Label

# (2) 100 buku (1) 1001 Cerita membangun Indonesia (1) 2016 (1) 2019 prabowo presiden (1) 2019 tetap jokowi (1) 2020 (1) 2021 (2) 21 tahun (1) 21 wasiat Sultan untu Aceh (2) 49 tahun IAIN Araniry (2) 99 buku (1) a ceh bahan buku (1) Abu Mudi (1) aceh (11) Aceh Barat (2) aceh digest (1) aceh history (2) aceh kode (2) aceh kopi (1) Aceh Singkil (1) aceh tengah (3) Aceh Tourism (2) Adat Aceh (3) agama (25) Air Bersih (2) aisya (1) Alue Naga (1) amazon (1) aminullah (1) anehnya negeriku indonesia (3) anggaran nanggroe aceh (1) anies (1) APBA (6) apresiasi serambi indonesia (1) arsip (1) artikel hanif (74) artikel kompas (1) artikel nabil azra (3) artikel rini (4) Artikel Serambi (9) artikel serambi-tokoh sastra melayu (2) artikel Tanah Rencong (1) artikel trans89.com (1) artikel/opini Modus Aceh (1) arundati roy (1) asia (1) asuransi (2) atlas of places (1) australia (1) Ayam (1) bacaan hari raya (1) bahan buku (106) bahan buku aceh (1) bahan buku kolaborasi (2) bahan buku. (12) bahan tulisan (1) bahana buku (1) bahasa (2) Banda Aceh (1) Bank Aceh syariah (1) Bank syariah Indonesia (1) batu (1) bawaslu (1) bencana alam (7) bendera dan lambang (1) Berbagi (1) berita nabil (1) berita serambi (1) berkeadilan (1) BHR (1) Bie Da Rao Wo Zhong Tian (1) bill gates (2) Bioscoop (1) Bioskop (1) birokrasi (1) birokrasi politik (1) Blogger Competition 2017 (1) Blogger Indonesia (1) BMA 2023 (3) Bola Kaki (1) book (1) BP2A (1) BPBA (1) BSI (1) budaya (83) budaya aceh (12) budaya massa (1) budaya tradisional (2) bukit barisan (1) buku (7) buku covid anak (1) Buku kapolri (1) bulkstore (2) bullying (1) bumi (2) bumi kita (1) bumi lestari (2) bumiku satu (1) Buyakrueng tedong-dong (1) cadabra (1) cerdas (1) cerita (2) cerpen (2) child abuse (1) climate change (3) Connecting Happiness (3) ConnectingHappiness (1) Cormoran Strike (1) Corona (1) corona virus19 (2) covid (1) Covid-19 (1) covid19 (9) CSR (1) cuplikan (1) Cut Nyak Dhien (1) dakwah kreatid (2) Dana Hibah (2) dara baroe (1) Data (1) dayah (4) De Atjehers (1) demam giok (1) Democrazy? (5) demokrasi (10) demokrasi aceh (6) diaspora (1) dinasti politik (3) diplomasi gajah (1) Ditlantas Meupep-pep (1) diva (1) DKPP (1) Don’t Disturb Me Farming (1) DPRA (1) dr jeckyl (1) Drama (1) drive book not cars (2) dua tahun BSI (1) Dusun Podiamat (1) earth hour (2) earth hour 2012 (2) ekonmi islam (1) Ekonomi (52) Ekonomi Aceh (51) ekonomi biru (1) ekonomi Islam (7) ekonomi sirkular (2) ekoomi (1) Ekosistem kopi (1) eksport import (1) Elizabeth Kolbert (1) essay (1) essay keren (1) essay nabil azra (1) falcon (1) fiksi (1) Film (6) Film animasi (1) film china (1) film cina (1) film drama (3) Film jadul (1) film lawas (1) filsafat (2) fir'aun (1) forum warga kota (1) forum warung kopi (2) FOTO ACEH (2) fourth generation university (2) GAIA (1) gajah sumatera (1) gam cantoi (2) gambar (1) ganjar (1) Garis Wallacea (1) garis Weber (1) Gas Terus (1) GasssTerusSemangatKreativitasnya (1) gempa (2) gender (3) generasi manusia (1) germs (1) gibran. jokowi (1) Gillian Rubinstein (1) god (1) goenawan mohamad (1) gramedia (1) groomer (1) grooming (1) gubernur (2) guiness book of record (1) guru (1) guru blusukan (1) guru kreatif (1) guru milenial (1) H. Soeprapto Soeparno (1) hacker cilik (1) Hadih Maja (1) Halodoc (1) Halue Bluek (1) hanibal lechter (1) hanif sofyan (7) hardikda (1) hari Air Sedunia (3) hari bumi (2) Hari gizi (1) hari hoaxs nasional (2) harry potter (1) hasan tiro (1) hastag (1) hemat energi (1) herman (1) Hikayat Aceh (2) hoaks (2) hoax (2) hobbies (1) hoegeng (1) HUDA (1) hukum (3) humboldtian (1) hutan indonesia (5) ibadah (1) ide baru (1) ide buku (2) idelisme (1) ideologi (1) idul fitri 2011 (1) iklan (1) Iklan Bagus (2) indonesia (4) Indonesia city Expo 2011 (1) industri (1) inovasi (1) Inovasi Program (1) intat linto (1) intermezo (5) internet dan anal-anak (1) investasi (2) investasi aceh (1) Iran (1) isatana merdeka (1) Islam (1) islam itu indah (3) Islamic banking (1) ismail bolong (1) Ismail Fahmi Lubis (1) IT (4) jalur Rempah (2) Jalur Rempah Dunia (2) Jalur rempah Nusantara (2) jeff bezzos (1) Jejak Belanda di Aceh (1) jepang (1) jk rowling (2) JNE (5) JNE Banda Aceh (1) JNE33Tahun (1) JNEContentCompetition2024 (1) joanne kathleen rowling (1) jokoei (1) jokowi (1) juara 1 BMA kupasi 2023 (1) juara 1 jurnalis (1) juara 2 BMA kupasi (1) juara 3 BMA kupasi 2023 (1) jurnal blajakarta (1) jurnal walisongo (1) jurnalisme warga (1) kadisdik (1) kaki kuasa (1) kalender masehi (1) kambing hitam (1) kampanye (1) kampus unsyiah (4) kamuflase (1) karakter (1) kasus kanjuruhan (1) kasus sambo (1) kaya (1) KBR (1) kebersihan (1) Kebudayaan Aceh (7) Kebumen (1) kedai kupi (1) kedai-kopi (1) Kedokteran (1) kedokteran Islam (1) kejahatan anak (1) kejahatan seksual anak (1) kekuasaan. (1) kelas menulis SMAN 5 (4) kelautan (4) keluarga berencana (1) Keluarga Ring Of Fire (1) kemenag (1) kemiskinan (2) kemukiman (2) kepemimpinan. (2) kepribadian (1) Kepribadian Muslim (1) kerajaan Aceh (2) kerja keras (1) kesehatan (13) kesehatan anak (4) keuangan (1) keuangan aceh (1) khaled hosseini (1) Khanduri Maulod (1) khutbah jumat (1) king maker (1) kirim naskah (1) Kisah (1) Kisah Islami (1) kite runner (1) KKR (2) KoescPlus (1) koleksi buku bagus (4) koleksi foto (2) Koleksi Kontribusi Buku (1) koleksi tulisanku (2) kolom kompas (1) kolom kompas hanif sofyan (2) kolom tempo (2) kompetensi siswa (1) Komunikasi (1) komunitas-serambi mihrab (1) konsumerisme (1) Kontribusi Hanif Sofyan untuk Buku (3) Kopi (2) kopi aceh (5) kopi gayo (2) kopi gayo.kopi aceh (1) kopi libri (1) Korupsi (7) korupsi di Aceh (4) kota masa depan (1) kota yang hilang (1) KPK (2) KPU (1) kredo (1) kriminal (1) krisis air (2) ku'eh (1) Kuliner Aceh (2) kultum (2) kupasi (1) kurikulum 2013 (1) kwikku (1) Labschool UIN Ar Raniry Banda Aceh (1) lain-lain (1) lalu lintas (1) lambang dab bendera (4) laut (1) Laut Aceh (1) Laut Biru (1) lebaran 2025 (1) legenda (1) Li Zhuo (1) lian hearn (1) Library (1) Library Gift Shop (2) lifestyle (1) limapuluah koto (1) Lin Xian (1) lincah (1) Lingkungan (42) lintho (1) listrik aceh (1) LNR (1) Lomba artikel 2016 (4) Lomba blog 2016 (1) lomba blog unsyiah 2018 (1) Lomba Blogger Unsyiah (2) lomba JNE (1) lomba mneulis asuransi (1) LSM-NGO (3) M nasir Fekon (1) Maek (1) maekfestival (1) magazine (1) makam (1) malcom gladwell (1) manajemen (2) manipulatif (1) manusia (2) marginal (1) Masyarakat Urban. (1) Mauled (1) maulid (2) Maulod (1) Media (1) megawati (1) Melinjo (1) Memberi (1) menhir (1) Menyantuni (1) mesjid baiturahman (2) Meulaboh (1) MH Amiruddin (1) migas (1) mimbar jum'at (1) minangkabau (1) Misbar (1) misi (1) mitigasi bencana (5) molod (1) moral (1) More Than Just A Library (2) motivasi (1) MTSN 4 Labschool UIN Ar Raniry (1) MTSN4 Banda Aceh (1) mukim (2) mulieng (1) museum (2) museum aceh (2) Museum Tsunami Aceh (4) music (1) Music show (1) musik (1) muslim produktif (1) musrenbang (1) Nabi Muhammad (2) naga (1) nagari seribu menhir (1) narkotika (1) naskah asli (3) Naskah Kuno Aceh (2) Negeri rempah terbaik (1) nelayan (1) new normal (1) Nina Fathdini (1) novel (1) Nubuah (1) Nusantara (1) off road (1) olahraga (2) one day one surah (1) opini (5) opini aceh tribun (2) opini analisadaily.com (1) opini bebas (1) Opini di lentera (1) opini hanif (1) opini hanif di serambi indonesia (4) opini hanif sofyan (1) Opini Hanif Sofyan di Kompas.id (1) opini hanif sofyan di steemit (1) opini harian aceh (4) Opini Harian Waspada (1) opini kompasiana (2) opini lintas gayo (11) opini lintas gayo com (1) opini LintasGayo.co (2) opini majalah tanah rencong (1) opini nabil azra (1) opini rini wulandari (1) opini serambi (43) opini serambi indoensia (4) opini serambi indonesia (169) opini siswa (4) opini tabloid lintas gayo (5) opini tempo (1) otsus (1) OYPMK (1) pandemi (1) pandemi covid-19 (9) papua (1) Pariwisata (3) pariwisata aceh (1) parlemen aceh politik aceh (8) pawang (1) PDAM (1) PDIP (1) pelosok negeri (1) Peluang Pasar (1) pemanasan global. green energy (1) pembangunan (29) pembangunan aceh (1) pemerintah (4) pemerintahan (1) pemilu 2014 (5) pemilu pilkada (1) pemilukada (9) Pemilukada Aceh (14) penddikan (2) pendidikan (29) pendidikan Aceh (27) penjahat kambuhan (1) penyair aceh (1) Penyakit kusta (1) Perbankan (3) perbankan islam (3) perdamaian (1) perempuan (8) perempuan Aceh (5) perempuan dan ibu (1) perempuan dan politik (2) perikanan (1) perpustakaan (2) perputakaan (1) personal (2) personal-ekonomi (1) pertanian (2) perusahaan ekspedisi (1) perusahaan logistik (1) perwira tinggi polri (1) pesantren (2) Pesta Demokrasi (1) pidie (1) pileg (1) pileg 2019 (2) pilkada (14) pilpres (2) pilpres 2019 (3) pilpres 2024 (2) PKK Aceh (1) plastik (1) PNS (1) polisi (2) polisi jahat (1) politik (115) politik aceh (160) politik indonesia (3) politik KPK versus korupsi (4) politik nasional (4) politis (1) politisasi (1) politk (5) Polri (1) polri presisi (1) popular (1) poster. (1) prabowo (2) prediktif (1) presiden (1) presiden 2019-2024 (1) PRESISI POLRI (1) produktifitas (1) PROFIL (1) propaganda (1) psikologi (2) psikologi anak (1) psikologi pendidikan (1) psikologis (1) Pulo Aceh (1) PUSA (2) pustaka (1) qanun (1) qanun Anti rentenir (1) Qanun LKS (2) Qu Meng Ru (1) ramadan (1) ramadhan (2) Ramadhan 2011 (4) ramadhan 2012 (2) rawa tripa (1) recycle (1) reduce (1) reformasi birokrasi (1) religius (1) Resensi buku (3) Resensi Buku hanif (2) resensi film (2) resensi hanif (2) residivis (1) resolusi. 2021 (2) responsibility (1) reuse (1) review buku (1) revolusi industri (1) robert galbraith (1) rohingya (1) Romansa (1) romantisme kanak-kanak (1) RPJM Aceh (3) RTRWA (2) ruang kelas (1) rujak u grouh apaloet (1) rumbia aceh (1) sains (1) Samalanga (1) sampah (1) satria mahardika (1) satu guru satu buku (1) satwa liar (1) secangkir kopi (1) sejarah (9) sejarah Aceh (28) sejarah Aceh. (3) sejarah dunia (1) sejarah-bahasa (5) sekda (1) sekolah (1) sekolah terpencil (1) selfie politik (1) Servant Leadership (1) setahun polri presisi (1) setapak perubahan (1) sigit listyo (1) sikoat (1) Sineas Aceh (2) Sinema Aceh (2) sinovac (1) situs (1) snapshot (1) sosial (14) sosiologi (1) sosiopat (1) SOSOK.TOKOH ACEH (3) spesies (1) statistik (1) Stigma (1) Stop Bajak Karya Online (1) sultan iskandar muda (1) sumatera barat (1) sustainable laundry (1) syariat islam (7) TA sakti (1) tahun baru (2) tambang aceh (1) tambang ilegal (1) tanah rencong (1) tantang IB (1) Tata Kelola pemerintahan (4) tata kota (2) TDMRC (1) Tehani Wessely (1) tehnologi (5) televisi (1) Tenaga kerja (2) terbit buku (1) the cucko'scalling (1) Thriller (1) timor leste (1) tips (3) tokoh dunia (1) tokoh kartun serambi (2) tradisi (2) tradisi aceh (2) tradisional (1) transparansi (1) tsunami (9) Tsunami Aceh (9) Tsunami story Teller (2) tuan hide (1) tukang obat (1) tulisan ringan (1) TUmbuh seimbang berkelanjutan bersama BSI (1) TV Aceh (1) tv dan anak-anak (3) uang haram (1) ujaran kebencian (1) ulama aceh (7) UMKM (1) Unsyiah (2) Unsyiah Library (3) Unsyiah Library Fiesta 2017 (3) upeti (1) upeti jin (1) ureung aceh (1) vaksin (2) viral (1) visi (1) Visit Aceh (2) Visit Banda Aceh (7) Visit Banda Aceh 2011 (4) walhi goes to school (1) wali nanggroe (3) walikota 2014 (1) wanita Iran (1) warung kupi (2) wirausaha aceh (1) Wisata Aceh (5) wisata spiritual (2) wisata tematik jalur rempah (1) Yayat Supriyatna (1) youtube (2) YouTube YoYo English Channel (1) YPBB (1) zero waste (2) Zhuang Xiao Man (1)

Minggu, 30 Agustus 2020

Menyeru Tuhan atau Memanggil Sosialisme?

 http://jernih.co/potpourri/menyeru-tuhan-atau-memanggil-sosialisme/


Lennox juga berutang penjelasan atas soal virus sebagai pembentuk karakter dan pandemi sebagai berkah tersembunyi, sekaligus uraiannya tentang manfaat utama virus dalam ekosistem.

Oleh : IGG Maha Adi

-“Sembari menunggu datangnya juru selamat, semoga ilmu kedokteran bisa menangguhkan pertemuan kita denganNya” — The Guardian, review buku John Lennox

-“Di dalam krisis, setiap orang menjadi sosialis” – Joan Walsh

1. Iman dan Ilmu


Dimana Tuhan di masa pandemi ini? Mungkin tidak di rumah ibadah. Mayoritas pemerintah di dunia sepakat bahwa gereja mesjid, sinagog, atau wihara statusnya seperti kasino atau panti pijat. Sama-sama non-essential services. Mereka dikunci. Namun, kita juga mafhum rumah ibadah itu struktur fana peneguh iman, karena Tuhan yang transenden-omnipresent itu pasti hadir juga di tempat yang paling dekat, yaitu di hati setiap umatnya yang percaya.

“Dimanakah Allah dalam Dunia dengan Virus Corona?” terbit pada saat yang tepat. Manusia butuh penghiburan di masa pandemi, karena bukankah beriman juga berarti bersuka cita? Buku John Lennox ini adalah apologetika Kristiani, bukan buku teologi.

Lennox yang profesor matematika di Oxford, juga seorang penginjil cum “advokat Kristus” kelas wahid dalam debat melawan ateis semacam Richard Dawkins atau Christopher Hitchens. Apa yang membuat buku ini menarik adalah usahanya menjawab beberapa soal yang selalu aktual untuk peran iman di dalam krisis. Misalnya dalam Bab1. “Perasaan Rentan” yang semenarik Bab3. “Apakah Menjadi Ateis Membantu?” dan Bab4. “Kenapa bisa ada virus Corona jika ada Allah yang adalah Kasih?”

Iman yang goyah butuh pegangan dan buku ini semacam tiang penguatnya; bahwa Tuhan tidak menjauh dari penderitaan manusia karena Ia sendiri menderita dalam penyalibannya. Bahwa ada maksud Tuhan di balik setiap penderitaan manusia—a greater good principle, dan kepastian akan datangnya Sang Juru Selamat umat manusia bagi mereka yang teguh kepada imannya.

Tapi buku ini tidak tanpa kritik. Bukan pada usaha padu padan realitas penderitaan dengan kitab sucinya, tetapi dalam materialisasi Lennox atas pandeminya. Sebutan natural evil pada patogennya, memberikan hakekat virus ini sebagai agen penyakit ciptaan Tuhan (siapa lagi?) untuk membunuh manusia, sekaligus berkesadaran untuk memutasi dirinya dan menjadi berbahaya. Ia juga berutang penjelasan atas soal virus sebagai pembentuk karakter dan pandemi sebagai berkah tersembunyi, sekaligus uraiannya tentang manfaat utama virus dalam ekosistem.

Lennox itu ilmuwan di salah satu universitas terbaik di dunia, profesor dari ilmu yang dijuluki ratunya sains yaitu matematika, sekaligus teguh pada iman Kristiani. Dan bukunya laris. Artinya, iman dan ilmu, keduanya dibutuhkan saat krisis dan bisa saling memperteguh bukan menegasikan. Iman, pada seluruh agama, jelas bukan vaksin Covid, dan betapa pun janji Tuhan itu semacam delayed gratification, tetapi tidak ada janji lain yang sekuat dan sepasti ini diyakini manusia. Bahkan tidak pada kepastian sains.

Khusus untuk derita yang enggan pergi, walau Tuhan diseru seribu kali, barangkali layak direnungkan ucapan C.S. Lewis, “Tuhan berbisik dalam kesenangan manusia, dan di dalam penderitaan manusia IA berteriak, karena itulah pelantang untuk menyadarkan dunia.”

Dan ibarat rumah yang jauh dari masjid, bila suara adzan yang berpelantang itu masih terdengar sayup saja di hatimu, mendekatlah. Semakin dekatlah.

2. Terpesona Wuhan

Saya mencoba menyimpulkan “Panik!” Zlavoj Zizek: Ia mengagumi komunisme Cina karena berhasil mengunci 10 juta orang di Wuhan selama Pandemi Covid19.

Pemerintah Cina melakukannya secara terpusat, cepat, dan terorganisasi. Produksi infrastruktur dan alat kesehatan selesai dalam waktu singkat di Wuhan. Dunia membutuhkan versi Cina itu menghadapi pandemi. Zizek menulis, tindakan yang tampaknya bagi sebagian besar dari kita hari ini disebut sebagai “Komunis,” harus dipertimbangkan pada tingkat global: koordinasi produksi dan distribusi harus dilakukan di luar koordinasi pasar. Kepanikan berhenti di Wuhan.

Kenapa kepanikan menarik? Panik itu irasional dan irasionalitas berada di luar kendali ekonometrika. Dalam kepanikan, semua merasa terancam karena itu semua ingin bertahan hidup: tisu toilet diborong, mie instan dijatah, barang ditimbun, tabungan dikeruk, toko dijarah, semua orang tinggal di rumah, jutaan orang tak bekerja, perdagangan berhenti, dan pasar pun macet. Perlu sedikit pemicu untuk mengobarkan kerusuhan sosial.

Karya Zizek ini dijejali satu gerbong penuh pendapat, berita, dan buku yang dikutipnya untuk membentengi alasan mengapa ia sampai pada kesimpulan itu. Tentu saja uraian dominannya adalah versi Cina yang mana yang dimaksudnya secara persis; apa yang dimauinya dan apa yang ingin dibuangnya dari Cina hari ini.

Zizek, dengan mengutip orang lain, menyebut Covid-19 sebagai “gladi bersih” menuju krisis ekologi global, dengan dua aktor utama yaitu virus corona sebagai patogen pandemi dan manusia sebagai patogen krisis iklim. Patogen Bumi ini adalah mereka yang memerangi manusia tanpa menyatakan perang, yaitu sistem sosial-ekonomi global di mana kita semua berpartisipasi.v Dan seperti Zizek, banyak orang menunjuk hidung Liberalisme-Kapitalisme sebagai Ibu Segala Krisis di muka Bumi. Belum ada isme lain yang dianggap bertanggung jawab sedemikian besar atas segala jenis krisis manusia selain keduanya—yang ketiga mungkin imperialisme. Zizek tidak bisa yang membayangkan Wuhan ada di Amerika, karena kelompok libertarian akan keluar rumah dengan senjata dan memprotes kebijakan itu sebagai konspirasi negara untuk menghancurkan kebebasan, lalu mereka mencari jalan sendiri. Dan itu terjadi.

Kenapa sistem dunia tidak siap menghadapi pandemi, padahal sudah diperingatkan selama bertahun-tahun oleh para ilmuwan? Karena kita tidak benar-benar yakin hal itu akan terjadi! Kata Zizek, negara Barat kini bereaksi berlebihan karena mereka terbiasa dengan kehidupan tanpa musuh nyata. Mereka menjadi terbuka dan toleran, dan tak memiliki mekanisme kekebalan ketika ancaman nyata muncul, lalu terlempar dalam kepanikan. Ia meramal mereka akan berpaling pada sosialisme, seperti ungkapan Joan Walsh, setiap orang menjadi sosialis di dalam krisis.

Inilah wajah sosialisme malu-malu: Dalam skema federal unemployment benefit, Presiden Trump memberikan para penganggur 600 dolar AS per minggu sampai akhir Juli, dan Demokrat mengusulkan tambahan stimulus selama pandemi sebesar 3,5 triliun dolar AS. “Keajaiban terbesar” barangkali ketika Partai Republik meminta medicare for all dilaksanakan. Banyak perusahaan besar mulai membayar paid sick leave, mengizinkan karyawan absen untuk merawat anak selama pandemi, dan memberikan bentuk jaring pengaman sosial lainnya.

Di Eropa, Spanyol menasionalisasi semua rumah sakitnya agar berada dalam satu komando pemerintah menghadapi pandemi. Ketika Italia memutuskan karantina total, Zizek menyebutnya aspirasi totaliter paling liar yang menjadi kenyataan.

Zizek juga mengkritik, lagi-lagi meminjam tulisan orang lain, kepedulian palsu Trump yang meminta warga Amerika segera kembali bekerja. Trump, tulisnya, bicara itu kepada pekerja yang dibayar rendah, mereka yang paling terpukul ekonominya karena miskin dan tak mampu mengisolasi diri karena harus tetap bekerja. Sedangkan kaum kaya yang akan diberikannya pengurangan pajak tetap bisa mengasingkan diri di pulau pribadi mereka. Data mendukung Zizek: selama empat minggu di bulan April, 621 orang miliarder Amerika meningkatkan kekayaan mereka sebesar 308 miliar dolar! Pada saat yang sama 30 juta pekerja di sana kehilangan pekerjaan.

Zizek sama sekali tak melihat mekanisme pasar ini bereaksi secara benar dan cepat dalam krisis global. Satu bentuk pasar bebas yang tidak diatur dengan kecenderungannya untuk menghadapi krisis dan pandemi, tentu sedang sekarat. Dimana mekanisme pasar ingin diterapkan di Amerika, ia selalu gagal merespon pandemi ini. Dan segera saja Trump berseteru dengan produsen masker 3M soal larangan ekspor ke pasar Cananda dan negara lain, General Motors yang batal diperintah memproduksi ventilator di bawah Defense Production Act (DPA), ada Kota New York yang rugi dalam kontrak bernilai puluhan juta dolar dengan produsen ventilator yang tak punya rekam jejak. Irlandia mengalami kejadian sama.

Ancaman Trump untuk menerapkan DPA kepada industri bisa membuat Zizek tersenyum, tetapi pembatalannya beberapa hari kemudian, bisa membuatnya terbahak-bahak. Ketika mencoba jalan pintas di luar pakem pasar, Amerika tampak betul tidak siap dan dipecundangi oleh para pebisnis.

Sampai hari ini Amerika belum berhasil memenuhi kebutuhan mesin ventilator—dan kebutuhan lainnya. Zizek menyangka Amerika lebih cemas bila isolasi dan karantina menjadi elmaut yang akan membunuh ekonomi mereka, dibandingkan berbela sungkawa untuk korban pandemi. Ia analogikan semua itu dengan dongeng “Janji di Samarra” dari Mesopotamia. Kemanapun berkelit, toh maut menunggu di Samarra. Karena bagi Amerika keruntuhan ekonomi adalah Samarra mereka, maka pesan Trump jelas: Kembalilah bekerja, jika saatnya mati kau tak bisa mengelak dimanapun berada.

Liberalisme juga bukan pilihan efektif meredam demonstrasi di dalam negeri. Ditambah karakter Draconian yang bersembunyi di bawah rambut jarang-jarang Trump itu, memakai militer menindas demonstran menjadi sah baginya. Ingatan kita melayang ke Tiananmen Protest 1989.

Untuk Barat, Zizek memberikan resep yang diolahnya dari Cina, yaitu memperluas campur tangan negara dalam peri kehidupan warga, tanpa menjelaskan batas-batasnya. Pada halaman lain ia mengakui bahwa individu yang terserang kepanikan untuk mencoba bertahan hidup, hanyalah subjek ideal bagi pengenalan kekuatan otoriter. Tetapi ia menambahkan bahwa “komunisme” yang dimaksudnya bukan bentuk dari abad ke-20, namun meninggalkan kita tanpa penjelasan benderang tentang bentuknya di abad ke-21.

Mari kita baca fakta selama pandemi. Alat kesehatan impor dari Cina yang diproduksi di bawah kendali negara itu, ditolak oleh Inggris, Spanyol, Italia, dan Perancis, karena kualitasnya yang buruk sehingga tak lolos uji. Alih-alih menyembuhkan, ventilator itu bisa jadi stempel masuk kuburan lebih cepat. Jika alat yang sama atau yang kualitasnya lebih buruk juga dipakai untuk para pasien di Cina, berapa sesungguhnya angka kematian Covid19 di sana? Tak heran banyak negara meragukan data pemerintah Cina.

Dan jika Cina bersungguh-sungguh peduli nyawa warganya, kenapa tiga minggu di awal mereka menyangkal wabah, mengabaikan bukti-bukti yang dibawa para dokter bahkan merundung dan membungkam dokter Li Wenliang? Bukankah mereka sebetulnya hanya mementingkan pencitraan kesuksesan? Bukankah pemerintah Cina sama saja seperti rezim Trump yang mementingkan ekonomi di atas keselamatan warganya? Jika Wuhan dianggap sukses plus digdayanya pelacakan digital Cina, kenapa gelombang kedua pandemi tetap datang ke kota itu, dan sistem yang dipuji Zizek sebagai efektif ini hanya berumur dua bulan?

Twitter baru saja menghapus 150 ribu akun yang melakukan kampanye pengelabuan informasi tentang Covid-19 dan demonstrasi di Hong Kong, dan mereka diduga kuat terhubung dengan pemerintah komunis Cina. Untuk apa semua penyesatan informasi itu? Dengan semua kondisi ini, apa yang dapat mencegah pemerintah Cina untuk menyembunyikan-dan melenyapkan-apa saja yang mengganggu stabilitas ekonomi mereka? Dan dengan semua karakter Orwellian itu, masyarakat seperti apa yang sungguh-sungguh akan kita bangun, apakah yang sekedar efektif dan efisien dalam distribusi logistik dan mempersetankan selain itu?

Jika hanya ini soalnya, Amerika Serikat sesungguhnya jauh lebih berpengalaman dalam mobilisasi skala besar. Silakan menengok sejarah. Semakin lama kita membaca Wuhan, Cina dan Pandemi ini, pertanyaannya memanjang.

Ada nasehat dari Ketua Mao, “Terlalu banyak membaca buku, berbahaya!” Wahai Ketua, Zizek dan rekan-rekannya rela menempuh bahaya itu demi pemahaman atas komunisme-mu. Kita layak menunggu Zizek yang berikutnya yang berhasil keluar dari bahaya itu.

3. Merasakan Pemerintah Cina

Ada atau tidak internet, kurungan tak pernah mematahkan semangat. Socrates, Galileo, Victor Hugo, Hemingway, Gandhi, bahkan Yesus Kristus mengalami social distancing.

Begitu juga Fang Fang, perempuan 65 tahun yang terkurung dalam karantina Wuhan selama 76 hari. Fang Fang alias Wang Fang adalah pemenang Hadiah Sastra Lu Xun tahun 2010. Ia hidup bersama anjingnya di sebuah apartemen di kota itu.

Wuhan Diary awalnya ditulis dalam bahasa Cina di Weibo, sebagai katarsis hariannya menghadapi penguncian kota. Tak dinyana puluhan juta orang dari seluruh dunia membaca dan menunggu lanjutannya, ingin tahu apa yang terjadi di sana, pada sebuah kota pertama yang dikarantina. Diari ini seputar makanannya, anjingnya, kondisi kesehatan dirinya yang pengidap diabetes, ditambah kesaksian atas kebaikan para tetangga dekatnya dan tanggapan atas berita tentang Covid-19 dan Wuhan.

Selama menulis ia merasakan intimidasi kelompok ultra-nasionalis karena dianggap merusak citra Cina dan Wuhan di mata internasional, dan penerjemah diarinya diancam pembunuhan.

Namun, kita akan kehilangan sentuhan dan rasa jika sebuah diari diceritakan kembali oleh orang kedua. Jadi silakan membaca sendiri jika berminat. Anda yang membaca buku Zizek, cobalah membaca diari ini dan resapi perbedaan antara melihat-lihat Cina dan merasakan pemerintah Cina. [ ] *Mantan wartawan Majalah TEMPO dan National Geographic Indonesia. Kini sedang dan akan selalu bersenang-senang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar