by hanif sofyan
Jika dunia yang kita tinggali muncul dengan sendirinya, tanpa campur tangan Tuhan. Maka seperti teori abiogenesis-nya Aristoteles atau Teori Generatio Spontanea-nya Anthony van Leenwenhoek, dunia lahir instant tanpa campur tangan Tuhan.
Semua terjadi serba tak disengaja. Ini mirip keyakinan orang yang tak yakin bahwa Tuhan itu ada, karena tak punya agama. Sehingga ia merasa kehadirannya di bumi ada dengan sendirinya. Nihilnya keyakinan ini seperti teori abiogenesis, bisa jadi karena sebagian orang merasa "rumit", jika diharuskan memilih sebuah agama sebagai "simbol" dari keyakinan yang dianutnya. Agama adalah sebuah pilihan konsekuensi dari proses memahami Tuhan. Ada ritual dan simbol yang harus diyakini dan dijalankan nilai-nilainya.
Alasan lainnya karena agama menurut mereka hanya rekaan manusia, bukti kongkritnya agama hanya menjadi pemicu pertikaian?. Seperti judul buku yang di tulis Karen Amstrong 'Berperang Demi Tuhan"?. Padahal inti persoalannya ada pada para penganut agama yang dipilihnya bukan pada konsep agamanya.
Agama hari ini, bagi sebagian orang telah menjadi barang "kadaluarsa". Tanpa agama mereka beranggapan masih bisa tetap hidup. Para penganut paham realis, berkeyakinan bahwa realitas lebih penting dari "teori", dogma, dan ritual. Artinya "mereka" tak yakin Tuhan masih dibutuhkan dalam dunia hari ini.
Mereka akan bertanya, dimana Tuhan, ketika dibutuhkan?. Apakah dengan serta merta tuhan datang dan membantunya?. Karena pikiran mereka berkeyakinan, yang tak terlihat dianggap tak ada, yang bisa disentuhlah yang "bisa'' diyakini keberadaannya. Ini artinya kelahiran manusia dan keberadaan bumi laiknya generatio spontanea, ada dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan di dalamnya, sebuah dunia yang diliputi teori generatio spontanea, sebuah dunia yang muncul dengan sendirinya. Sebuah "dunia", dimana Tuhan "mungkin" tak pernah diperlukan.
lagi kepingin nulis aja nggak ada bahan, tapi ini masih menjangkau realitas yang ada. diantara banyak kita yang memilih "beragama", masih ada juga di tempat lain yang berpikir tak perlu ada agama, meskipun di hati kecil mereka tetap berkeyakinan ada "sesuatu" di luar sana yang punya kekuatan yang maha besar, tapi dalam bahasa mereka barangkali juga bukan Tuhan. Bisa jadi tehnologi?
BalasHapusketika orang berimajinasi liar dengan menghadirkan 2012 sebagai sebuah sajian sinema, terasa ada dua pesan yang ingin disampaikan. Pertama, kiamat itu ada, namun dalam batas bencana mahabesar; kedua,kiamat jenis begituan masih bisa dimentahkan dengan tehnologi. Pertanyaan berikutnya, apakah keyakinan itu sebenarnya mewakili keyakinan sebagian orang hari ini yang lebih percaya realitas daripada "Tuhan" yang semu dan abstrak?. Dan film ini mewakili parodi tuhan.
BalasHapus