Oleh Aminullah Usman SE, Ak. MM, Wali Kota Banda Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/11/05/aceh-diusulkan-milikii-qanun-antirentenir?page=all
Hal tersebut tertulis dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Aceh tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Pada pasal 5 disebutkan bahwa Untuk mewujudkan Keistimewaan Aceh di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di daerah, berkewajiban menjunjung tinggi pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupannya. Hal tersebut meliputi akidah, ibadah, akhlak, jinayah, pendidikan, hingga muamalah.
Meski demikian, nyatanya belum semua sisi kehidupan di Aceh diatur oleh qanun, salah satunya praktik riba dan rentenir. Padahal rentenir adalah masalah besar yang harus menjadi perhatian karena bisa menghambat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa masyarakat yang membutuhkan dana cepat terutama sebagai modal usaha menjadikan rentenir sebagai salah satu alternatif . Padahal, justeru hal ini bisa menjadikannya sebagai mangsa bagi para ‘penghisap darah’ untuk terus berurusan dengan bunga (riba) yang tak kunjung selesai dengan sistem penagih menggunakan debt collector.
Menjamurnya para rentenir di Aceh dikarenakan masih banyaknya ketergantungan masyarakat terhadap jasa pinjaman tanpa syarat yang ditawarkan. Kurangnya lembaga keuangan mikro berbasis syariah yang memudahkan masyarakat mendapatkan modal usaha serta sanksi apapun yang diberikan kepada para rentenir tersebut berupa peraturan daerah seperti qanun.
Padahal, dalam surah Ali Imran ayat 130 sudah dijelaskan bahwa riba itu merupakan transaksi yang diharamkan, baik si pemberi maupun si penerima. Sama halnya dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim: “Rasulullah SAW melaknat pemakan riba rentenir, penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi tiba. Kata Beliau, ’Semuanya sama dalam dosa,”.
Pengertian Rentenir
Secara harfiah, rentenir berasal dari kata ‘Rente’ yang berarti bunga atau riba dan ‘nir’ menjelaskan subjek atau orang. Jadi rentenir bermakna orang yang memungut bunga atau riba. (Baca: Ala Aminullah Perangi Rentenir).
Dalam praktiknya sendiri, para rentenir akan mendatangi orang miskin atau berpenghasilan rendah dan menawarkan pinjaman tanpa jaminan sama sekali. Inilah yang menjadikan masyarakat biasanya langsung tergiur melakukan pinjaman.
Padahal biasanya bunga yang ditawarkan antara 10-20 persen setiap pinjaman untuk jangka waktu 15-30 hari. Akibatnya masyarakat yang meminjam harus mengembalikannya berkali lipat.
Di Aceh, praktik rentenir sudah terjadi sejak 1960-an. Profesi ini melekat dalam aktivitas dagang yang melibatkan etnis China, Arab, Eropa, India, dan juga penduduk asli. Jadi praktik ini sudah lama ada dalam heterogenitas etnis dan perdagangan di Aceh dan juga Banda Aceh. Keberadaannya bahkan bisa dimana saja, mulai dari darat, laut bahkan dipegunungan sekalipun.
Di Banda Aceh sendiri, pada tahun 2017, di saat Pemko Banda Aceh bersama DPRK sedang menyiapkan qanun Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), sebagian besar pedagang kecil di pasar tradisional di sejumlah kecamatan masih terjerat utang kepada rentenir.
Rentenir di Banda Aceh
Di seluruh wilayah di Aceh, terdapat praktik rentenir yang dahsyat dengan julukan Bank ‘47’, Koperasi Ilegal, Bank Keliling atau sebut juga sebagai lintah darat. Sekarang justeru sedang marak pinjaman dengan sistem online atau biasa disebut pinjaman online (pinjol).
Sebagai salah satu contoh, Banda Aceh yang merupakan pusat pemerintahan juga tak lepas dari kegiatan rentenir. Banda Aceh sebagai ibukota juga pusat dari aktivitas ekonomi dan pendidikan di Aceh. Ini menjadi penyebab banyaknya pihak yang datang dan menciptakan struktur masyarakat yang heterogen dengan tingkat persaingan ekonomi yang tinggi.
Selain karena sistem perekonomian, pemerintah kota juga meyakini kemiskinan yang terjadi di Kota Banda Aceh disebabkan ketergantungan masyarakat terhadap rentenir dan riba.
Melihat kondisi tersebut, pada 2018 lalu, Pemerintah Kota Banda Aceh di bawah kepemimpinan penulis meresmikan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) PT Mahirah Muamalah. Tujuan utamanya untuk menghidupkan UMKM dengan memberi pembiayaan secara mudah, cepat, dan berkah sekaligus memberantas praktik rentenir di Banda Aceh. Sejak saat itu pula, Banda Aceh mulai menabuh gendang perang melawan rentenir.
LKMS Mahirah Muamalah menjadi lembaga keuangan mikro syariah pertama milik pemerintah daerah di Indonesia yang diizinkan beroperasi oleh OJK. Pada Oktober 2021, aset yang dimiliki Mahirah Muamalah telah mencapai Rp 45 miliar, angka ini jauh meningkat dibandingkan aset awal yang hanya Rp 6,2 miliar saat lembaga ini dibentuk pada tahun 2018.
Pada tahun 2021 ini, kucuran biaya yang diberikan Mahirah Muamalah kepada masyarakat kecil sebagai modal usaha sudah menyentuh angka sekitar Rp 25 miliiar. Ini merupakan capaian yang sangat baik, mengingat usia Mahirah Muamalah baru menginjak 3 tahun lebih.
Survei independen yang dilakukan Yayasan Rumah Harta Umat berkerjasama dengan ASA Solution menyimpulkan bahwa hanya 2 persen pedagang yang masih berurusan dengan rentenir. Survei tersebut dilakukan menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara observasi, kuesioner, dan studi pustaka di lima pasar besar di Banda Aceh.
Jika dibandingkan dengan 2017 ke bawah persentasenya mencapai 80 persen, dan pada 2020 tinggal dua persen saja yang bergantung pada rentenir. Hal ini juga tak luput dari usaha penulis memerangi rentenir yang menyasar kawasan pasar, untuk itu penulis juga melarang para rentenir masuk ke kawasan pasar Al Mahirah Lamdingin.
Sebagai pemegang saham, penulis juga mengimbau kepada ASN Kota Banda Aceh untuk membuka rekening tabungan di LKMS Mahirah Muamalah. Meluncurkan program Pembiayaan Pemuda Enterpreneur (Propamen) dan Program Pembiayaan bagi Wanita (Promak) via LKMS Mahirah Muamalah Syariah (MMS). Ini karena 40 persen penduduk Banda Aceh merupakan pemuda yang nantinya diharapkan bisa mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran.
Jika angka rentenir di Banda Aceh bisa menurun hingga 2 persen saja, maka bayangkan apabila angka rentenir juga bisa diturunkan di Provinsi Aceh. Tentu saja hal ini akan mendukung penurunan angka kemiskinan Aceh yang berada di atas 15 persen tertinggi di Sumatera.
Qanun Antirentenir
Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang diberi kewenangan melaksanakan syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan sudah seharunya menetapkan qanun antirentenir. Ini untuk menunjang perekonomian masyarakat Aceh yang kini masih dalam kondisi memprihatinkan.
Sebagai wilayah dengan penegakkan syariat Islam, sudah sepantasnya Aceh mulai memerangi rentenir dan memberantas riba, sebab riba merupakan dosa besar yang tidak boleh terus dibiarkan. Sistem ekonomi Aceh harus dijalankan mengikuti syariah, sebagaimana Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Baca: QS Al-Baqarah, 275).
Upaya awal yang telah dilakukan pemerintah Aceh dalam mengurangi riba adalah dengan mengkonversi seluruh perbankan konvensional dengan operasional berbasis syariah sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh melalui LKMS Mahirah Muamalah.
Di samping itu, dukungan dari masyarakat juga menjadi hal terpenting dalam memberantas rentenir. Sosialisasi tentang bahaya riba dan pentingnya bertransaksi dengan lembaga keungan syariah jika membutuhkan modal.
Selain semua upaya tersebut, diperlukan payung hukum atau qanun berupa regulasi pemerintah seperti qanun tentang rentenir dan lembaga-lembaga pembiayaan berbasis riba. Larangan serta sanksi yang diberikan kepada para rentenir dan pelaku riba sesuai dengan hukum yang ditetapkan. Yang melanggar diberikan sanksi hukum dan yang mematuhinya bisa diberikan penghargaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar