Kamis, 28 Juni 2012
Kadang kala kita menemukan dalam realita politik bahwa pada pilihan-pilihan dan kebijakan-kebijakan politik, tidaklah mesti selalu seiring sejalan. Ada masanya berbeda persepsi, perspektif, nalar, dan visualisasi capaian yang di cita-citakan, berujung pada perselisihan pilihan jalan perjuangan yang ditempuh. Tidak sedikit perbedaan ini boleh jadi lahir dari kegaduhan internal partai dalam penentuan pilihan dukungan yang dijagokan, atau perbedaan terhadap kebijakan dan arah yang diputuskan, juga tidak kurang haluan-haluan menjadi zig-zag oleh karena sikap atau ramuan politik kepemimpinan yang menurut satu pihak telah keluar jalur dari khittah perjuangan. Namun satu hal pencerdasan bahwa sesungguhnya realita ini seringnya berakhir dengan klaim pengkhiatan atas pihak lain yang mengambil jalan berbeda dari jalan keputusan mayoritas.
Logika mayoritas
Dulu ada sebuah partai besar di Indonesia, dalam konvensi partainya mereka secara berkerumunan memilih seorang kandidat untuk menjadi raja di nergeri ini dari hasil konvensi itu. Namun akhir prosesi pemilihan itu, dalam pemilu raya yang diikuti oleh seluruh (sebagian besar) rakyat jelata di negeri tersebut, kandidat raja yang diusung dari hasil konvensi itu tidak berhasil memenangkan pilihan bergengsi tersebut.
Malah kadernya yang diusung oleh partai lain yang menjadi pemenang sebagai wakil raja mendampingi raja yang memenangkan pilihan rakyat itu. Pada awalnya sebagian besar orang-orang mungkin mengatakan bahwa wakil raja yang terpilih dengan menggunakan kendaraan politik lain itu telah melakukan pengkhiatan politik terhadap partainya. Mungkin hal ini dapat diterima kalau akhirnya adalah kandidat yang diusung oleh partai pembuat konvensi itu menjadi pemenang. Tetapi-kan kenyataannya berbeda.
Di tengah jalan pascahiruk pikuknya pemilihan raja itu, karena kandidat raja yang diusung hasil konvensi ternyata gagal menjadi pemenang. Malah kadernya yang diusung partai lain menjadi wakil raja yang terpilih, maka ramai-ramai secara bergerombolan partai pelaku konvensi itu merapat ke barisan wakil raja yang diusung oleh partai lain tersebut.
Walaupun sesungguhnya telah dianggap berkhianat, dan walaupun sebenarnya tidak ada saham sedikitpun terhadap dukungan bagi calon raja dan kadernya yang disanding sebagai wakil raja dalam pemilihan yang telah berlalu itu, ternyata bahwa logika klaim pengkhianat atas sebuah/seseorang/sekelompok/sekomunitas yang berbeda pilihan jalanan politik, kalau di tengah jalan menjadi pemenang, maka dapat berubah secara drastis logika politiknya dengan serta merta.
Kekuatan kerumunan yang secara mayoritas menguasai sebuah komunitas (partai) ternyata dapat takluk dibawah kekuasaan. Apalagi kekuasaan itu melembaga dalam bentuk sebuah negara. Sehingga secara otomatis pihak mayoritas ternyata dapat menerima seseorang atau kelompok orang yang telah diklaim sebagai pengkhianat kalau dia telah memiliki kekuasaan. Walau sesungguhnya kadang kala perpindahan itu tidak sepenuhnya lahir dari keikhlasan yang beritikad baik.
Politik Aceh
Serupa halnya dalam dinamika politik di tanoeh Seuramoe Mekkah ‘Aceh’. Pelajaran Pilkada Aceh juga tidak jauh berbeda dari logika mayoritas dan kekuasaan itu. Belajar dari dua pilkada yang telah berlalu sejak damainya Aceh terwujud, yaitu Pilkada 2006 dan Pilkada 2012 yang telah berlalu itu, aroma politik mayoritas dan kekuasaan senantisa bertemu dalam ring kepentingan yang ternyata dapat dirukunkan atas kepentingan-kepentingan yang diharapkan.
Pada akhirnya kita menemukan bahwa kerumunan yang mayoritas ternyata dapat dengan mudah takluk di bawah kekuasaan dan kekuasaan seringnya mudah menerima kerumunan yang mayoritas itu untuk bergabung tanpa ada mahar politik yang mesti ditanggungnya. Penerimaan ini mungkin dapat diterima atas kepentingan akan koalisi dukungan tambahan yang dianggap perlu atau juga karena kepentingan atas kemudahan dan kelancaran perjalanan kebijakan-kebijakan yang akan dirumuskan dimasa hadapan.
Yang menarik bagi kita adalah: Pertama, Kalaulah kerumunan mayoritas yang kalah dapat diterima kembali dalam rumah politik kadernya yang di klaim sebagai pengkhianat dengan logika mayoritas dan kekuasaan, lalu bagaimana kalau kerumunan minoritas yang kalah? Akankah mereka tetap akan diterima secara baik, sebaik mereka diterima sebagaimana kerumunan mayoritas yang kalah pada 5 tahun yang lalu?
Kedua, seberapa pentingkah klaim pengkhianat dalam dunia politik modern sekarang ini, yang kadang dapat menyebabkan korban jiwa-jiwa pelaku, pendukung dan masyarakat yang terkait dengannya. Rasanya klaim-klaim ini perlu ditinjau ulang dalam kamus politik kita di nanggroe ini. Kalau perlu para pengarang kamus politik ini dapat dibahani ulang tentang retorika politik yang sepatutnya mereka bunyikan ketika kampanye.
Mewujudkan keadilan
Belajar dari fenomena politik kita di negeri (Indonesia) dan nanggroe (Aceh) ini, sudah tidak relevan lagi bagi kita mengetengahkan pertentangan politik yang hanya melahirkan dendam-dendam baru bagi anak-anak bangsa. Kita perlu membuang jauh-jauh kalimat-kalimat yang kontra produktif, kata-kata yang tidak bersahabat, narasi-narasi yang tidak membangun kemanusiaan.
Kayaknya sudah bukan zamannya lagi pertentangan dalam dunia politik yang hanya melahirkan klaim-klaim yang membahayakan kebersamaan kita sebagai anak-anak pejuang di nanggroe ini. Karena sesungguhnya kita semua adalah satu kesatuan dalam sebuah rumah tangga republik, yang telah dengan secara sadar berbaris beratur untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat jelata di negeri dan nanggroe raya ini.
* Rahmat Fadhil, Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: rahmatfadhil@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar