Thu, Jun 23rd 2011, 08:33
- Opini sserambi indonesia
BUBEE salah satu alat penangkap ikan tradisional orang Aceh yang dibuat dari bambu. Bentuknya lancip ke atas dan kembang ke bawah. Modelnya ada yang dalam bentuk satu jap dengan ukuran agak sedikit lebih pendek daripada bubee dua jap yang ukurannya agak panjang. Disebut dua jap karena bubee ini memiliki dua kurungan (jap) di dalamnya. Sehingga bila orang menggunakan bubee dua jap untuk menangkap ikan, hasilnya bisa lebih banyak dari menggunakan bubee satu jap.
Yang menarik, entah kenapa sebutan bubee dua jap bagi orang Aceh acap kali diumpamakan dengan sifat seseorang tidak baik. Yaitu sifat orang bermuka dua. Sifat orang seperti ini orang Aceh menyebutnya orang yang berperangai lagee bubee dua jap, seureukap muka dua, kenoe pihtoe keudeh pihrap, bandua pat tarek beulanja. Celakanya, sifat orang bubee dua jap ini rela mengorbankan orang lain demi keuntungannya. Tak peduli, apakah yang dikorbankan itu kawan atau lawan. Yang penting ia bisa mendapat keuntungan. Makanya, dalam sifat orang bubee dua jap, menghasut dan menyebar fitnah sudah merupakan profesinya. Mereka pandai sekali memanfaatkan kesempatan dalam segala situasi sosial dan politik.
Apalagi saat-saat menjelang musim pilkada. Ini akan banyak bermunculan orang-orang yang berpolitik sifat bubee dua jap. Mereka biasanya lebih sibuk dari panitia pelaksana pilkada. Dalam situasi tertentu, politisi amatiran bubee dua jap ini bisa tampil seperti tarum kafe (kadal hijau) yang hinggap dari pohon ke pohon. Bila ia singgah di pohon warna coklat, kulit tubuh kadal itu langsung coklat. Bila hinggap di pohon warna hijau, ia pun berobah jadi hijau.
Pada prinsipnya, itulah karakter politik orang bubee dua jap. Bila ia berada dalam kelompok A, tak segan-segan mengatakan sejumlah kekurangan kelompok B. Sebaliknya, bila sedang berada dalam kelompok B tak tanggung-tanggung menceritakan kekurangan dan kelemahan kelompok A. Intinya, dari kedua pihak mereka ingin dapat keuntungan pribadi, meskipun harus mengorbankan orang lain sebagai tumbalnya.
Bahayanya lagi, bila yang dikorban adalah orang-orang profesional, yang tak ada hubungannya dengan politik. Kaum profesional secara pemikiran memang termasuk orang-orang berpengaruh dalam sebuah kondisi sosial, mereka dapat bermitra dengan siapa saja di luar kepentingan politis. Dalam hampir sepanjang sejarah perubahan sosial umat manusia di dunia, memang selalu dimulai oleh gerakan-gerakan kaum profesianal kulturalis, tidak dengan gerakan politis frontalis, yang justru sering menemukan kegagalan dan pertumpahan darah. Gerakan kultural yang dimainkan profesionalis dalam menggerakkan sebuah perubahan sosial adalah gerakan yang sangat indah dan damai. Meskipun dalam situasi tertentu, kaum profesional ini tak jarang menjadi korban--dan dikorbankan--akibat situasi politik bubee dua jap yang dimaikan oleh segolongan politisi amatiran bermuka dua.
Permainan politik bubee dua jap inilah yang mesti harus jeli dibaca oleh siapa pun calon kandidat dalam musim pilkada nanti. Kalau tidak, para kandidat akan terjebak lebih jauh dalam kerugian materi, tenaga, dan pikiran yang sia-sia. Meskipun itu sebuah risiko politik, tapi kehati-hatian dalam melangkah jauh lebih baik daripada bertindak tanpa perhitungan.
Apalagi dalam politik budaya orang Aceh yang terkadang sangat sulit ditebak dan diprediksikan. Ibarat orang mengaris tebu, kon bak ta ariet patah. Ini sudah tentu akan sangat menyakitkan bagi siapa yang mengalaminya. Karena, apa yang diperkirakan akan berjalan mulus, ternyata berbelok dari apa yang diharapkan. Makanya, ada istilah pada orang Aceh, yang dihiem mie, atee dipeuteubiet ka asee.
Karenanya, memahami budaya politik orang Aceh tidak hanya sebatas: tapeukhem dikhem, ditem han. Tapeuanggok dianggok, dijok han. Tapi lebih jauh dari itu, dalam memahami budaya politik orang Aceh, di samping adanya sifat politik bubee dua jap, juga harus dipahami bahwa dalam kebiasaan orang Aceh bila mereka beternak dalam geureupoh itek pasti na manok. Ini artinya, basis-basis wilayah yang sudah diyakini sebagai pendukung kandidat tertentu dalam pilkada belum tentu bisa dijadikan pegangan, bahwa wilayah itu sudah dikuasai sekian persen oleh calon kandidat tertentu.
Sekalipun di wilayah basis itu sudah terjadi kontrak politik antara kandidat dengan basisnya--tak kecuali basis agama, seperti pesantren dan dayah dengan para ulamanya--yang pasti, siapa pun kandidat yang meminta restu dan dukungan dari para ulama ini tak mungkin ditolak. Di sini, kontrak politik yang sebelumnya sudah terjadi antara satu kandidat dengan basis agama ini bisa berubah dengan cepat, mana kala muncul kandidat lain dengan tawaran kontrak politik yang lebih besar dari yang telah ditawarkan kandidat sebelumnya.
Makanya, dalam konteks ini tak ada alasan tidak akan muncul sifat politik bubee dua jap, sekalipun dari basis agama yang dikendalikan oleh ulama. Apalagi dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, di mana lobi-lobi basis pendukung harus dibangun secara langsung oleh para kandidat masing-masing. Dalam hal ini, terutama bagi rakyat lapisan menengah ke bawah cenderung tidak lagi mempersoalkan program apa yang diusung para kandidat dalam membangun Aceh ke depan. Karena visi dan misi itu dianggap hanya sebagai janji-janji yang sudah membosankan.
Yang dilihat masyarakat hari ini adalah seberapa besar tawaran kontrak politik yang bisa mereka manfaatkan dari para kandidat yang bermunculan dalam pesta pilkada ini. Soal siapa kandidat yang mereka dukung itu urusan nanti. Yang penting dalam suasana pesta demokrasi ini mereka harus mendapatkan sesuatu yang lebih enak dari para setiap kandidat yang datang merangkulnya.
Kecenderungan itu tak lepas dari perubahan pola hidup masyarakat Aceh yang sudah sangat konsumtif saat ini. Tak kecuali di perkotaan, di desa pun segala sesuatu sekarang sudah diukur dengan materi. Makanya, bagi siapa pun calon kandidat dalam pilkada nanti tak usah lagi beretorika dengan konsep-konsep pembangunan masa depan yang ditawarkan. Karena itu, dalam perubahan pola hidup masyarakat hari ini, seorang kandidat diharuskan memiliki modal yang tidak tanggung untuk merebut basis-basis pendukungnya yang terkadang basis tersebut juga menganut sistem politik bubee dua jap.
* Nab Bahany As adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh.
Yang menarik, entah kenapa sebutan bubee dua jap bagi orang Aceh acap kali diumpamakan dengan sifat seseorang tidak baik. Yaitu sifat orang bermuka dua. Sifat orang seperti ini orang Aceh menyebutnya orang yang berperangai lagee bubee dua jap, seureukap muka dua, kenoe pihtoe keudeh pihrap, bandua pat tarek beulanja. Celakanya, sifat orang bubee dua jap ini rela mengorbankan orang lain demi keuntungannya. Tak peduli, apakah yang dikorbankan itu kawan atau lawan. Yang penting ia bisa mendapat keuntungan. Makanya, dalam sifat orang bubee dua jap, menghasut dan menyebar fitnah sudah merupakan profesinya. Mereka pandai sekali memanfaatkan kesempatan dalam segala situasi sosial dan politik.
Apalagi saat-saat menjelang musim pilkada. Ini akan banyak bermunculan orang-orang yang berpolitik sifat bubee dua jap. Mereka biasanya lebih sibuk dari panitia pelaksana pilkada. Dalam situasi tertentu, politisi amatiran bubee dua jap ini bisa tampil seperti tarum kafe (kadal hijau) yang hinggap dari pohon ke pohon. Bila ia singgah di pohon warna coklat, kulit tubuh kadal itu langsung coklat. Bila hinggap di pohon warna hijau, ia pun berobah jadi hijau.
Pada prinsipnya, itulah karakter politik orang bubee dua jap. Bila ia berada dalam kelompok A, tak segan-segan mengatakan sejumlah kekurangan kelompok B. Sebaliknya, bila sedang berada dalam kelompok B tak tanggung-tanggung menceritakan kekurangan dan kelemahan kelompok A. Intinya, dari kedua pihak mereka ingin dapat keuntungan pribadi, meskipun harus mengorbankan orang lain sebagai tumbalnya.
Bahayanya lagi, bila yang dikorban adalah orang-orang profesional, yang tak ada hubungannya dengan politik. Kaum profesional secara pemikiran memang termasuk orang-orang berpengaruh dalam sebuah kondisi sosial, mereka dapat bermitra dengan siapa saja di luar kepentingan politis. Dalam hampir sepanjang sejarah perubahan sosial umat manusia di dunia, memang selalu dimulai oleh gerakan-gerakan kaum profesianal kulturalis, tidak dengan gerakan politis frontalis, yang justru sering menemukan kegagalan dan pertumpahan darah. Gerakan kultural yang dimainkan profesionalis dalam menggerakkan sebuah perubahan sosial adalah gerakan yang sangat indah dan damai. Meskipun dalam situasi tertentu, kaum profesional ini tak jarang menjadi korban--dan dikorbankan--akibat situasi politik bubee dua jap yang dimaikan oleh segolongan politisi amatiran bermuka dua.
Permainan politik bubee dua jap inilah yang mesti harus jeli dibaca oleh siapa pun calon kandidat dalam musim pilkada nanti. Kalau tidak, para kandidat akan terjebak lebih jauh dalam kerugian materi, tenaga, dan pikiran yang sia-sia. Meskipun itu sebuah risiko politik, tapi kehati-hatian dalam melangkah jauh lebih baik daripada bertindak tanpa perhitungan.
Apalagi dalam politik budaya orang Aceh yang terkadang sangat sulit ditebak dan diprediksikan. Ibarat orang mengaris tebu, kon bak ta ariet patah. Ini sudah tentu akan sangat menyakitkan bagi siapa yang mengalaminya. Karena, apa yang diperkirakan akan berjalan mulus, ternyata berbelok dari apa yang diharapkan. Makanya, ada istilah pada orang Aceh, yang dihiem mie, atee dipeuteubiet ka asee.
Karenanya, memahami budaya politik orang Aceh tidak hanya sebatas: tapeukhem dikhem, ditem han. Tapeuanggok dianggok, dijok han. Tapi lebih jauh dari itu, dalam memahami budaya politik orang Aceh, di samping adanya sifat politik bubee dua jap, juga harus dipahami bahwa dalam kebiasaan orang Aceh bila mereka beternak dalam geureupoh itek pasti na manok. Ini artinya, basis-basis wilayah yang sudah diyakini sebagai pendukung kandidat tertentu dalam pilkada belum tentu bisa dijadikan pegangan, bahwa wilayah itu sudah dikuasai sekian persen oleh calon kandidat tertentu.
Sekalipun di wilayah basis itu sudah terjadi kontrak politik antara kandidat dengan basisnya--tak kecuali basis agama, seperti pesantren dan dayah dengan para ulamanya--yang pasti, siapa pun kandidat yang meminta restu dan dukungan dari para ulama ini tak mungkin ditolak. Di sini, kontrak politik yang sebelumnya sudah terjadi antara satu kandidat dengan basis agama ini bisa berubah dengan cepat, mana kala muncul kandidat lain dengan tawaran kontrak politik yang lebih besar dari yang telah ditawarkan kandidat sebelumnya.
Makanya, dalam konteks ini tak ada alasan tidak akan muncul sifat politik bubee dua jap, sekalipun dari basis agama yang dikendalikan oleh ulama. Apalagi dalam sistem pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, di mana lobi-lobi basis pendukung harus dibangun secara langsung oleh para kandidat masing-masing. Dalam hal ini, terutama bagi rakyat lapisan menengah ke bawah cenderung tidak lagi mempersoalkan program apa yang diusung para kandidat dalam membangun Aceh ke depan. Karena visi dan misi itu dianggap hanya sebagai janji-janji yang sudah membosankan.
Yang dilihat masyarakat hari ini adalah seberapa besar tawaran kontrak politik yang bisa mereka manfaatkan dari para kandidat yang bermunculan dalam pesta pilkada ini. Soal siapa kandidat yang mereka dukung itu urusan nanti. Yang penting dalam suasana pesta demokrasi ini mereka harus mendapatkan sesuatu yang lebih enak dari para setiap kandidat yang datang merangkulnya.
Kecenderungan itu tak lepas dari perubahan pola hidup masyarakat Aceh yang sudah sangat konsumtif saat ini. Tak kecuali di perkotaan, di desa pun segala sesuatu sekarang sudah diukur dengan materi. Makanya, bagi siapa pun calon kandidat dalam pilkada nanti tak usah lagi beretorika dengan konsep-konsep pembangunan masa depan yang ditawarkan. Karena itu, dalam perubahan pola hidup masyarakat hari ini, seorang kandidat diharuskan memiliki modal yang tidak tanggung untuk merebut basis-basis pendukungnya yang terkadang basis tersebut juga menganut sistem politik bubee dua jap.
* Nab Bahany As adalah budayawan, tinggal di Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar