Thu, May 19th 2011, 08:16
- BEBERAPA waktu lalu melalui media ini kita melihat iklan yang berlembar-lembar banyaknya, mengumumkan lelang pelbagai bentuk program pembangunan Aceh untuk satu tahun berjalan. Ada ribuan item program yang ditawarkan. Kesemuanya secara umum dapat dilihat sebagai bentuk “memproyekkan Aceh”.
Masalah yang timbul adalah, apakah semua bentuk pembangunan itu menyejahterakan? Apakah tidak menerima takdir bahwa hal itu dijalankan berdasarkan logika kontraktor dan administrasi negara? Mengapa semua pembangunan harus berjalan menurut mekanisme ala Pekerjaan Umum (PU)? Bagaimana status pemikiran, orientasi, visi dan misi pembangunan? Dimana posisi representasi rakyat dalam urun-rembuk seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) yang berbilang bulan, jika akhirnya hanya menjadi sesuatu yang bisa diselesaikan oleh konsultan dan perencana pembangunan dalam waktu satu minggu? Di manakah inti pembangunan (soft-development) ketika yang disasar hanya fisik dan bukan manusia?
Masalah Kepemimpinan
Dalam situasi ini akhirnya kita bisa menilai bahwa pembangunan sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan. Keterpilihan duet pemimpin saat ini hampir lima tahun lalu didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka bisa “menembus batas”, kuat di tengah kesulitan, dan bisa memberikan orientasi pembangunan yang bukan hanya proyek. Mungkin kita masih ingat, di antara calon gubernur-wakil gubernur saat Pilkada 2006, Irwandi-Nazar adalah figur yang paling minim pemahaman pragmatis ekonomi dibandingkan calon lainnya. Namun masyakarat memilihnya karena faktor-faktor ekstra.
Masyarakat mengambil risiko memilih tokoh non-ekonomi, meskipun ada nama-nama besar dari gubernur Aceh berlatar ekonomi di masa lalu seperti Madjid Ibrahim dan Ibrahim Hasan Mahmud, yang menjadi model dan harus dilampaui. Risiko diambil karena ada anggapan ekonomi bukan segalanya. Ada kepentingan kemanusiaan dan sosial, seperti masalah identitas dan marwah (dignity), yang sempat hilang di masa konflik dan harus didahulukan. Untuk realisasi itu diperlukan seorang pemimpin dan bukan manejer. Terpilihnya mereka diharapkan menitisi sikap kepemimpinan (leadership) dalam pembangunan secara holistik.
Namun sikap kepemimpinan yang ditunggu itu tidak menyemesta. Mungkin tidak dapat disalahkan Irwandi-Nazar seratus persen. Ada alasan iklim birokrasi lama, logika penganggaran yang sama seperti sebelumnya, para pejabat PNS yang telah lebih menguasai medan anggaran dibandingkan mereka. Namun jika karakter kepemimpinan kuat, mereka bisa merentap linkungan korup ibarat karpet kotor menjadi terbentang, lurus, dan bersih, sehingga roda pembangunan tidak hanya dijalankan sesuai kerangka bisnis.
Juga ada variabel dari munculnya demokrasi lokal yang malah memberikan konsekuensi pada efektivitas pembangunan. Orang pun sekelebat membuat analogi bahwa di masa demokrasi abstain, pembangunan bisa berjalan karena ada gubernur yang lebih berfungsi sebagai manejer. Namun di situasi penuh demokrasi seperti sekarang ini, pembangunan malah tidak semangkus sebelum rezim Pilkada. Demokrasi lokal pun jadi terdakwa.
Mungkin dilema demokrasi lokal tidak dibicarakan panjang lebar di sini. Namun jika saja ada kepemimpinan kuat (strong leadership), beberapa hambatan eksternal dapat ditapis sehingga bertransformasi menjadi aksi kolektif, gerakan sosial, dan kebijakan populis. Kita bisa melihat tokoh-tokoh seperti Fidel Castro, Moammar Khadafy, Ahmadinejad, Hugo Chavez, atau Fernando Lugo (pastor yang terpilih menjadi presiden di Paraguay) yang meskipun situasi berat pada awalnya, bisa memenangkan pertempuran dengan merebut hati rakyat melalui kemajuan, harga diri, dan praksis pembangunan.
Riset sebagai Anak Tiri
Silakan membuka lembaran sejarah tokoh-tokoh yang berhasil membuat pembaruan dan pembedaan dalam sejarah politik. Mereka selalu dikelilingi tim yang damba pada kebaruan. Kebaruan tidak akan diperoleh tanpa pengetahuan dan riset. Tim lingkaran dekat ini (the inner circle), bukan hanya tim sukses, tapi juga tim pikir yang selanjutnya melakukan gerakan-gerakan pengetahuan dan riset melalui pelbagai pola dan metode.
Akhirnya terlihat bahwa kelemahan pembangunan Aceh juga diakibatkan alpanya proses pengetahuan dan riset. Meskipun telah ada mekanisme nasional yang disebut Musrembang (kini malah dikembangkan lagi Musrena/Musyawarah Rencana Aksi Perempuan Aceh ), namun proses ini menjadi mekanisme deliberasi palsu, tidak konkret pada praksis. Padahal dalam mekanisme pembangunan, partisipasi semua pihak melalui public inquiry, riset, survei, dan polling menempati urutan penting.
Tidak ada pembangunan yang berhasil tanpa perencanaan, dan tidak ada perencanaan yang sukses tanpa didukung riset dan instrumen pengetahuan yang dikembangkan secara demokratis. Keberadaan kampus sebagai pusat keunggulan (center of excellency) jarang dijaringkan pada kepentingan pembangunan kebijakan dan regulasi. Paling hanya dipergunakan untuk menjadi alat stempel dan agenda yang sifatnya politis.
Dengan besaran anggaran pembangunan dari APBA plus DAU dan DAK pada 2011 sebesar Rp 7,9 triliun dan digabungkan seluruh anggaran dari lembaga/dinas yang vertikal secara nasional sehingga hampir Rp 15 triliun, proses yang terjadi tahun ini pun bisa berakhir pada takdir anti-pembangunan: tidak menyejahterakan dan membahagiakan. Jikalau saja, dari total anggaran APBA plus itu ditarik satu persen saja untuk kepentingan riset, baik untuk kepentingan akademis atau kepentingan praksis regulasi dan kebijakan (advocacy and policy based-research), kita bisa mengharapkan ada yang lebih sahih dalam pembangunan.
Anggaran riset itu akan tersedia jika para pemangku kebijakan (eksekutif-legislatif) mau mengurangi “status keistimewaannya” (privileged status) melalui pengurangan anggaran operasional, aneka tunjangan-tunjangan mubazir, dana taktis-(politis), dan biaya perjalanan dinas yang kadang besarannya tidak rasional dan manusiawi, kemudian dialihkan untuk kepentingan studi pembangunan, riset, dan public inquiry. Tanpa perlu membentuk lembaga baru, fungsikan saja Bappeda Aceh sebagai think tank resmi pemerintah. Kita tahu itulah alasan historis-filosofis lembaga itu dibentuk oleh tokoh Aceh masa lalu dan kini menjadi kebijakan nasional.
Sehingga kita tak perlu berkesah setiap tahun melihat nasib pembangunan Aceh tidak maju-maju dan hanya bernyanyi, “Macet lagi-macet lagi/Gara-gara kontraktor lewat/Hadirnya oleh kolusi/Pejabat dan Parlementariat. Alamaak!
* Penulis adalah peneliti pada Aceh Institute.
Masalah yang timbul adalah, apakah semua bentuk pembangunan itu menyejahterakan? Apakah tidak menerima takdir bahwa hal itu dijalankan berdasarkan logika kontraktor dan administrasi negara? Mengapa semua pembangunan harus berjalan menurut mekanisme ala Pekerjaan Umum (PU)? Bagaimana status pemikiran, orientasi, visi dan misi pembangunan? Dimana posisi representasi rakyat dalam urun-rembuk seperti Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) yang berbilang bulan, jika akhirnya hanya menjadi sesuatu yang bisa diselesaikan oleh konsultan dan perencana pembangunan dalam waktu satu minggu? Di manakah inti pembangunan (soft-development) ketika yang disasar hanya fisik dan bukan manusia?
Masalah Kepemimpinan
Dalam situasi ini akhirnya kita bisa menilai bahwa pembangunan sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan. Keterpilihan duet pemimpin saat ini hampir lima tahun lalu didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka bisa “menembus batas”, kuat di tengah kesulitan, dan bisa memberikan orientasi pembangunan yang bukan hanya proyek. Mungkin kita masih ingat, di antara calon gubernur-wakil gubernur saat Pilkada 2006, Irwandi-Nazar adalah figur yang paling minim pemahaman pragmatis ekonomi dibandingkan calon lainnya. Namun masyakarat memilihnya karena faktor-faktor ekstra.
Masyarakat mengambil risiko memilih tokoh non-ekonomi, meskipun ada nama-nama besar dari gubernur Aceh berlatar ekonomi di masa lalu seperti Madjid Ibrahim dan Ibrahim Hasan Mahmud, yang menjadi model dan harus dilampaui. Risiko diambil karena ada anggapan ekonomi bukan segalanya. Ada kepentingan kemanusiaan dan sosial, seperti masalah identitas dan marwah (dignity), yang sempat hilang di masa konflik dan harus didahulukan. Untuk realisasi itu diperlukan seorang pemimpin dan bukan manejer. Terpilihnya mereka diharapkan menitisi sikap kepemimpinan (leadership) dalam pembangunan secara holistik.
Namun sikap kepemimpinan yang ditunggu itu tidak menyemesta. Mungkin tidak dapat disalahkan Irwandi-Nazar seratus persen. Ada alasan iklim birokrasi lama, logika penganggaran yang sama seperti sebelumnya, para pejabat PNS yang telah lebih menguasai medan anggaran dibandingkan mereka. Namun jika karakter kepemimpinan kuat, mereka bisa merentap linkungan korup ibarat karpet kotor menjadi terbentang, lurus, dan bersih, sehingga roda pembangunan tidak hanya dijalankan sesuai kerangka bisnis.
Juga ada variabel dari munculnya demokrasi lokal yang malah memberikan konsekuensi pada efektivitas pembangunan. Orang pun sekelebat membuat analogi bahwa di masa demokrasi abstain, pembangunan bisa berjalan karena ada gubernur yang lebih berfungsi sebagai manejer. Namun di situasi penuh demokrasi seperti sekarang ini, pembangunan malah tidak semangkus sebelum rezim Pilkada. Demokrasi lokal pun jadi terdakwa.
Mungkin dilema demokrasi lokal tidak dibicarakan panjang lebar di sini. Namun jika saja ada kepemimpinan kuat (strong leadership), beberapa hambatan eksternal dapat ditapis sehingga bertransformasi menjadi aksi kolektif, gerakan sosial, dan kebijakan populis. Kita bisa melihat tokoh-tokoh seperti Fidel Castro, Moammar Khadafy, Ahmadinejad, Hugo Chavez, atau Fernando Lugo (pastor yang terpilih menjadi presiden di Paraguay) yang meskipun situasi berat pada awalnya, bisa memenangkan pertempuran dengan merebut hati rakyat melalui kemajuan, harga diri, dan praksis pembangunan.
Riset sebagai Anak Tiri
Silakan membuka lembaran sejarah tokoh-tokoh yang berhasil membuat pembaruan dan pembedaan dalam sejarah politik. Mereka selalu dikelilingi tim yang damba pada kebaruan. Kebaruan tidak akan diperoleh tanpa pengetahuan dan riset. Tim lingkaran dekat ini (the inner circle), bukan hanya tim sukses, tapi juga tim pikir yang selanjutnya melakukan gerakan-gerakan pengetahuan dan riset melalui pelbagai pola dan metode.
Akhirnya terlihat bahwa kelemahan pembangunan Aceh juga diakibatkan alpanya proses pengetahuan dan riset. Meskipun telah ada mekanisme nasional yang disebut Musrembang (kini malah dikembangkan lagi Musrena/Musyawarah Rencana Aksi Perempuan Aceh ), namun proses ini menjadi mekanisme deliberasi palsu, tidak konkret pada praksis. Padahal dalam mekanisme pembangunan, partisipasi semua pihak melalui public inquiry, riset, survei, dan polling menempati urutan penting.
Tidak ada pembangunan yang berhasil tanpa perencanaan, dan tidak ada perencanaan yang sukses tanpa didukung riset dan instrumen pengetahuan yang dikembangkan secara demokratis. Keberadaan kampus sebagai pusat keunggulan (center of excellency) jarang dijaringkan pada kepentingan pembangunan kebijakan dan regulasi. Paling hanya dipergunakan untuk menjadi alat stempel dan agenda yang sifatnya politis.
Dengan besaran anggaran pembangunan dari APBA plus DAU dan DAK pada 2011 sebesar Rp 7,9 triliun dan digabungkan seluruh anggaran dari lembaga/dinas yang vertikal secara nasional sehingga hampir Rp 15 triliun, proses yang terjadi tahun ini pun bisa berakhir pada takdir anti-pembangunan: tidak menyejahterakan dan membahagiakan. Jikalau saja, dari total anggaran APBA plus itu ditarik satu persen saja untuk kepentingan riset, baik untuk kepentingan akademis atau kepentingan praksis regulasi dan kebijakan (advocacy and policy based-research), kita bisa mengharapkan ada yang lebih sahih dalam pembangunan.
Anggaran riset itu akan tersedia jika para pemangku kebijakan (eksekutif-legislatif) mau mengurangi “status keistimewaannya” (privileged status) melalui pengurangan anggaran operasional, aneka tunjangan-tunjangan mubazir, dana taktis-(politis), dan biaya perjalanan dinas yang kadang besarannya tidak rasional dan manusiawi, kemudian dialihkan untuk kepentingan studi pembangunan, riset, dan public inquiry. Tanpa perlu membentuk lembaga baru, fungsikan saja Bappeda Aceh sebagai think tank resmi pemerintah. Kita tahu itulah alasan historis-filosofis lembaga itu dibentuk oleh tokoh Aceh masa lalu dan kini menjadi kebijakan nasional.
Sehingga kita tak perlu berkesah setiap tahun melihat nasib pembangunan Aceh tidak maju-maju dan hanya bernyanyi, “Macet lagi-macet lagi/Gara-gara kontraktor lewat/Hadirnya oleh kolusi/Pejabat dan Parlementariat. Alamaak!
* Penulis adalah peneliti pada Aceh Institute.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar