Thu, Jun 9th 2011, 08:13
- MENJELANG pilkada di Aceh, banyak nama-nama bakal calon pemimpin bermunculan. Kini masanya membuat visi dan misi, walaupun seringkali ini bukan faktor utama yang dapat memenangkan Pemilukada. Tapi, paling tidak satu pertanyaan dapat diajukan, apakah mereka yang ingin memimpin Aceh punya pengetahuan dan gagasan kreatif untuk kemajuan Aceh masa depan.
Sadarkah mereka dengan kondisi Aceh dari mana mereka harus bergerak untuk merancang gagasan-gagasan baru demi perbaikan nasib rakyat Aceh? Beban bagi pemimpin Aceh di masa depan sebenarnya penuh tantangan. Jika tidak punya gagasan atau terobosan cemerlang, maka hasilnya adalah rutinitas pergantian kepala daerah, tanpa membawa makna bagi perbaikan kesejahteraan rakyat Aceh.
Adalah penting mengkaji gagasan-gagasan apa yang muncul jika Aceh mempunyai pemimpin baru (atau pemimpin daur ulang). Pikiran-pikiran calon pemimpin barangkali lebih relevan daripada memilih seorang kepala daerah yang selalu menyalahkan pemerintah pusat atas ketidakberhasilan membangun Aceh.
Salah satu kekhususan Aceh dibandingkan daerah lain di Indonesia, adalah adanya tambahan dana bagi hasil migas dan dana otonomi khusus. Sejak tahun 2008 hingga tahun 2010 Aceh telah menerima sekitar Rp 15 triliun tambahan dana bagi hasil migas dan dana otonomi khusus. Rata-rata kedua sumber dana yang bersifat khusus ini mencapai hampir Rp 5 triliun per tahun. Jika indikator-indikator pelayanan publik dan kesejahteraan sosial belum meningkat secara signifikan dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki otonomi khusus, tentu ada sesuatu yang salah dalam manajemen pembangunan daerah di Aceh.
Beberapa indikator statistik menunjukkan Aceh masih tertinggal dari daerah lain. Dengan penduduk sebanyak 4,4 juta orang pada tahun 2010, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh tahun 2008 baru mencapai 70,76. Bandingkan dengan Sumatera Utara (73,29), DKI Jakarta (77,03), atau Indonesia (71,17) (BPS, 2010). Kendati angka ini tidak terlalu buruk, tapi secara relatif IPM Aceh berada pada urutan ke-29 di Indonesia (UNDP, Laporan Pembangunan Manusia Aceh 2010), yang lebih rendah disbanding peringkat ke-19 pada 2002. Memang diakui bahwa selama periode ini Aceh masih mengalami dampak negatif bawaan konflik dan tsunami 2004, tapi penurunan peringkat Aceh terjadi karena provinsi-provinsi lain mengalami kemajuan lebih pesat sehingga walaupun Aceh mengalami booming rekonstruksi dan pembangunan fisik di semua sektor di seluruh pelosok Aceh, tapi ternyata masih tertinggal dalam pembangunan manusia. Padahal pembangunan manusia adalah esensi dari pembangunan seutuhnya.
Di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 Tahun ke atas sudah cukup baik, yakni mencapi 8,6 tahun (bermakna rata-rata penduduk Aceh menikmati pendidikan setara mendekati tamat SMA). Angka ini lebih tinggi daripada angka Indonesia, 7,7. Jika dilihat angka partisipasi sekolah menurut usia, Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk usia 7-12 tahun mencapai 99,07% (Indonesia 97,95 %), untuk usia 13-15 tahun 94,31% (Indonesia 85,47 %), dan untuk usia 16-18 tahun 72,74% (Indonesia 55,16%). Namun demikian, peningkatan dan pemerataan kesempatan bersekolah saja tidak cukup. Perlu strategi yang lebih visioner untuk perbaikan mutu pendidikan di Aceh.
Mutu pendidikan di Aceh masih sering dikeluhkan sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain. Ini berdampak dan tercermin pada tingkat penerimaan lulusan di dunia kerja dan tingkat kelulusan ujian masuk pendidikan tinggi. Angka Melek Huruf Penduduk juga dapat menjadi indikator kesejahteraan sosial masyarakat. Memang dalam hal ini Aceh sudah cukup baik. Angka Melek Huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Aceh mencapai 96,39, lebih baik dari Indonesia 92,58. Tapi masih sedikit lebih rendah daripada Sumatera Utara, 97,15.
Di bidang kesehatan, angka kematian bayi (IMR=Infant Mortality Rate) di Aceh ternyata masih tinggi. IMR Aceh barada pada angka 31,94, yang bermakna bahwa terdapat sebanyak 32 orang bayi meninggal dari setiap 1000 bayi lahir. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata IMR Indonesia yang hanya 26,89 (BPS, 2010). Ini pertanda tingkat kesehatan rakyat Aceh secara umum masih relatif rendah. Pelayanan kesehatan (yang tentu saja tidak hanya sebatas pengobatan) yang menjangkau setiap insan manusia hingga ke pelosok dan untuk semua golongan penduduk, termasuk kesehatan ibu dan anak, bisa menurunkan IMR. Perbaikan kesehatan masyarakat akan meningkatkan peluang atau harapan hidup. Estimasi Angka Harapan Hidup (Life Expectancy Rate) di Aceh tahun 2010 adalah 69,3, artinya rata-rata orang Aceh hidup hingga umur 69 tahun, masih relatif rendah. Bandingkan dengan angka harapan hidup orang Indonesia (70,9).
Kesejahteraan masyarakat juga diindikasikan dengan angka kemiskinan dan pengangguran. Persentase Penduduk Miskin Aceh tahun 2010 adalah 20,98%, suatu angka yang masih relatif tinggi. Bandingkan dengan Sumatera Utara 11,31 % atau Indonesia 13,33%. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada 2010 mencapai 8,60 %, suatu angka yang masih mengkhawatirkan dan lebih tinggi daripada angka pengangguran rata-rata Indonesia, 7,41%. Bahkan lebih tinggi dari Papua (4,08%) dan Papua Barat (7,77%). Ini adalah tantangan besar pemimpin Aceh di masa depan.
Belum lagi kita tinjau begitu banyak indikator lain, mulai dari risiko hidup, misalnya faktor keamanan, hingga kenyamanan hidup (pelayanan pemerintahan dan layanan publik secara lebih luas). Tantangan di hadapan dalam pelayanan publik masih besar. Ambil satu contoh, pelayanan air bersih. Persentase Rumah Tangga dengan sumber air minum bersih yang layak hanya 30,60%, bandingkan dengan Sumatera Utara yang lebih separuh penduduknya (51,04%) sudah terlayani air bersih atau Indonesia secara rata-rata angkanya mencapai 47,71%. Belum lagi layanan sambungan listrik, telpon, dan lain sebagainya.
Untuk para pemimpin Aceh ke depan, kita hanya dapat berpesan agar mereka berpikir sungguh-sungguh untuk masing-masing persoalan sosial, ekonomi, pelayanan publik, dan kesejahteraan rakyat. Diperlukan strategi yang jitu untuk mencari solusi masing-masing persoalan. Bukan program sepotong-sepotong, melainkan program terintegrasi, tepat sasaran, efektif, dan benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sayangnya seringkali urusan kampanye dan permainan politik justru hanya untuk meraih kekuasaan, sementara esensi tujuan dasar berpolitik itu sendiri seringkali tercerabut dari akarnya.
* Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Banda Aceh.
Sadarkah mereka dengan kondisi Aceh dari mana mereka harus bergerak untuk merancang gagasan-gagasan baru demi perbaikan nasib rakyat Aceh? Beban bagi pemimpin Aceh di masa depan sebenarnya penuh tantangan. Jika tidak punya gagasan atau terobosan cemerlang, maka hasilnya adalah rutinitas pergantian kepala daerah, tanpa membawa makna bagi perbaikan kesejahteraan rakyat Aceh.
Adalah penting mengkaji gagasan-gagasan apa yang muncul jika Aceh mempunyai pemimpin baru (atau pemimpin daur ulang). Pikiran-pikiran calon pemimpin barangkali lebih relevan daripada memilih seorang kepala daerah yang selalu menyalahkan pemerintah pusat atas ketidakberhasilan membangun Aceh.
Salah satu kekhususan Aceh dibandingkan daerah lain di Indonesia, adalah adanya tambahan dana bagi hasil migas dan dana otonomi khusus. Sejak tahun 2008 hingga tahun 2010 Aceh telah menerima sekitar Rp 15 triliun tambahan dana bagi hasil migas dan dana otonomi khusus. Rata-rata kedua sumber dana yang bersifat khusus ini mencapai hampir Rp 5 triliun per tahun. Jika indikator-indikator pelayanan publik dan kesejahteraan sosial belum meningkat secara signifikan dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki otonomi khusus, tentu ada sesuatu yang salah dalam manajemen pembangunan daerah di Aceh.
Beberapa indikator statistik menunjukkan Aceh masih tertinggal dari daerah lain. Dengan penduduk sebanyak 4,4 juta orang pada tahun 2010, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Aceh tahun 2008 baru mencapai 70,76. Bandingkan dengan Sumatera Utara (73,29), DKI Jakarta (77,03), atau Indonesia (71,17) (BPS, 2010). Kendati angka ini tidak terlalu buruk, tapi secara relatif IPM Aceh berada pada urutan ke-29 di Indonesia (UNDP, Laporan Pembangunan Manusia Aceh 2010), yang lebih rendah disbanding peringkat ke-19 pada 2002. Memang diakui bahwa selama periode ini Aceh masih mengalami dampak negatif bawaan konflik dan tsunami 2004, tapi penurunan peringkat Aceh terjadi karena provinsi-provinsi lain mengalami kemajuan lebih pesat sehingga walaupun Aceh mengalami booming rekonstruksi dan pembangunan fisik di semua sektor di seluruh pelosok Aceh, tapi ternyata masih tertinggal dalam pembangunan manusia. Padahal pembangunan manusia adalah esensi dari pembangunan seutuhnya.
Di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 Tahun ke atas sudah cukup baik, yakni mencapi 8,6 tahun (bermakna rata-rata penduduk Aceh menikmati pendidikan setara mendekati tamat SMA). Angka ini lebih tinggi daripada angka Indonesia, 7,7. Jika dilihat angka partisipasi sekolah menurut usia, Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk usia 7-12 tahun mencapai 99,07% (Indonesia 97,95 %), untuk usia 13-15 tahun 94,31% (Indonesia 85,47 %), dan untuk usia 16-18 tahun 72,74% (Indonesia 55,16%). Namun demikian, peningkatan dan pemerataan kesempatan bersekolah saja tidak cukup. Perlu strategi yang lebih visioner untuk perbaikan mutu pendidikan di Aceh.
Mutu pendidikan di Aceh masih sering dikeluhkan sangat rendah dibandingkan dengan daerah lain. Ini berdampak dan tercermin pada tingkat penerimaan lulusan di dunia kerja dan tingkat kelulusan ujian masuk pendidikan tinggi. Angka Melek Huruf Penduduk juga dapat menjadi indikator kesejahteraan sosial masyarakat. Memang dalam hal ini Aceh sudah cukup baik. Angka Melek Huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Aceh mencapai 96,39, lebih baik dari Indonesia 92,58. Tapi masih sedikit lebih rendah daripada Sumatera Utara, 97,15.
Di bidang kesehatan, angka kematian bayi (IMR=Infant Mortality Rate) di Aceh ternyata masih tinggi. IMR Aceh barada pada angka 31,94, yang bermakna bahwa terdapat sebanyak 32 orang bayi meninggal dari setiap 1000 bayi lahir. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata IMR Indonesia yang hanya 26,89 (BPS, 2010). Ini pertanda tingkat kesehatan rakyat Aceh secara umum masih relatif rendah. Pelayanan kesehatan (yang tentu saja tidak hanya sebatas pengobatan) yang menjangkau setiap insan manusia hingga ke pelosok dan untuk semua golongan penduduk, termasuk kesehatan ibu dan anak, bisa menurunkan IMR. Perbaikan kesehatan masyarakat akan meningkatkan peluang atau harapan hidup. Estimasi Angka Harapan Hidup (Life Expectancy Rate) di Aceh tahun 2010 adalah 69,3, artinya rata-rata orang Aceh hidup hingga umur 69 tahun, masih relatif rendah. Bandingkan dengan angka harapan hidup orang Indonesia (70,9).
Kesejahteraan masyarakat juga diindikasikan dengan angka kemiskinan dan pengangguran. Persentase Penduduk Miskin Aceh tahun 2010 adalah 20,98%, suatu angka yang masih relatif tinggi. Bandingkan dengan Sumatera Utara 11,31 % atau Indonesia 13,33%. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada 2010 mencapai 8,60 %, suatu angka yang masih mengkhawatirkan dan lebih tinggi daripada angka pengangguran rata-rata Indonesia, 7,41%. Bahkan lebih tinggi dari Papua (4,08%) dan Papua Barat (7,77%). Ini adalah tantangan besar pemimpin Aceh di masa depan.
Belum lagi kita tinjau begitu banyak indikator lain, mulai dari risiko hidup, misalnya faktor keamanan, hingga kenyamanan hidup (pelayanan pemerintahan dan layanan publik secara lebih luas). Tantangan di hadapan dalam pelayanan publik masih besar. Ambil satu contoh, pelayanan air bersih. Persentase Rumah Tangga dengan sumber air minum bersih yang layak hanya 30,60%, bandingkan dengan Sumatera Utara yang lebih separuh penduduknya (51,04%) sudah terlayani air bersih atau Indonesia secara rata-rata angkanya mencapai 47,71%. Belum lagi layanan sambungan listrik, telpon, dan lain sebagainya.
Untuk para pemimpin Aceh ke depan, kita hanya dapat berpesan agar mereka berpikir sungguh-sungguh untuk masing-masing persoalan sosial, ekonomi, pelayanan publik, dan kesejahteraan rakyat. Diperlukan strategi yang jitu untuk mencari solusi masing-masing persoalan. Bukan program sepotong-sepotong, melainkan program terintegrasi, tepat sasaran, efektif, dan benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sayangnya seringkali urusan kampanye dan permainan politik justru hanya untuk meraih kekuasaan, sementara esensi tujuan dasar berpolitik itu sendiri seringkali tercerabut dari akarnya.
* Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah, Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar