Oleh hanif sofyan
Pada Juni 1997, Kishore Mahbubani, Ekonom dan Diplomat Singapura hadir di International
Conference On Thinking ke-7 di Singapura, mempresentasikan gagasannya yang kontroversial, “Bisakah Orang Asia Berpikir?”. Kemudian ia juga menerbitkankan esai-nya dalam National Interest pada musim panas 1998. Tentu bukan tanpa dasar Mahbubani mengutarakan argumentasinya tersebut. Diluar dugaannya publikasi ilmiahnya ini tak merangsang orang Asia sendiri untuk bereaksi. Reaksi negatif justru muncul dari kalangan Barat. Mungkin kemunculan gagasannya tak sesuai momentum atau tidak tepat dalam citarasa politik. Terutama jika orang Asia mempertanyakan pertanyaan mendasar tentang dirinya sendiri atau masa depannya. Mungkin ini kesimpulan yang menggelikan menurut Mahbubani, namun sekaligus menunjukkan adanya gap intelektual yang besar antara Timur dan Barat.
Argumentasi Mahbubani yang tak kalah kritis adalah pandangannya tentang keyakinan bahwa orang Asia inferior di hadapan Barat. Persoalan paling mengganggunya bukan kolonisasi fisik, tetapi kolonisasi mental. Menurutnya hanya Jepang yang pertama berani memposisikan diri setara dengan Barat, paska restorasi Meiji tahun 1860-an, dengan tokoh reformisnya yang terkenal Yukichi Fukuzawa. Berikutnya baru diikuti Sun Yat-Sen dan Jawaharlal Nehru. Kedua pertanyaannya muncul sebagai otokritik atas kelemahan Asia agar bangkit dari ketertinggalan dibanding Barat yang memiliki standar tinggi atas kemajuan yang dicapainya hingga saat ini. Namun dunia berubah secara dramatis, begitu juga dengan Asia
Joseph Stiglitz, Ekonom Bank Dunia bahkan menangkap realitas perubahan di Asia dengan optimis dan menuangkannya dalam sebuah artikel di Asian Wall Street Journal. “Keajaiban Asia Timur adalah nyata. Transformasi ekonomi Asia Timur telah menjadi salah satu prestasi luar biasa dalam sejarah. Gelombang yang dramatis dalam standar hidup yang lebih tinggi , ratusan juta orang Asia.Mencakup harapan hidup lebih lama, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, dan jutaan orang lainnya telah mengentaskan dirinya dari kemiskinan, dan saat ini mengarah pada kehidupan penuh harapan. Pencapaian-pencapaian ini betul-betul nyata, dan akan jauh lebih permanen daripada kekacauan yang sering terjadi saat ini.” Menurut Stiglitz, perubahan kebijakan ini juga merepresentasikan kemajuan akademik yang impresif. Ekselensi pendidikan adalah prasyarat bagi konfidensi budaya, sehingga tak merasa inferior di hadapan bangsa lain.
Di luar faktor tersebut, kemunculan kekuatan globalisasi menciptakan kompleksitas tantangan baru. Krisis 1997-1998 bagi Asia, terutama yang melanda Indonesia dan Thailand adalah pembelajaran besar sebagai konsekuensi logis dunia yang tengah berubah dramatis tersebut. Liberalisasi dan integrasi dengan ekonomi global, menunjukkan bahwa Asia belum sepenuhnya mencapai kestabilan ekonomi meskipun dibarengi dengan eskalasi pertumbuhan ekonomi yang positif.
Lantas dimana posisi Indonesia dan Aceh kita dalam konstelasi besar tersebut?. Bagaimana kita memposisikan diri, menjadi bangsa yang tidak hanya membeo, namun juga menciptakan trend baru. Apakah dalam konteks institusi perguruan tinggi, kita akan terus bertahan hanya menjadi “mesin" pencetak sarjana un sich!, tanpa membuat perubahan dan menciptakan trend yang bisa menggiring kebijakan untuk memakmurkan Aceh masa depan. Apakah kita dibebani pertanyaan besar Mahbubani, “bisakah orang Asia berpikir?”, atau kita dibebani rasa inferior seperti premis Mahbubani berikutnya?. Begitupun, menurut Mahbubani, sisi positif ketika mengikuti pola modernitas (baca; Barat), orang Asia berkecenderungan untuk mempertahankan kepribadian Asia-nya. Sehingga realitas yang muncul kemudian adalah sintesis atau sinkretis, berupa pola pikir yang holistik, tidak terkekang oleh batasan, dan ini adalah modal dasar yang luar biasa.
hans-acehdigest doc |
Dunia Yang Berubah
Basis argumentasi di atas penting dikaji lebih mendalam untuk membangun pondasi baru ketika melakukan sebuah perubahan, reformasi atau bahkan revolusi terutama arah pembangunan pendidikan kita ke depan. Perubahan dan transformasi adalah sebuah keniscayaan bagi perguruan tinggi. Perguruan tinggi berada pada posisi yang dinamis di tengah masyarakat. Dinamika bagaimana perguruan tinggi berperan dalam masyarakat, terus menerus mengalami pembaharuan seiring dengan perubahan dan tantangan yang dihadapi.
Kini kita menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Revolusi industri adalah titik balik yang mempengaruhi hampir setiap aspek kehidupan manusia. Revolusi industri pertama dimulai ketika pada tahun 1769, Arkwright, menemukan mesin “water frame” sebagai penyempurnaan mesin Lewis. Selanjutnya bermetamorfosa menjadi “self-acting mude". Efektifitas serangkaian inovasi itu sangat revolusioner bagi industri tekstil di Inggris. Misalnya, pada awal abad 18, dibutuhkan waktu 50.000 jam untuk membuat 100 pound benang katun dengan metode manual. Mesin water frame menyingkatnya menjadi hanya 500 jam. Lalu rekor itu dipatahkan oleh mesin pemintal “ self-acting mude” karya Richard Robert dengan 135 jam saja.
Maka secara beruntun revolusi bergerak menuju Revolusi industri kedua di tahun 1870-an, dengan dimulainya produksi massal yang didukung oleh pengembangan pembangkit tenaga listrik dan pabrik-pabrik perakitan (assembly line) yang melipatgandakan produksi. Lalu revolusi industri ketiga dimulai di tahun 1960-an yang juga dikenal dengan revolusi computer atau revolusi digital. Revolusi ini ditandai kelahiran semikonduktor, mainframe computer (1960s), personal computer (1970s dan 1980s) dan internet (1990s).
Eric Schmidt dan Jared Cohen menulis dalam pengantar bukunya The New Digital Age, internet merupakan satu dari dari segelintir hal yang dibangun manusia tapi tidak benar-benar kita pahami. Yang awalnya alat transmisi informasi elektronik-deretan komputer seukuran ruangan-menjelma jadi saluran energi dan ekspresi manusia tiada batas yang ada dimana-mana dan menyentuh banyak sisi. Tak berwujud dan sekaligus terus-menerus bermutasi, internet berkembang makin besar dan makin kompleks tiap detik. Inilah sumber kebaikan yang luar biasa sekaligus benih kejahatan mengerikan, dan kita baru menyaksikan dampak mula-mulanya di panggung dunia.
Dalam sejarah planet ini, internetlah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap menit, ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak terhitung banyaknya, dalam dunia daring (online) yang tidak terikat pada hukum Bumi.
Sesungguhnya perubahan era baru itu telah diprediksi John Naisbitt dalam bukunya 8 Megatrend Asia Yang Mengubah Dunia. Salah satunya wujud perubahan trend dari industri padat karya menjadi tehnologi canggih. Ketika ekonomi global terus berubah dari abad industri ke abad informasi, kunci produktifitas bukan lagi terletak pada murahnya ongkos tenaga kerja, melainkan pada pemanfaatan tehnologi canggih sebaik-baiknya.
Menurut Naisbitt, setiap negara harus menanggapi tiga kesempatan dasar yang sama; Pertama; Membuat operasi usaha manufaktur mereka menjadi lebih efisien melalui tehnik produksi yang telah maju secara tehnologis; Kedua; Mengembangkan dan mendukung industri tehnologi canggihnya sendiri; Ketiga; Menciptakan infrastruktur telekomunikasi yang mampu mendukung ekonomi informasi dan mampu berintegrasi dengan jaringan informasi global.
Taiwan adalah contoh mikrokosmos Asia, yang beralih dari negara pertanian yang terbelakang menjadi sebuah raksasa ekonomi, hanya dalam waktu 40 tahun. Pemerintah Taiwan menyadari keuntungan komparatif dalam usaha manufaktur padat karya telah mulai surut. Mereka meningkatkan produktifitas dari padat karya ke produk yang bertehnologi tinggi dan memiliki nilai tambah yang lebih besar. Pertumbuhan Produk Nasional Brutonya, rata-rata lebih dari 9 % pada tahun 1960-an, 10,2 % pada tahun 1970-an dan 8,2 % pada tahun 1980-an. Kemakmurannya didukung oleh ekspor yang kontinyu. Sebagai bangsa pedagang ketiga belas terbesar di dunia, pada 1994 keseluruhan ekspornya mencapai $91 miliar, sementara total impornya $84 miliar. Surplus perdagangan luar negerinya adalah yang terbesar di dunia. Kini Taiwan telah merajai tehnologi canggih.
Wujud reformasinya adalah aliansi strategis dengan perusahan global terkemuka, dengan memanfaatkan tehnologi mereka. Menjadikan negaranya menjadi pusat regional bagi perusahaan-perusahaan internasional karena posisinya di tengah antara Cina Utara dan Asia Selatan. Angkatan kerja yang memiliki keahlian, besarnya modal, dan transisi panjang dalam usaha mendukung kebutuhan usaha manufaktur perusahaan multinasional menjadi andalannya. Strategi insentifnya, melonggarkan perbankan dan regulasi finansial dan pelonggaran aturan yang melarang investor institusional asing untuk memperjualbelikan saham, sebagai tanda pragmatisme politik baru oleh Taiwan.
Dan layaknya Silicon Valley, Hsinchu Science-Based Industrial Park (HSBIP), Selatan Taipei merupakan syurga bagi para insinyur yang kembali pulang ke Taiwan. Dari 155 perusahaan yang ada dikawasan tersebut, lebih dari 50 persen didirikan oleh para insinyur Taiwan yang pulang dari Silicon Valley. Komitmennya untuk memulangkan beribu-ribu orang Asia yang mendapat pendidkan di Amerika, menyodorkan kemungkinan yang amat realistis bagi pergeseran yang dramatis dalam perimbangan kekuasaan dan kekuatan tehnologi sebagaimana dirilis Bussineess Week terhadap lebih dari 100 alumni AT&T Bell Laboratories yang kembali ke Taiwan. Memposisikan negara sebagai kekuatan ekspor bidang semi konduktor dan perlengkapan multi media.
Dimana Kita dalam Perubahan Besar?
Kendati kebangkitan perguruan tinggi di Asia dipandang terlambat, namun berada dalam posisi yang relatif kuat untuk memasuki abad informasi dengan berbagai keuntungan; Pertama; Asia memiliki penduduk yang relatif muda (berkah demografi) yang memungkinkan lebih mudah beradaptasi terhadap tehnologi; Kedua; Sebagai pendatang yang terlambat dalam pembangunan, Asia memiliki kesempatan emas memasang infrastruktur canggih versi terbaru. Ketiga; Tidak perlu mendapatkan pendidikan ulang atas perubahan sistem perangkat tehnologi lama ke baru, yang diandalkan periode industrial ke pendidikan abad informasi;
Negara tetangga Indonesia, Singapura memiliki catatan rekor luar biasa dalam upayanya beralih dari tehnologi impor ke tehnologi buatan dalam negeri. Hanya 10 tahun berubah dari ekonomi pusat usaha manufaktur menjadi pusat kegiatan riset dan pengembangan, dengan kesibukan bidang komputer, tehnologi media, rekayasa dasar. Pemerintah Singapura melakukan investasi jangka panjang dalam riset dan pengembangan. Menteri Pendidikan negara itu memilki budget khusus sebesar $35,7 juta bagi riset dasar di dua universitasnya. Riset dasar mencakup bio-tehnologi dan farmasi, mikroelektronika, perangkat lunak komputer dan pencitraan komputer-computer imaging.
hans-acehdigest doc |
Kondisi ini menimbulkan kesenjangan karena terabaikannya kebutuhan kelas pengusaha dan pekerja industri. Pertumbuhan industri kurang mendapat sokongan dari penelitian di perguruan tinggi. Sebagai bentuk “perlawanan” sejumah lembaga profesi terkait industri membangun institusi perguruan tinggi yang pro industri yaitu Tehnische Hochschule. Bahkan “wabah” ini menjalar hingga Indonesia dengan kehadiran Institut Tehnologi Bandung (ITB).
Setelah melalui transformasi tiga generasi, yaitu, Humboldtian, teaching university dan research university, kini perguruan tinggi bertransformsai menuju perguruan tinggi generasi 4.0 (fourth generation university) yaitu entrepreneurial university. Elemen pokok dalam gagasan entrepreneurial university adalah pergeseran kegiatan penelitian dari basis individual menjadi kelas kolektif atau berkelompok. Perluasan misi pendidikan menjadi pendidikan untuk pengembangan organisasi di luar kampus melalui pelembagaan inkubator bisnis dan pengembangan startup companies. Lembaga ini melahirkan lulusan sarjana, organisasi baru dan perusahaan rintisan, sehingga perguruan tinggi menjadi simpul dari jaringan perusahaan-companies network.
unsyiah. sebagai salah satu perguruan tinggi utama di Aceh memegang peran sentral di tengah arus perubahan yang pesat. Konsep baru, ilmu baru, tehnologi akan bermunculan sebagai wujud perubahan tersebut. Perguruan tinggi bersama pemerintah dan multistakeholder (industri atau swasta) bekerjasama mempersiapkan sumber daya yang tanggap dengan era revolusi industri 4.0.
Komersialisasi global dan penerimaan secara luas terhadap hasil-hasil inovasi menjadi ukuran keberhasilan. Cirinya adalah adanya riset bersama antara perguruan tinggi dan industri yang sejalan dengan program pemerintah. Hilirisasi hasil-hasil riset untuk peningkatan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, sesuai dengan visi-misi pemerintah Indonesia dalam Pembangunan 2015-2020 (Nawa Cita).
hans-acehdigest doc |
Begitupun tantangan unsyiah sebagai perguruan tinggi utama bersama UIN Ar-Raniry di jantung hati kampus Darussalam, tidak hanya memfokuskan diri pada kelahiran lulusan-lulusan sarjana baru semata. Konteks Aceh dengan pilihan bersyariat adalah tantangan lain yang harus dijawab dalam kondisi perubahan tehnologi yang pesat sekalipun. Persoalan mutu intelektual harus seimbang dengan kualitas moralitas dan spiritual yang bersumbu pada kesyariatan kita.
Menjadi menarik ketika kita mencoba melihat dan belajar tentang "nalar-Islam"yang menandai lahirnya kebangkitan, yang dijabarkan Mohammed Abeid Al-Jabiri dalam faktor pendorong atau motor penggerak kebangkitan dan merupakan fakta sejarah, meliputi; Aqidah dan Dakwah; Kabilah atau Ashobiyah (solidaritas suku) dan Ghanimah (rampasan perang).
Dalam konteks pandangan modern, harus dikontekstualisasikan. Aqidah dan Dakwah, menjadi ideologi, seperti sistem ekonomi syariah. Kabilah atau Ashobiyah menjadi solidaritas kebangsaan atau organisasi modern dan Ghanimah; menjadi insentif ekonomi, misalnya untuk mengentas kemiskinan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat berazas keadilan sosial. Nalar ini diyakini mampu menjadi pendorong kebangkitan umat.
Pemikiran ini menjadi substansi penting bagi unsyiah sebagai mercusuar Aceh, karena unsyiah merepresentasikan kelahiran Sumber Daya Manusia (SDM) Aceh yang mestinya memiliki karakter dan karakteristik yang berbeda dan membedakan Aceh dengan perguruan tinggi lainnya. Lulusan unsyiah akan menjadi representasi unsyiah sendiri dalam cakupan segala bidang pembangunan di Aceh, termasuk dalam ranah pendidikan dalam semua strata, dasar, menengah, atas. Kontribusi pentingnya bagi ketersediaan SDM untuk mengisi semua ruang penting di dunia pendidikan, pemerintahan, ekonomi, industrial, hingga ranah perpolitikan.
Dalam konteks melihat tantangan globalisasi di tingkat ASEAN saja, unsyiah harus mampu memiliki daya saing yang tangguh. Dalam Kerangka kerjasama Sabang-Puket-Langkawi (Sapula), Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), maupun Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dibutuhkan sinergi kekuatan dari semua komponen termasuk dengan lembaga pendidikan lain dan institusi pemerintah di semua jenjang Pemerintahan.
Pada awal dekade 1980-an kita sudah mengenal istilah Revolusi “Triple-T” untuk menjelaskan terjadinya perubahan mendasar dalam perekonomian dunia dan hubungan ekonomi antarbangsa yang dipicu oleh perkembangan bidang tehnologi telekomunikasi, transportasi dan turisme. Revolusi ini menyebabkan pergerakan barang dan jasa serta faktor-faktor produksi mengalir ke penjuru dunia.
Dan kemudian kita akrab dengan kata globalisasi yang menggambarkan dunia tanpa batas (borderless world). Gelombang globalisasi yang melanda dunia berbeda dari segi intensitas dan cakupannya. Proses konvergensi yang kita saksikan akibat dari globalisasi dewasa ini praktis menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan (ekonomi, bisnis, budaya, politik, ideologi) melainkan juga telah menjamah ke tataran system, process, actors, dan events. Sehingga wujud strategi, kebijakan, kurikulum pendidikan perguruan tinggi menemukan tantangan yang tak lagi sederhana.
hans-acehdigest doc |
Dalam usianya yang telah dewasa, sejak kelahiran Kota Pelajar Mahasiswa (Kopelma) Darussalam, dan kelahiran Fakultas Pertama di tahun 1959, ekspektasi masyarakat terhadap unsyiah menjadi semakin besar. Maka siap tidak siap, kawah candradimuka pendidikan Aceh tersebut harus mampu menanggung konsekuensi, hadir sebagai representasi kemajuan dan perubahan pendidikan dan Aceh Baru yang dinamis. Beranjak dari era Humboldtian menuju Fourth Generation University tanpa harus kehilangan jati dirinya.[hans-acehdigest 2018].
Daftar Pustaka
Akhmaloka, Peran Dan Tantangan Perguruan Tinggi Dalam Menghadapi Revolusi Industri ke-4; Sidang Terbuka, Milad ke-57 Unsyiah 10 September, Banda Aceh, 2018.
Eric Schmidt dan Jared Cohen, Era Baru Digital oleh -The New Digital Age-Cakrawala Baru Negara Bisnis, Dan Hidup Kita-Cetakan pertama, Agustus 2014, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia); Jakarta,2014
http://gensalberto.blogspot.com/2010/12/pendidikan-yang-memanusiakan-manusia.
John Nasibitt-Megatrens Asia delapan Megatrend Asia Yang Mengubah Dunia PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta; 1997
Kishore Mahbubani, Bisakah Orang Asia Berpikir?-Can Asians Think? PT Mizan Publika,Cetakan PertamaI Agustus; Bandung, 2005
Kishore Mahbubani, Asia Hemisfer Baru Dunia; Pergerseran Kekuatan Global Ke Timur Yang Tak Terelakkan, Penerbit Kompas, Cetakan pertama, November; Jakarta, 2011
Thomas L. Friedman, The World Is Flat, PT. Dian Rakyat, cetakan pertama oktober; Jakarta, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar