by hanif Sofyan-Opini Majalah Tanah Rencong
Diantara riuhnya Pilkada, ada momen penting yang menyita perhatian khalayak, “Earth Hour”; Kampanye Global Aksi Padam Lampu Satu Jam, yang digagas lembaga konservasi terbesar di dunia World Wildlife Fund (WWF). Sisi menariknya adalah karena persoalan listrik byar pet (hidup mati) adalah persoalan klasik di Aceh, yang padamnya bisa berhari-hari. Seiring pergantian gubernur yang silih berganti tak kunjung ada solusi kongkrit tentang “nasib” listrik di Nanggroe Syariah kita hingga hari ini. Anggap saja ini sebuah tantangan bagi siapapun gubernur kita, untuk peduli listrik dan peduli lingkungan sekaligus dalam satu “bungkus” pesan yang sama ‘Earth Hour”.
Barangkali tak pernah terbayangkan oleh kita
bahwa Kampanye Global Aksi Padam Lampu Satu Jam atau Earth Hour dapat memberi
kontribusi besar bagi bumi kita yang sedang “sakit”. Sebagai gambaran, satu jam
Earth Hour oleh 10% saja penduduk Jakarta akan menghemat 300 MWh, setara dengan
mengistirahatkan satu pembangkit listrik PLTN kecil. Setara pula dengan listrik
untuk menyalakan 900 desa dan mengurangi emisi hingga kurang lebih 267,3 ton
CO2. Itu semua setara dengan daya serap emisi dari 267 pohon berusia 20 tahun,
atau sama dengan dengan ketersediaan O2 untuk 534 orang. Secara ekonomi, satu
jam tanpa lampu juga mengurangi beban listrik Jakarta sebanyak Rp.200.000.000,-(Liputan6.com),fantastik!.
Bagaimana jika kemudian gagasan ini terimplementasi juga dalam keseharian kita dengan lebih peduli, mematikan listrik untuk peralatan yang tak diperlukan?.
Bagaimana jika kemudian gagasan ini terimplementasi juga dalam keseharian kita dengan lebih peduli, mematikan listrik untuk peralatan yang tak diperlukan?.
Kenyataan itu sekaligus menegaskan, bagaimana
perlakuan kita terhadap bumi, karena kontribusi kita satu jam saja hemat listrik,
telah memberikan deretan fakta yang mencengangkan!. Bagaimana jika kontribusi
itu juga kita lakukan terhadap sisi kehidupan yang lain seperti menjaga hutan
lebih lestari atau daur ulang sampah, hal paling dekat dalam keseharian kita,
tentu ada fakta tersembunyi yang bakal menjungkirbalikkan realitas kita.
Simbolisasi Hemat Energi
Simbolisasi Hemat Energi
Dibandingkan
365 hari konsumsi kita terhadap listrik, pemadaman satu jam listrik tentu tak
memadai. Satu jam ini adalah simbolisasi, bahwa kita sebagai individu
berkontribusi pada emisi karbon yang kita hasilkan seperti listrik. Jika
konsumsi listrik meningkat, berimplikasi pada meningkatnya emisi di atmosfer bumi
yang menjadi salah satu pemicu pemanasan global dan perubahan iklim.
"Earth Hour bukan tujuan tapi alat. Ini adalah gerakan untuk menyampaikan
pesan pada publik," kata Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia,
Nyoman Iswarayoga. Di tanggal dan waktu yang ditentukan, masyarakat diajak
mematikan lampu selama satu jam. Dari waktu yang singkat tersebut, masyarakat
bisa berpartisipasi dalam “menunda” pemanasan global dan krisis lingkungan
karena termasuk menghemat energi dengan cara yang mudah dan murah, sebagai
bagian dari gaya hidup “hijau”yang tahun 2012 ini dikemas dengan tajuk “ini
aksiku!, mana aksimu?”, menantang untuk kongkrit dalam aksi hemat energi.
Kampanye
global 2011 yang digagas Andi Ridley,
relawan WWF, adalah wujud kepeduliannya terhadap lingkungan dengan harapan
besar. Aksi ini diharapkan akan mendorong para pemimpin negara untuk
bersama-sama menciptakan perjanjian iklim yang mengikat, paska tidak
memuaskannya hasil kesepakatan dalam konferensi iklim di Kopenhagen, Denmark,
Desember 2010 silam. Kampanye yang diawali di tahun 2007 oleh WWF Australia dan
Leo Burnett Sydney dari The Sidney Morning Herald ini terus menggelembung dan
diikuti oleh banyak negara. Tahun 2011 lalu, merupakan aksi Earth Hour terbesar
setelah 5 tahun peringatannya yang diikuti 135 negara di seluruh dunia,
menjangkau 5251 kota, dan melibatkan 1,8 miliar orang di 7 benua dan kampanye
digitalnya diakses oleh 91 juta orang. Ini menjadi aksi sukarela terbesar yang
pernah disaksikan umat manusia.(National
Geographic-wikipedia).
Banda Aceh adalah kota pertama di Pulau Sumatera
yang berinisiatif ambil bagian dalam aksi ini. Earth Hour 2012 sekaligus menjadi sejarah
baru bagi Aceh, karena partisipasinya untuk pertama kalinya
yang ditandai dengan mematikan lampu/peralatan listrik yang tidak terpakai
secara serentak selama 1 jam pada Sabtu,
31 maret 2012 pukul 20.00-21.00 WIB. Dukungan lebih dari tiga puluh satu komunitas
dan lembaga lingkungan di Aceh yang dipusatkan di Balai Kota Banda Aceh
menunjukkan wujud dukungan kampanye Earth Hour yang dilaksanakan serentak di
seluruh dunia. Hingga saat ini ada 26 kota di seluruh Indonesia berpartisipasi
dalam Earth Hour 2012. Dan Kota Banda Aceh akan menjadi bagian dari 5251 kota di 135 negara yang
pernah berpartisipasi dalam aksi global mematikan lampu selama satu jam.(act.earthday.org)Satu Jam Saja
Earth Hour adalah aksi kampanye hemat energi
dengan kemasan yang menarik, terbukti aksi ini menuai simpati yang terus meluas
secara mondial. Dengan kemasan yang berbeda Earth Hour mencoba mengajak “dunia”
pada sebuah aksi sederhana “memadamkan” lampu satu jam saja. Namun memberi
imbal balik yang luar biasa bagi upaya hemat energi dan membangun kesadaran dan
pemahaman kepada khalayak luas tentang pentingnya menghemat energi dan memasyarakatkan
gaya hidup yang peduli dengan hal-hal sepele dan sederhana namun berkontribusi
besar bagi kehidupan. Seperti harapan yang diusung dalam Earth Hour 2011 lalu,
‘Setelah Satu Jam, jadikan Gaya Hidup”.
Malam
puncak Earth Hour, 31 Maret 2012 di
Banda Aceh, ditandai dengan pemadaman lampu di 4 ikon kota Banda Aceh yakni
Mesjid Baiturrahman, Balai Kota, Museum Tsunami dan Jembatan Pante Pirak.
Selain itu ada gedung Mapolda Aceh dan Perkantoran lainnya di bawah jajaran Polda
Aceh. Pemko Banda Aceh juga akan berpartisipasi dengan memadamkan lampu-lampu
jalan di sejumlah ruas seperti jalan T.Umar-Cut Nyak Dien, Jalan Sudirman,
jalan Lamjame, jalan T. Iskandar Muda sampai depan mesjid Uleelheu, Jalan Daud
Beureueh-T.Nyak Arief sampai Lamnyong, Jalan Tgk Nyak Makam sampai Jembatan
Pango, Jalan Tgk Mohammad Hasan, Jalan Lueng Bata, Jalan Mohammad Jam, Jalan T.
Panglima Polem dan Komplek PKA.
Moment
satu jam ini menjadi simbolisasi yang menegaskan masih adanya kepedulian
terhadap berbagai persoalan keseharian yang masih terus berkutat dengan
masalah.
Nasib Listrik Kita
Ada wacana menarik yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang berharap "earth hour"--aksi mematikan lampu satu jam yang digagas World Wildlife Fund (WWF)--bukan sekadar program tahunan, tetapi juga menjadi gaya hidup hemat energi warga ibu kota. "Earth hour jangan dilihat sekadar matikan lampu, menghemat listrik, tetapi kita ingin melihat ini sebagai way of life, menghemat energi sebagai bagian pola hidup kita ke depan,". Bahkan untuk Jakarta menurutnya paling tidak akan dilakukan pemadaman beberapa kali dalam satu tahun, minimal di hari Bumi (22 April) dan Hari Lingkungan Hidup (5 Juni).
Nasib Listrik Kita
Ada wacana menarik yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang berharap "earth hour"--aksi mematikan lampu satu jam yang digagas World Wildlife Fund (WWF)--bukan sekadar program tahunan, tetapi juga menjadi gaya hidup hemat energi warga ibu kota. "Earth hour jangan dilihat sekadar matikan lampu, menghemat listrik, tetapi kita ingin melihat ini sebagai way of life, menghemat energi sebagai bagian pola hidup kita ke depan,". Bahkan untuk Jakarta menurutnya paling tidak akan dilakukan pemadaman beberapa kali dalam satu tahun, minimal di hari Bumi (22 April) dan Hari Lingkungan Hidup (5 Juni).
Dalam kancah ke-Aceh-an yang
tengah bergerak terus ke arah metropolitan, persoalan listrik harus masuk dalam
skala prioritas program pembangunan Aceh, dibawah kendali gubernur
yang telah kita pilih pada 9 April 2012 lalu. Persoalan listrik yang masih
terus “hidup mati” dan tergantung dari pihak luar berimplikasi tidak saja pada
pemborosan secara finansial dalam kerangka bisnis dan pertumbuhan ekonomi, tapi
juga dalam kacamata pola hidup hijau. Bayangkan jika listrik hidup mati tak
terkendali yang dipahami secara tehnis tidak saja merusak mesin namun juga
meningkatnya biaya konsumsi listrik di rumah tangga, belum lagi berbicara
bisnis yang membutuhkan pasokan listrik secara konsisten dan “jelas”.
Secara perlahan perubahan harus
dimulai dari pembangunan infrastruktur yang serius lalu diikuti dengan
pengaturan yang disesuaikan dengan konsumsi listrik kita. Barangkali diantara
sekian banyak tantangan menjaga Aceh kedepan selain perdamaian yang menjadi
prioritas utama, persoalan tehnis ini bukan soal yang mustahil, apalagi guyuran
dana yang berlimpah tersedia saat ini. Semuanya tergantung pada “kemauan dan
niat baik”, gubernur kita ke depan. Secara tidak langsung momen ini
mengingatkan kita tentang berbagai persoalan kelistrikan yang menjerat
“kebebasan” kita dalam menggunakan listrik sebagai kebutuhan vital. Sehingga
kita tidak lagi terus berkutat dengan persoalan pasokan listrik yang tidak
cukup, pengendalian penggunaan konsumsi listrik yang serba tak pasti, terlebih
ketika dihadapkan dengan wacana penghematan kita masih maju mundur karena masih
harus berpikir tentang bagaimana “memiliki listrik sendiri” dulu baru bisa
berhemat energi.
Terlepas dari ruwetnya
persoalan itu, Earth Hour ini harus menjadi catatan penting, bagi semua pihak
bahwa pilihan-pilihan yang tersedia didepan kita sangat tergantung pada
keseriusan kita sendiri dalam memutuskan yang terbaik. Ini tidak saja menjadi
“semangat” bagi bagaimana membangun Aceh agar “terus terang, terang terus”
tidak saja dalam soal pelik politik tapi juga soal listrik yang telah membelit
sekian lama. Sekaligus ini menjadi momentum kita untuk “belajar” lebih hemat
energi, sehingga kelak dengan pembangkit listrik sendiri kita tahu bagaimana
seharusnya yang terbaik yang dapat kita lakukan.
Mungkin jika ada ide gila
yang bisa kita tawarkan dalam kesempatan kampanye kemarin, kita buat saja
tantangan, siapapun Calon Gubernur kita ke depan yang bisa menjanjikan “era
listrik yang lebih baik”, patut dipertimbangkan untuk kita pertahankan dalam
pilkada berikutnya.[hans-2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar