Sun, Feb 20th 2011, 08:07
Apresiasi
Celoteh Institut Kesenian Aceh
- Siapa yang tidak berbangga dengan pendidikan di daerahnya? Saya kira pertanyaan pembuka warkah ini retoris sekali. Apalagi, pendidikan yang dapat menjamin masa depan anak-anak daerah, mana ada yang tidak bangga, sekalipun ia bukan pejabat pemerintahan.
Demikianlah saya, turut berbangga dan berbesar hati pula ketika mendengar wacana akan dibangun sebuah perguruan tinggi seni di Aceh. Perguruan tinggi bernama Institut Kesenian Aceh (IKA) ini seakan menjadi angin segar bagi rakyat Aceh. Jika mimpi ini kesampaian, ini satu-satunya perguruan tinggi kejuruan seni yang pertama di Aceh. Selama ini, jurusan kesenian hanya numpang di FKIP.
Kebanggaan semakin tinggi ketika diundang terlibat dalam seminar sehari soal IKA yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, 29 Januari 2011. Kendati melihat peserta yang hadir di Hotel Madinah itu hanya segelintir orang sehingga membuka asumsi bagi saya agaknya seminar itu ditutup rapat, saya coba tetap berpikir positif. Namun, selaku penikmat seni dan sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Keguruan hingga Magister Pendidikan, rasanya miris menyaksikan IKA yang terkesan menjadi lahan proyek.
Seperti diketahui, wacana IKA sudah bergulir sejak beberapa tahun lalu. Kongres Kesenian Aceh telah merekomendasikan bahwa Aceh butuh perguruan tinggi seni. Perguruan tinggi tersebut kemudian dipilih dalam bentuk institut sehingga namanya menjadi IKA. Pemerintah Aceh selanjutnya memberikan mandat kepada Disbudpar menangani masalah ini. Tim panitia pembentukan IKA pun dibentuk dengan struktur tertinggi berada di tangan gubernur.
Berawal dari sini, hiruk pikuk para elite dimulai. SK kepanitiaan belum turun, namun sudah ada yang mengaku melakukan studi banding ke beberapa perguruan tinggi seni di Jawa dan Sumatera Barat. Anehnya, orang tersebut mendapatkan biaya ganti perjalanan yang dianggap sebagai bagian dari biaya operasional.
Entah karena itu, akhirnya soal IKA ini sempat vakum hingga setahun. Padahal, dana untuk ini sudah dianggarkan hingga Rp 4 miliar. Ironis, anggaran sebesar itu bulat. Padahal, ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi sehingga dananya mesti ditegaskan berada dan kemana saja akan mengalir. Tahapan-tahapan itu sederhananya dimulai dari tahap perencanaan yang di dalamnya termasuk uji kelayakan semisal kelayakan lokasi dan kebutuhan; tahap proses yang di dalamnya tercakup soal kebutuhan pendirian bangunan; dan tahap persiapan yang di dalamnya bicara soal kurikulum, pengelolaan, tenaga pengajar, serta calon mahasiswa.
Jika anggaran Rp 4 miliar itu tidak segera dipilah sesuai kebutuhan, peluang mark-up sangat terbuka luas sekaligus berpotensi gagalnya IKA. Ini pun bilamana benar bahwa dananya Rp 4 M, karena sampai saat ini belum ada transparansi.
Saya kira kepanitiaan yang dibentuk ketika itu adalah orang-orang yang siap dan paham soal pendirian IKA, meskipun sudah menjadi rahasia umum 80 persen dari kepanitiaan tersebut sama sekali tidak berlatar belakang pendidikan seni maupun seniman profesional. Ternyata, begitu IKA ini ditenderkan kepada pihak luar, yaitu mereka dari Institut Teknologi Bandung (ITB), semua persoalan seolah menjadi tanggung jawab ITB.
Banyak pihak yang tidak meragukan kemampuan ITB dalam mendirikan sebuah perguruan tinggi seni, karena mereka memiliki Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) sekaligus ahli teknologi bangunan. Akan tetapi, keinginan teman-teman seniman Aceh agar melibatkan yang memang benar-benar fokus terhadap kesenian semisal Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kiranya perlu disahuti, kecuali Pemerintah Aceh punya alibi kuat hanya memilih FSRD ITB.
Namun, disayangkan sampai saat ini belum tercerahkan mengenai pengelolaan, pimpinan, tenaga pengajar, mahasiswa, dan kurikulum untuk IKA. Seminar pemaparan uji kelayakan IKA oleh FSRD dan Disbudpar tempo hari sama sekali tidak membahas tentang ini. Seminar yang seharusnya dilaksanakan sehari itu, tetapi dijadikan 3 jam, tak lebih sekadar pemaksaan pelegalan. Yang didudukkan di depan hanya tim dari ITB, sedangkan kepanitiaan yang sudah dibentuk oleh Pemerintah Aceh tidak ada. Pihak Disbudbar sebagai penanggung jawab juga tidak berkenan berada di depan. Sekadar pertanyaan, untuk apa juga ada panitia IKA dari Pemerintah Aceh jika semuanya diserah-bulatkan kepada ITB? Bukankah ada kesan lempar batu di belakang hari?
Soal lokasi
Hasil pemaparan pihak FSRD ITB menyebutkan bahwa lokasi IKA yang direncanakan belum menjamin sepenuhnya. Hal ini berkaitan dengan sumber listrik, ditambah lagi Gunung Burni Telong yang berada di belakang lokasi pendirian IKA, sedang aktif. Namun, pemaparan seminar kemarin mengesankan tempat tidak bisa dipikir-ulang kembali. Harus tetap di sana!
Lucunya lagi, seminar tersebut tidak lebih dari pemaparan uji kelayakan yang seharusnya hal itu menjadi pekerjaan kepanitiaan dari Pemerintah Aceh. Jika kepanitiaan dari pemerintah sudah menyerahkan keseluruhannya kepada pihak ITB, bukankah panitia pemerintah lebih baik dibubarkan saja? Hal ini menyangkut dana. Apalagi, kebutuhan anggaran pembangunan fisik IKA, menurut pihak ITB mencapai Rp 82 M lebih: tahap pertama Rp 40,4 M, tahap kedua Rp 42,4 M.
Mengamati fenomena ini, saya bersaran kepada semua pihak untuk tidak perlu berceloteh hingga cet langet mendirikan IKA, jika semata menjadi lahan proyek. Pendidikan tidak boleh dijadikan proyek. Jika dipaksa, tunggulah hasilnya yang tidak lebih dari sekadar mimpi.
* Penulis alumni Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (MPBSI) Unsyiah
Demikianlah saya, turut berbangga dan berbesar hati pula ketika mendengar wacana akan dibangun sebuah perguruan tinggi seni di Aceh. Perguruan tinggi bernama Institut Kesenian Aceh (IKA) ini seakan menjadi angin segar bagi rakyat Aceh. Jika mimpi ini kesampaian, ini satu-satunya perguruan tinggi kejuruan seni yang pertama di Aceh. Selama ini, jurusan kesenian hanya numpang di FKIP.
Kebanggaan semakin tinggi ketika diundang terlibat dalam seminar sehari soal IKA yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, 29 Januari 2011. Kendati melihat peserta yang hadir di Hotel Madinah itu hanya segelintir orang sehingga membuka asumsi bagi saya agaknya seminar itu ditutup rapat, saya coba tetap berpikir positif. Namun, selaku penikmat seni dan sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Keguruan hingga Magister Pendidikan, rasanya miris menyaksikan IKA yang terkesan menjadi lahan proyek.
Seperti diketahui, wacana IKA sudah bergulir sejak beberapa tahun lalu. Kongres Kesenian Aceh telah merekomendasikan bahwa Aceh butuh perguruan tinggi seni. Perguruan tinggi tersebut kemudian dipilih dalam bentuk institut sehingga namanya menjadi IKA. Pemerintah Aceh selanjutnya memberikan mandat kepada Disbudpar menangani masalah ini. Tim panitia pembentukan IKA pun dibentuk dengan struktur tertinggi berada di tangan gubernur.
Berawal dari sini, hiruk pikuk para elite dimulai. SK kepanitiaan belum turun, namun sudah ada yang mengaku melakukan studi banding ke beberapa perguruan tinggi seni di Jawa dan Sumatera Barat. Anehnya, orang tersebut mendapatkan biaya ganti perjalanan yang dianggap sebagai bagian dari biaya operasional.
Entah karena itu, akhirnya soal IKA ini sempat vakum hingga setahun. Padahal, dana untuk ini sudah dianggarkan hingga Rp 4 miliar. Ironis, anggaran sebesar itu bulat. Padahal, ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi sehingga dananya mesti ditegaskan berada dan kemana saja akan mengalir. Tahapan-tahapan itu sederhananya dimulai dari tahap perencanaan yang di dalamnya termasuk uji kelayakan semisal kelayakan lokasi dan kebutuhan; tahap proses yang di dalamnya tercakup soal kebutuhan pendirian bangunan; dan tahap persiapan yang di dalamnya bicara soal kurikulum, pengelolaan, tenaga pengajar, serta calon mahasiswa.
Jika anggaran Rp 4 miliar itu tidak segera dipilah sesuai kebutuhan, peluang mark-up sangat terbuka luas sekaligus berpotensi gagalnya IKA. Ini pun bilamana benar bahwa dananya Rp 4 M, karena sampai saat ini belum ada transparansi.
Saya kira kepanitiaan yang dibentuk ketika itu adalah orang-orang yang siap dan paham soal pendirian IKA, meskipun sudah menjadi rahasia umum 80 persen dari kepanitiaan tersebut sama sekali tidak berlatar belakang pendidikan seni maupun seniman profesional. Ternyata, begitu IKA ini ditenderkan kepada pihak luar, yaitu mereka dari Institut Teknologi Bandung (ITB), semua persoalan seolah menjadi tanggung jawab ITB.
Banyak pihak yang tidak meragukan kemampuan ITB dalam mendirikan sebuah perguruan tinggi seni, karena mereka memiliki Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) sekaligus ahli teknologi bangunan. Akan tetapi, keinginan teman-teman seniman Aceh agar melibatkan yang memang benar-benar fokus terhadap kesenian semisal Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kiranya perlu disahuti, kecuali Pemerintah Aceh punya alibi kuat hanya memilih FSRD ITB.
Namun, disayangkan sampai saat ini belum tercerahkan mengenai pengelolaan, pimpinan, tenaga pengajar, mahasiswa, dan kurikulum untuk IKA. Seminar pemaparan uji kelayakan IKA oleh FSRD dan Disbudpar tempo hari sama sekali tidak membahas tentang ini. Seminar yang seharusnya dilaksanakan sehari itu, tetapi dijadikan 3 jam, tak lebih sekadar pemaksaan pelegalan. Yang didudukkan di depan hanya tim dari ITB, sedangkan kepanitiaan yang sudah dibentuk oleh Pemerintah Aceh tidak ada. Pihak Disbudbar sebagai penanggung jawab juga tidak berkenan berada di depan. Sekadar pertanyaan, untuk apa juga ada panitia IKA dari Pemerintah Aceh jika semuanya diserah-bulatkan kepada ITB? Bukankah ada kesan lempar batu di belakang hari?
Soal lokasi
Hasil pemaparan pihak FSRD ITB menyebutkan bahwa lokasi IKA yang direncanakan belum menjamin sepenuhnya. Hal ini berkaitan dengan sumber listrik, ditambah lagi Gunung Burni Telong yang berada di belakang lokasi pendirian IKA, sedang aktif. Namun, pemaparan seminar kemarin mengesankan tempat tidak bisa dipikir-ulang kembali. Harus tetap di sana!
Lucunya lagi, seminar tersebut tidak lebih dari pemaparan uji kelayakan yang seharusnya hal itu menjadi pekerjaan kepanitiaan dari Pemerintah Aceh. Jika kepanitiaan dari pemerintah sudah menyerahkan keseluruhannya kepada pihak ITB, bukankah panitia pemerintah lebih baik dibubarkan saja? Hal ini menyangkut dana. Apalagi, kebutuhan anggaran pembangunan fisik IKA, menurut pihak ITB mencapai Rp 82 M lebih: tahap pertama Rp 40,4 M, tahap kedua Rp 42,4 M.
Mengamati fenomena ini, saya bersaran kepada semua pihak untuk tidak perlu berceloteh hingga cet langet mendirikan IKA, jika semata menjadi lahan proyek. Pendidikan tidak boleh dijadikan proyek. Jika dipaksa, tunggulah hasilnya yang tidak lebih dari sekadar mimpi.
* Penulis alumni Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (MPBSI) Unsyiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar