oleh hanif sofyan-acehdigest
Ada dua kisah paradok yang menarik. Keduanya tentang ikhtiar mencari kerja. Kisah pertama adalah wujud "kebaikan dan kejujuran", sedangkan kisah kedua adalah sebuah ke-absur-an perilaku manusia. Pada jaman dahulu, ketika tsunami baru melanda nanggroe kita, penerimaan ASN di tahun itu menjadi sebuah sejarah yang unik. Betapa tidak, siapapun yang lulus karena nilai ujiannya tinggi dan sesuai standar kelulusan, maka ia lulus!. Tanpa backing, tanpa uang sepeser-pun. Setiap orang pada saat itu tengah berada dalam ke-nisbi-annya sebagai manusia. Ikhlas, jujur, baik dan tak punya tendensi apapun selain berusaha menjadi sebaik-baik manusia, setelah ie beuna setinggi sepuluh meter memporakporandakan nanggroe kita menjadi puing-puing.
Tapi hari ini enam belas tahun setelah peristiwa "pertobatan" itu, manusia kembali ke bentuknya semula. Ber-KKN layaknya sebuah rutinitas, sebuah prosedur yang mesti ditempuh ketika kepentingan, kekuasaan dan uang menjadi ukuran.
Seorang teman bertanya kepadaku ketika aku memutuskan untuk mengikuti sebuah ajang seleksi sebuah"kursi kekuasaan". Pertanyaannya sangat menarik. Berapa banyak "kaki kekuasaan yang kamu kenal"?. Dengan lugu saya balik bertanya, apa relevansinya kaki kekuasaan dengan jabatan yang sedang coba saya ihktiar-kan?. Semakin kuat kaki kuasa jaringanmu, maka semakin besar kans kamu untuk naik ke kursi kuasa.
Lantas apa gunanya semua formalitas, waktu terbuang berhari-hari, jika kekuasaan yang diformulasi sebagai ajang pencarian itu ternyata hanya sebuah formalitas belaka, sebuah "jabatan politis", dan seluruh jatah kursi itu ternyata sudah berisi nama-nama orderan, dan ternyata juga, realitas itu cuma fatamorgana?.Ini gila dan munafik, tapi sayangnya itulah realitas yang sesungguhnya dari dunia kita saat ini. Meski dalam seloroh satir sekalipun, para pejabat kita selalu mengatasnamakan Tuhan, seolah hamba paling benar. Bahkan dalam kesalahan yang terlihat telanjang di depan mata sekalipun mereka masih mendebat sebagai sebuah "kebenaran" atas nama kepentingan.
Aku beranya-tanya bagaimana ia bisa "bermetamorfosa" berubah bentuk menjadi banal dan tak punya nurani?. apakah kemudian menjadi benar pernyataan Emha Ainun Najib, dalam sebuah sesi tanya jawab di sebuah seminar di Darussalam pada 1999 silam?. "Kelak jika kalian duduk di kursi kuasa, maka segala idealisme itu bisa lenyap tanpa jejak, sehingga kamu sendiri bingung mengenali siapa sesungguhnya dirinya sendiri saat itu. Bisa jadi karena jauh dari kursi kuasa, kita seperti melihat kuman diseberang laut yang lebih tampak daripada gajah dipelupuk mata.Tapi tetap saja aku bersikukuh atas nama idealisme, sebuah ihktiar tetap saja sebuah ihktiar ia tidak boleh berhenti karena kepentingan sepihak yang menjadi penghalang. Siapa tahu Tuhan berkehendak lain, bahwa "rezeki" jika benar-takkan pernah tertukar. Maka Bismillah, saya niatkan semua ikhtiar untuk sebuah kebaikan, bahkan sekecil zarrah sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar