oleh hanif sofyan-acehdigest

Meskipun Nurchalis Madjid pernah berargumentasi, “ jangan percayakan nasib
bangsa pada niat baik satu-dua orang pemimpin. Percayakan nasib bangsa pada sistem
yang transparan dan bisa dipertanggungjawabkan, namun realitas masuknya 2.300
terpidana korupsi kedalam DCT adalah sebuah pukulan telak bagi pemerintahan
bersih kita.
Komitmen partai pengusung wacana anti korupsi, pakta integritas ditantang dan digoda oleh rayuan politik mahar, koalisi politik, politik dagang sapi yang membagi kuasa pada kekuasaan dan uang. Ini bukan rahasia umum karena bagian dari skenario politik kelas tinggi.
Kita belajar dari banyak kekecewaan, ketika militansi kita memilih tokoh populis alternatif tanpa melihat latar belakang afiliasi politik akibat kebuntuan personifikasi tokoh sebagai solusi, ternyata ekspektasi itu dengan mudah dimentahkan oleh kasus korupsi.
Berpijak dari realitas terebut, kita memimpikan sosok yang bisa dipercaya, meskipun
menemukannya seperti mencari jarum dalam jerami. Ketika personifiksinya telah
ditemukanpun kita masih merasa membeli kucing dalam karung.
Namun ikhtiar adalah sebuah keharusan. Lantas bagaimana sebagai rakyat
konstituen, koalisi harus bersikap ketika partai besutan ternyata melangkahi
komitmen, anti rasuah?.
Tanpa keberpihakan dan partisipasi aktifpun, politik tidak akan memberi
jalan keluar yang baik. Jika tidak disisi orang baik, maka orang jahat petualang
politik penganut Machiavelian akan mengisi ruang kosong tersebut. Maka dalam
ketiadaan pilihan, ikhtiar menjadikan Negara menjadi lebih baik akan pupus.
Ibarat makan buah simalakama, dimakan mati ibu tak dimakan mati bapak. Maka memilih
adalah sebuah pilihan politik.
Bahkan golputpun sebenarnya juga sebuah pilihan politik dalam sikon politik,
terlepas dari apapun alasannya, ketika kita mengarusutamakan pada buah simalakama.
Kita tak memiliki argumentasi ketika kondisi Negara memburuk karena kesalahan
memilih , namun tidak bijaksana juga lepas tangan karena kita warga sebuah negara.
Mengawal Demokrasi
Bagi konstituen dibutuhkan kecerdasan berpolitik, tidak hanya cerdas menerima
isi dompet dan membuang amplopnya. Berpikir moderat tidak pragmatis karena
mendasarkan pilihan pada pola nepotisme, koalisi apalagi praktek politik
amplop.
Negara kita bahkan mendapat julukan ‘negeri amplop’ karena sebagian
warganya tak bisa berpikir realistis dan salah kaprah.
Tantangan bagi parpol, kontestasi, koalisi politik, parpol pendukung adalah
visi misi dan kampanye pragmatik yang realistis. Tidak memaksakan janji
politik untuk sekedar rayuan. Habis manis sepah dibuang. Tentulah parpol akan
berpikir pragmatis, siapa mendukung akan diprioritaskan. Namun inilah wujud
pembelajaran demokrasi politik salah yang harus dipraktekkan.
Lahirnya keputusan Bawaslu yang meloloskan para koruptor, tidak serta merta
melunturkan peluang para koruptor untuk terus maju. Sikap permisif dan koruptif
yang telah menjangkiti dan menjadi budaya terselubung adalah penyakit yang
endemik di semua strata, bahkan dalam urusan mengurus KTP sekalipun berbayar.
Maka uang rokok adalah kamuflase wujud tindak koruptif.
Tidak terdeteksi dan para koruptor dalam daftar calon tetap yang dipilih
adalah sebuah ‘keberuntungan’ bagi para mantan koruptor untuk berpeluang melenggang
ke gedung legislatif plus budaya permisif membuat partai pendukung dan calon lebih percaya
diri. Kadangkala justru naik elektabilitasnya meningkat seiring publisitas yang
makin meluas.
Sikap apatisme atau sosialiasi yang kurang tentang kehadiran tokoh-tokoh mantan koruptor dapat menjadi bumerang bagi masa depan demokrasi kita, ketika kita tak pernah mau belajar dari kesalahan akibat dari salah kaprah dalam memainkan peran kita berpolitik praktis. Pilihan kebijakan kita meloloskan para koruptor dapat menjadi preseden buruk yang mungkin butuh waktu untuk mengembalikannya menjadi normal. Padahal semestinya kesempatan memainkan legislasi unutk demokrasi yang bersih harus dimulai dari sekarang sebelum terlambat sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar