Tue, Jun 14th 2011, 08:15
- Kecenderungan untuk menggunakan mekanisme survei ilmiah untuk mengetahui peta politik ini hampir-hampir menjadi hal wajib. Dua partai nasional di Aceh, Golkar dan Demokrat, memilih untuk menentukan cagub dan cawagub mereka berdasarkan hasil survei. Namun, partai politik lokal pemenang pemilu 2009, Partai Aceh, nampaknya tidak terlalu tertarik dengan metode ini. Mereka memilih menggunakan mekanisme internal untuk menetapkan jago mereka dalam pemilihan gubernur mendatang.
Pertanyaannya, kenapa partai-partai nasional memilih berpatokan pada hasil survei dalam penentuan cagub dan cawagub, sementara Partai Aceh tidak? Analisis berikut barangkali bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Kemenangan besar Partai Aceh dalam pemilu 2009 di Aceh adalah modal utama bagi PA dalam menghadapi pilkada 2011. PA nampaknya percaya bahwa mayoritas pemilih di Aceh masih akan memberi dukungan politik kepada mereka baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Rasa percaya diri ini sangat bisa dimaklumi mengingat karakter pemilih di Aceh yang sukar sekali memindahkan pilihan politik mereka kalau tidak ada sebuah momentum politik yang efeknya sangat mendasar. Perpindahan dukungan politik dalam pemilu dikenal dengan nama electoral volatility.
Berdasarkan sumber data yang bisa kita lacak dalam peta perolehan suara partai-partai politik di Aceh dengan mengambil sampel hasil pemilu 1977, 1982 dan 1987. Ketiga pemilu tersebut menunjukkan bahwa kendati cengkeraman Orde Baru yang menggunakan pola-pola intimidasi mulai menguat sejak pemilu 1977, di Aceh justru pada tahun tersebut PPP masih bisa menang 57.5 persen mengalahkan Golkar yang memperoleh suara 41,0 persen.
Pada pemilu 1982 ketika Orde Baru memaksakan azas tunggal Pancasila dan mulai bertindak lebih keras terhadap aktivis politik, suara PPP di Aceh malah meningkat menjadi 58,9 persen, jauh meninggalkan Golkar yang turun menjadi 36,9 persen.
Momentum electoral volatility justru baru terjadi di Aceh setelah Ibrahim Hasan menjadi gubernur Aceh dan membuat Golkar berhasil memenangkan pemilu 1987 dengan mengalahkan PPP. Golkar untuk pertama kalinya di Aceh berhasil meraih suara mayoritas di atas 50 persen (tepatnya 51,8 persen). Sementara PPP walaupun dikalahkan, tetap mampu meraih suara 41,0 persen.
William Liddle menjelaskan bahwa kemenangan Golkar di Aceh merupakan fenomena electoral volatility sebagai akibat dari meningkatnya pembangunan sosial dan ekonomi di Aceh di bawah kepemimpinan Ibrahim Hasan. Peningkatan pembangunan infrastruktur, jalan dan komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya percepatan pembangunan di Aceh yang selanjutnya membuat dukungan politik kepada Golkar meningkat (lihat King dan Rasjid, dalam Asian Survey 1988).
Analisis lain disampaikan oleh Fakhri Ali yang menyebutkan bahwa perubahan orientasi politik pemilih ini disebabkan oleh perubahan besar di bidang sosial, ekonomi dan budaya karena kepemimpinan Ibrahim Hasan serta sikap para pemilih pemula yang cenderung memberi dukungan kepada partai berkuasa.
Di sisi lain, Dwight King dan Ryas Rasjid (1988) melihat bahwa kemenangan Golkar di tengah-tengah masyarakat yang kukuh tradisi ke-Islamannya merupakan hal yang ganjil. Mereka menilai fenomena kemenangan Golkar merupakan fenomena bersifat sementara karena tiga faktor. Pertama, kharisma Gubernur Ibrahim Hasan yang terpilih tahun 1986. Kedua, kampanye besar-besaran Golkar yang melibatkan seluruh kekuatan birokrasi baik pusat maupun lokal, dan ketiga ancaman dikuranginya alokasi APBD bagi Aceh kalau Golkar sampai kalah.
Perubahan Mendasar
Jelas, bahwa untuk menggerakan perubahan orientasi politik masyarakat di Aceh membutuhkan sebuah event perubahaan yang bersifat mendasar. Kehadiran Gubernur Ibrahim Hasan sejak tahun 1986 jelas menjadi awal bagi perubahan besar di Aceh. Ibrahim Hasan dikenang sebagai gubernur yang membuka isolasi Aceh dengan membangun infrastruktur yang sampai hari ini masih membekas. Inilah yang antara lain menyebabkan terjadinya electoral volatility sejak tahun 1987.
Perubahan mendasar juga terjadi pada pilkada 2006 dan pemilu 2009 di Aceh. Dua hajatan politik itu digelar ditengah transisi politik fundamental tengah berlangsung di Aceh, yaitu tsunami dan perjanjian damai Helsinki yang menyahkan GAM sebagai organisasi politik paling berpengaruh di Aceh. Tidak heran, dalam pilkada 2006, kandidat yang merepresentasikan diri sebagai bagian dari gerakan kemerdekaan di Aceh menang mudah baik level provinsi maupun kabupaten/kota.
Hal yang sama terulang pada pemilu 2009, di mana Partai Aceh meraih 33 kursi mengalahkan Golkar yang sejak 1987 menjadi pemenang pemilu di Aceh. Bahkan, yang lebih ironis nasib PPP yang pernah menjadi partai terbesar di Aceh, dikalahkan oleh kemunculan Partai Aceh hingga menjadi partai kecil di Aceh. Malah di Aceh Utara, yang sebelumnya menjadi basis kuat PPP, partai ini hanya punya satu kursi di DPRK.
Asumsi bahwa di Aceh electoral volatility sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan mendasar ini patut dipertimbangkan oleh partai politik lain yang saat ini tengah giat melakukan survei di tengah masyarakat. Kita ingat bahwa sebuah lembaga survei ternama gagal melakukan prediksi terhadap pilkada 2006 karena mungkin tidak mempertimbangkan bahwa kondisi-kondisi fundamental yang sedang bergerak di tengah masyarakat.
Analisis lain yang bisa digunakan untuk mendukung asumsi ini bahwa karakter pemilih Aceh merupakan pemilih partisanship exclusive atau pemilih eksklusif, bukan pemilih inklusif. Pemilih eksklusif adalah pemilih yang ketika sudah mengidentifikasi dirinya menjadi bagian dari satu partai cenderung akan berpartisipasi dalam pemilu, ikut kampanye dan menjauhkan diri dari partai politik lain. Sementara pemilih inklusif adalah pemilih yang merasa dekat dengan semua partai, terutama yang basis ideologinya punya kesamaan.
Kiranya, tidak mengherankan apabila kita percaya kepada asumsi electoral volatility baru terjadi di Aceh kalau ada sebuah event politik yang memiliki dampak mendasar, maka kita bisa memahami kenapa PA lebih tampak menutup diri dari calon dari luar dan mengabaikan survei sebagaimana partai politik nasional lainnya. Elite PA, tampaknya yakin, tidak mudah bagi rakyat Aceh untuk memindahkan dukungan politik mereka.
* Penulis adalah Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Malikussaleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar