Oleh Dr. Phil. Munawar A. Djalil. MA, Pegiat Dakwah dan Pemerhati Politik-Pemerintahan, Tinggal di Cot Masjid, Banda Aceh
https://aceh.tribunnews.com/2021/10/07/perseteruan-aceh-simbolisasi-politikkeledai?page=all
Saat opini ini penulis buat, mendung di langit politik pemerintahan Aceh belum ada tanda-tanda akan tersibak menjadi cerah. Seperti tahun-tahun sebelumnya perseturan kembali terjadi antara eksekutif dan legislatif Aceh. Bak pertandingan tinju, ronde pertama perseteruan diawali dengan penolakan mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) atas Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Gubernur Aceh tentang Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2020 dalam Rapat Paripurna DPRA beberapa waktu lalu.Pada ronde berikutnya perseturan tidak hanya terjadi dalam ring tinju saja, di luar ring ketika masa jeda paripurna “adu jotos” pun berlanjut antara anggota dewan yang menerima LPJ dan anggota dewan yang menolak, sebagaimana terekam dalam sebuah video yang sempat viral di internet itu. Sebab LPJ Gubernur ditolak dewan, pada tahap berikutnya agar LPJ bisa sahih secara hukum maka legal standing LPJ Gubernur 2020 kemudian ditetapkan melalui Peraturan Gubernur dan telah mendapat persetujuan Mendagri.
Prolog di atas dapat memberikan sedikit review (gambaran) betapa karut marutnya politik Pemerintahan Aceh saat ini dengan tingkah polah pemimpin kita yang nyaris hampir sama setiap tahun anggaran.Syahdan, mencermati keadaan ini, penulis menilai ada kecenderungan kedua pihak memaksa kehendak untuk berbagai kepentingan masing-masing termasuk membangun pencitraan, positive image, dan lain-lain. Di sini tampak di mana mereka saling menyalahkan, bertahan dengan keinginan dan alasan pembenar masing-masing tanpa merujuk kepada kondisi sebenarnya. Ibarat penari bodoh yang menyalahkan panggung bergoyang.
Resistensi politik ini justru yang selalu menjadi korban penderitaan adalah rakyat, yaitu 5 juta lebih manusia yang menjadi penghuni bumi Aceh, perputaran ekonomi Aceh yang stagnan akibat realisasi APBA minimalis, apalagi di tengah Covid-19 melanda semakin bertambah-tambah penderitaan itu dirasakan oleh rakyat Aceh.
Terlepas dari penilaian di atas, penulis berasumsi (semoga tidak salah) ada sesuatu yang belum tertuntaskan hingga kini sehingga penyakit lama tersebut kambuh kembali. Mungkin “politik akomodatif” yang belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, begitu juga “supplai logistic” yang tidak merata dan lain-lain menjadi bagian dari penyakit lama yang berakibat terjadi resistensi politik.
Pun begitu mengingat dalam sebuah sistem negara demokratis, terlebih dengan sistem multipartai, ditambah Aceh adalah wilayah yang memiliki kondisi identitas sosial yang sangat beragam, tentu hal tersebut sangat memengaruhi stigma rational and real choice dalam politik Aceh. Dengan berbagai kondisi objektif seperti itu, akan bersifat sangat cair dan fleksibel jika jelas “siapa mendapatkan apa”.
Intinya, ketika terjadi ketidakpuasan dalam pembagian “siapa mendapatkan apa”, disharmonisasi akan terjadi. Sebaliknya, jika ada tawaran yang lebih menguntungkan terkait “siapa mendapatkan apa’, maka sang aktor politik akan menggunakan mekanisme rational choice (pilihan rasional) untuk memutuskan sesuatu dengan mempertimbangkan untung dan rugi secara material.
Soal “siapa dapat apa” dalam hal politik merupakan hal lumrah dan wajar. Sebab politik adalah tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Jika dilihat dari paradigma realisme politik, maka sikap resistensi yang diambil oleh eksekutif dan legislatif tersebut dapat dimaknai sebagai jalan untuk mencapai kepentingan masing-masing pihak dengan cara-cara yang menurut mereka rasional.
Simbol politik keledai
Kalau kita mau mencatat hampir setiap tahun anggaran, persoalan yang sama kembali terjadi dan lagi-lagi “mereka” masuk ke lubang yang sama. Walau malu untuk mengakui, itulah perseteruan Aceh dengan simbolisasi kultur politik “keledai” yang selalu jatuh di lubang yang sama.
Dua Filosof kenamaan Yunani yaitu Homer dan Aesop meriwayatkan bahwa dalam cerita bangsa Yunani Kuno, keledai disimbolkan sebagai seekor hewan yang dungu yang bisa saja melakukan kesalahan yang sama lebih dari satu kali. Karena sifat-sifatnya yang dianggap bodoh dan keras kepala.
Malah untuk menggerakkan keledai terkadang seorang majikan harus meletakkan kail yang diikat wortel dan kail itu disangkut di bagian lehernya, karena hasrat makan yang di luar kata cukup maka seekor keledai akan mengejar wortel yang digantungkan itu. Karena sifatnya yang mudah jinak maka keledai seolah tenggelam oleh stigma kedunguan tersebut.
Dalam kultur Aceh juga pemaknaannya juga hampir setara yaitu keledai dilambangkan sebagai hewan bodoh yang kerap melakukan kesalahan yang sama, sebagaimana narit/hadih naja “ka lage keuluede, sabe reut lam uruek seut” (seperti keledai selalu jatuh dalam lubang yang sama).
Di samping itu ada juga narit “lage keuleude gulam kitab” (seperti keledai memikul kitab) suatu perumpamaan kepada orang yang mempunyai ilmu dan mengetahui, namun tidak mengambil manfaat dari ilmu dan kebenaran yang diketahuinya.
Dalam politik Amerika simbol keledai juga menghiasi negara tersebut di saat kampanye dan pemilihan Presiden. Ada dua partai utama yang selalu bertarung dalam politik Amerika, yaitu Partai Republik bersimbolkan gajah dan partai Demokrat bersimbol keledai. Untuk kali pertama, keledai dikenal sebagai simbol Partai Demokrat dalam kampanye Presiden Andrew Jackson pada 1828.
Selama kampanye, Jackson dipanggil dengan sebutan jackass; atau keledai jantan oleh lawan politiknya, sebuah idiom untuk menyebut “orang bodoh”.
Namun bukannya marah dengan panggilan itu, ia justru merasa geli sendiri sebelum akhirnya memutuskan untuk menambahkan gambar keledai dalam poster kampanyenya. Jackson diketahui berhasil mengalahkan pesaingnya, John Quincy Adams (Partai Republik) dan menjadikannya presiden pertama yang berasal dari Partai Demokrat. Amerika hingga hari masih menjadi negara adikuasa dunia, Joe Biden menjadi Presiden ke-46 Amerika berasal dari partai “keledai” yaitu Demokrat.
Bagaimana Aceh
Simbolisasi kultur politik “keledai” ini, harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pembelajaran dalam memahami politik praktis. Hal ini sangat penting, mengingat dinamika perpolitikan Aceh, meskipun terasa melelahkan, namun dipastikan akan terus terjadi.
Perjalanannya pun masih teramat panjang, sehingga kerasnya pertarungan-pertarungan politik dari satu ronde ke ronde berikutnya akan kembali tersaji di masa yang akan datang.
Penulis berharap ketika masa-masa itu tiba, masyarakat secara umum sudah bisa memahami situasi politik yang terjadi agar tidak mudah terjebak pada pembentukan wacana yang sifatnya menimbulkan peluang konflik di tengah masyarakat, serta dapat menggunakan penilaian-penilaian yang objektif dan bertumpu pada kebenaran untuk dijadikan landasan dalam bersikap.
The last but not least, agar perseteruan Aceh cepat berakhir sehingga kemudian mendung di langit politik pemerintahan Aceh segera tersibak menjadi cerah maka simbolisasi politik “keuluede” sejatinya menjadi sindiran penuh hikmah dan selalu disetir dalam setiap keadaan serta tindakan, di mana “hewan” yang bernama keledai itu “simbol kedunguan” dan selalu mengikuti arus tanpa prinsip visioner.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar