Sun, May 30th 2010, 08:36
Tari Komunal Saman
- MANAJEMENT seni di Aceh hingga kini masih dikotomis, berkutat pada hal praktis berupa festival, pameran dan memamer karya seni. Namun belum mengkorelasi dalam kehidupan seni komunal. Bangunan berpikir masih dalam konsepsi. Seni sebagai bentuk fragmentasi, terputus tanpa merelasikannya dengan “politik kebudayaan”.
Sejatinya manajement seni dijadikan sebagai bagian integral dalam sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya. Sebab akan berpengaruh bagi segala prilaku, cara pikir dan bertindak. Gilirannya menjadi satu komponen pengontrol lembaga-lembaga sosial dalam sistem sosio kultur masyarakat. Ini seharusnya diusung sejalan dengan penyelesaian segala problematik sosio-kultur masyarakat Aceh saat ini.
Seni komunal (baca: seni pertunjukan) secara gamblang membeberkan dan mengisyaratkan suatu symbol baik dalam tataran konsep maupun praktis akan mengubah paradigma masyarakat. Sebut saja seni Saman dari Gayo, yang man telah menjadi milik kesenian nasional Indonesia, dapat dimaknai suatu konsepsi politik kebudayaan secara luas. Ini dapat diinterpretasi dan direduksi dalam proses aktivitas estetik terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kata-kata kunci tersebut merupakan jalinan yang bersifat hierarki, lenier dan sinergi bersamaan dengan aktivitas estetik masyarakat Aceh.
Tari saman dalam merupakan realitas sosio kultur masyarakat Aceh secara umum dalam konteks politik kebudayaan, bersifat komunal dan universal. Sementara itu aktivitas politik kebudayaan merupakan realitas kultural yang dapat diartikan sebagai suatu konsep filsafat, metodelogi, prosedur dan nilai normatif yang memiliki posisi tawar bagi lembaga-lembaga pemerintahan negara. Konsep manajement seni dalam perspektif politik kebudayaan, merupakan aktivitas cultural lintas-sektor sekaligus struktural, bermakna multi-etnik sampai pada makna interkultural.
Tari tradisi komunal saman menjadi suatu konsepsi politik kebudayaan, jika ditilik dari konstruksi komposisi yang dapat diindrakan. Konstruksi elemen-elemen tekstual (koreografi) dalam tari saman berfungsi sebagai media efektif dan memiliki posisi tawar “sexi” ketika dimaknai secara fungsional genetik. Struktur penyajian (komposisi) tari saman memiliki suatu konsep sistem politik.
Satu sistem politik kepemimpinan ibarat ”Syech”. Ia dianggap dan diharap dapat memahami segala lapisan audien (penonton), sekaligus seluk beluk Saman itu sendiri (nilai logika, nilai filosofi dan nilai normatif/ etik. Seorang Syech diangkat secara aklamasi jika memenuhi syarat (pengalaman estetik dan kesadaran budaya). Syech selalu mematuhi segala prosedur, peraturan yang diamanahkan dan benar-benar dapat menjalankan seluruh ”program” sesuai kesepakatan dan keputusan seluruh anggota (para pemain/ penari). Apabila penyajian tari sedang berjalan, apapun yang terjadi keputusan sepenuhnya diatur langsung sebagai garis komando teratas. Syech harus memiliki kemampuan berimprovisasi tetapi harus realistik, rasional dan terukur, loyalitas, disiplin serta memiliki tanggung jawab pada seluruh para pemain. Syech harus memiliki strategi pengolahan kelompok agar tetap solid dan sukses sampai akhir pertunjukan.
Pola lantai atau desaint ruang dalam dua garis memiliki makna politik keseimbangan dan keselarasan. Makna yang terkait dengan politik kebudayaan adalah dua pola paradoks dalam mencapai suatu nilai sakralitas – transendental, keselarasan serta keseimbangan. Nilai demokrasi dalam konteks kesadaran penuh, menghargai akan eksistensi yang lain. (kosmologi dan metakosmologi) – ”mutlak dan fana”. Pola dua dalam masyarakat Aceh terkait dengan politik kebudayaan lebih menekankan pada peran (kekuasaan) dalam struktur organisasi yang berimbang dan partisipan.
Aneuk Cahi, memiliki fungsi monitoring dari proses pelaksanaan program (nilai logika, filosofis dan nilai normative (etika). Sementara elemen gerak ’rampak dan seragam’ adalah suatu nilai tranparansi, konsisten dan memiliki persamaan ideologi maupun visi dan misi (struktur lembaga). Gerak selang seling memiliki makna keseriusan totalitas dan proses dinamisasi keberlanjutan (tidak absolut dan abadi) selalu berkembang serta memiliki kesadaran untuk selalu beradaptasi pada kondisi ruang dan waktu, berdasarkan kesepakatan (nilai demokratis).
Artinya bahwa politik kebudayaan merupakan konsep histeriografi – kontinuitas dari setiap pergantian struktur organisasi (ketua dan anggota), dengan tujuan agar kepentingan lembaga dan konflik kepentingan personal dapat berjalan sesuai koridor (prosedur/ mekanisme aturan) dalam kontekstual. Itu sebabnya dulu, masyarakat Aceh dalam melakukan segala aktivitas estetik erat hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga agama, pendidikan, adat dan politik. Artinya, bagaimana manajemen seni komunal harus mampu menjadi tranformasi politik kebudayaan secara komunal dan personal dalam sistem pelembagaan.
* Penulis adalah Koreografer Aceh, mahasiswa Pascasarjana ISI Surakarta.
Sejatinya manajement seni dijadikan sebagai bagian integral dalam sistem politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan lainnya. Sebab akan berpengaruh bagi segala prilaku, cara pikir dan bertindak. Gilirannya menjadi satu komponen pengontrol lembaga-lembaga sosial dalam sistem sosio kultur masyarakat. Ini seharusnya diusung sejalan dengan penyelesaian segala problematik sosio-kultur masyarakat Aceh saat ini.
Seni komunal (baca: seni pertunjukan) secara gamblang membeberkan dan mengisyaratkan suatu symbol baik dalam tataran konsep maupun praktis akan mengubah paradigma masyarakat. Sebut saja seni Saman dari Gayo, yang man telah menjadi milik kesenian nasional Indonesia, dapat dimaknai suatu konsepsi politik kebudayaan secara luas. Ini dapat diinterpretasi dan direduksi dalam proses aktivitas estetik terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kata-kata kunci tersebut merupakan jalinan yang bersifat hierarki, lenier dan sinergi bersamaan dengan aktivitas estetik masyarakat Aceh.
Tari saman dalam merupakan realitas sosio kultur masyarakat Aceh secara umum dalam konteks politik kebudayaan, bersifat komunal dan universal. Sementara itu aktivitas politik kebudayaan merupakan realitas kultural yang dapat diartikan sebagai suatu konsep filsafat, metodelogi, prosedur dan nilai normatif yang memiliki posisi tawar bagi lembaga-lembaga pemerintahan negara. Konsep manajement seni dalam perspektif politik kebudayaan, merupakan aktivitas cultural lintas-sektor sekaligus struktural, bermakna multi-etnik sampai pada makna interkultural.
Tari tradisi komunal saman menjadi suatu konsepsi politik kebudayaan, jika ditilik dari konstruksi komposisi yang dapat diindrakan. Konstruksi elemen-elemen tekstual (koreografi) dalam tari saman berfungsi sebagai media efektif dan memiliki posisi tawar “sexi” ketika dimaknai secara fungsional genetik. Struktur penyajian (komposisi) tari saman memiliki suatu konsep sistem politik.
Satu sistem politik kepemimpinan ibarat ”Syech”. Ia dianggap dan diharap dapat memahami segala lapisan audien (penonton), sekaligus seluk beluk Saman itu sendiri (nilai logika, nilai filosofi dan nilai normatif/ etik. Seorang Syech diangkat secara aklamasi jika memenuhi syarat (pengalaman estetik dan kesadaran budaya). Syech selalu mematuhi segala prosedur, peraturan yang diamanahkan dan benar-benar dapat menjalankan seluruh ”program” sesuai kesepakatan dan keputusan seluruh anggota (para pemain/ penari). Apabila penyajian tari sedang berjalan, apapun yang terjadi keputusan sepenuhnya diatur langsung sebagai garis komando teratas. Syech harus memiliki kemampuan berimprovisasi tetapi harus realistik, rasional dan terukur, loyalitas, disiplin serta memiliki tanggung jawab pada seluruh para pemain. Syech harus memiliki strategi pengolahan kelompok agar tetap solid dan sukses sampai akhir pertunjukan.
Pola lantai atau desaint ruang dalam dua garis memiliki makna politik keseimbangan dan keselarasan. Makna yang terkait dengan politik kebudayaan adalah dua pola paradoks dalam mencapai suatu nilai sakralitas – transendental, keselarasan serta keseimbangan. Nilai demokrasi dalam konteks kesadaran penuh, menghargai akan eksistensi yang lain. (kosmologi dan metakosmologi) – ”mutlak dan fana”. Pola dua dalam masyarakat Aceh terkait dengan politik kebudayaan lebih menekankan pada peran (kekuasaan) dalam struktur organisasi yang berimbang dan partisipan.
Aneuk Cahi, memiliki fungsi monitoring dari proses pelaksanaan program (nilai logika, filosofis dan nilai normative (etika). Sementara elemen gerak ’rampak dan seragam’ adalah suatu nilai tranparansi, konsisten dan memiliki persamaan ideologi maupun visi dan misi (struktur lembaga). Gerak selang seling memiliki makna keseriusan totalitas dan proses dinamisasi keberlanjutan (tidak absolut dan abadi) selalu berkembang serta memiliki kesadaran untuk selalu beradaptasi pada kondisi ruang dan waktu, berdasarkan kesepakatan (nilai demokratis).
Artinya bahwa politik kebudayaan merupakan konsep histeriografi – kontinuitas dari setiap pergantian struktur organisasi (ketua dan anggota), dengan tujuan agar kepentingan lembaga dan konflik kepentingan personal dapat berjalan sesuai koridor (prosedur/ mekanisme aturan) dalam kontekstual. Itu sebabnya dulu, masyarakat Aceh dalam melakukan segala aktivitas estetik erat hubungannya dengan lembaga-lembaga sosial, seperti lembaga agama, pendidikan, adat dan politik. Artinya, bagaimana manajemen seni komunal harus mampu menjadi tranformasi politik kebudayaan secara komunal dan personal dalam sistem pelembagaan.
* Penulis adalah Koreografer Aceh, mahasiswa Pascasarjana ISI Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar