dicari oleh pemerintah RI karena aktivitas politik “memberontak”nya, yang ketika itu disebut sebagai GPLHT/AM (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro/Aceh Merdeka). Sejak itu, sepertinya, ia melanglang buana di luar negeri dan terakhir bertempat tinggal di Eropa, sebagai warga Negara Swedia, di kawasan Skandinavia, yang dikenal sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya negara-negara welfare state.
Paling dicari
Alumnus Fakultas Kedokteran USU tersebut, bersama-sama dengan Ir Asnawi Ali, (alm) dr Zubir Mahmud, (alm) dr Mukhtar Hasbi, Amir Ishak SH, dr Husaini Hasan, serta (alm) M Tahir Husen (mantan pegawai Pertamina di Ranto Kuala Simpang), Daud Paneuk, dan beberapa orang lainnya, menjadi masyhur di Aceh ketika itu, karena pada 1978-1979, foto mereka bersama dengan (alm) Dr Hasan Muhammad Di Tiro, dicetak di satu lembar kertas dan ditempel di berbagai tempat sebagai orang-orang yang sangat dicari oleh Pemerintah RI karena terlibat gerakan politik yang ketika itu disebut sebagai gerakan separatis Aceh Merdeka.
Tiga dekade kemudian dr Zaini Abdullah kembali ke Aceh setelah pemerintah RI dan GAM bersepakat untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh yang dirumuskan bersama dalam sebuah Nota Kesepahaman Bersama di Helsinki, Finlandia. Dan pemerintah RI melakukan naturalisasi dengan mengembalikan kewarganegaraan RI kepadanya.
Seorang dokter yang pernah bertugas dan membuka praktek di Kuala Simpang, sebuah kota Kecamatan di Aceh Timur, sekarang ibukota Kabupaten Aceh Tamiang, yang juga masih menjalankan profesinya tersebut selama bertahun-tahun tinggal di Swedia, sekarang telah dipercayakan oleh rakyat Aceh melalui pemilukada sebagai pemimpin pemerintahan Aceh. Seperti apa seni kepemimpinan yang akan beliau laksanakan dalam memerintah, masih belum dapat diraba, karena begitu lamanya beliau berada di luar Indonesia, karena itu sedikit orang yang tahu karakter kepemimpinannya. Tapi rakyat Aceh sudah menjatuhkan pilihan dan memberikan kepercayaan bahwa beliau mampu.
Untuk pemerintahan Aceh ke depan yang dinakhodai oleh orang yang pernah bersentuhan dengan pemerintahan Libya, dan ikut berlatih militer di negara gurun tersebut, ditambah dengan pengalaman tinggal dan hidup di sebuah negara welfare state, akankah menempuh jalan menyimpang untuk membangun masyarakat Aceh yang bebas dan bahagia? Ini perlu dinukilkan sebagai harapan dengan sandaran pada visi-misi yang disampaikan dan orasi-orasi yang gegap gempita selama masa kampanye, tidak bisa tidak dan tak lain dari keselainan akan terwujudnya cita-cita rakyat Aceh tersebut.
Reposisi ideologis
Manusia menyukai kekuasaan selama ia percaya akan kemampuannya untuk menangani urusan yang bersangkutan akan tetapi apabila ia menyadari ketidakmampuannya ia akan lebih suka mengikuti seorang pemimpin, demikian kata Bertrand Russel. Jadi, ketika Partai Aceh memutuskan untuk mengusung Zaini Abdullah/Muzakkir Manaf sebagai Calon Gubernur/Calon Wakil Gubernur, dan mereka menerima “usungan’ partai tersebut, maka sudah pasti sejak itu mereka percaya bahwa mereka mampu untuk memimpin pemerintahan Aceh ke depan.
Dengan latar belakang pendidikan, ditambah pengalaman hidup di berbagai Negara, dan semangat kejuangan yang menggelora dari kedua pemimpin Aceh terpilih, maka kita mesti percaya bahwa dengan kekuasaan di tangan, mereka akan mampu mengupayakan jaminan untuk menjinakkan pemerintah agar tidak seperti harimau. Sekiranya tidak demikian, maka rakyat akan kembali menyusun perlawanan baru untuk mencari pemimpin baru, meskipun sulit dipercaya bahwa mereka tidak mampu untuk memberikan jaminan itu.
Akhirnya kita sambut kehadiran pemimpin baru, dengan semangat baru yang berbeda dari masa-masa sebelumnya, setelah mereka menghadapi peristiwa yang pasti memerlukan reorientasi dan reposisi ideologis untuk masa depan Aceh yang lebih baik. Lahirnya MoU Helsinki telah meretas jalan damai untuk Aceh, dan merupakan krisis bagi para pemimpin yang terlibat dalam upaya damai tersebut, karena gugurnya ideologi perlawanan. Dan itu adalah pengorbanan demi kesejahteraan rakyat Aceh. Atas pengorbanan tersebut, rakyat memberikan kepercayaan untuk memimpin nanggroe indatu. Welcome home, meneer!
* Saifuddin Gani, SH, Advokat di Banda Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar