Banjir di Akhir Tahun Anggaran

Oleh Hanif Sofyan-opini serambi indonesia
 http://aceh.tribunnews.com/2015/12/21/banjir-di-akhir-tahun-anggaran
DI tengah “ritual” menghabiskan anggaran 2015, peristiwa banjir yang melanda seantero nanggroe Aceh belum mendapatkan perhatian yang optimal. Para pihak yang peduli, bahu-membahu mengggalang aksi solidaritas dukungan dana untuk meringankan beban derita para korban bencana, melalui kotak amal di keramaian traffic light kota, dilengkapi dengan posko informasi bencana dan aksi demo untuk mengingatkan kebijakan yang salah dari para petinggi pemerintahan.

Tentu saja alasan kesibukan menuntaskan realisasi anggaran 2015 yang menurut pemerintah harus bisa menyentuh capaian 70% serapan menjadi basis argumentasi utamanya. Sesungguhnya persoalan bencana banjir yang secara berkala melanda Aceh menjadi persoalan klasik yang tidak pernah mendapatkan penyelesaian substansi masalah dengan benar.


Keprihatinan kita kian membuncah, mengingat tak kurang dari dua pekan mendatang kita telah dihadapkan dengan realitas terbukanya Pasar Ekonomi ASEAN di tengah kurungan bencana banjir. Sehingga wajar jika tuntutan yang kemudian muncul dan menguat dari masyarakat bukan saja pada peran pemerintah dalam memberi bantuan pascabencana. Aturan main tentang ini telah jelas, sesuai UU No.24 Tahun 2007, pengaturan kelembagaan penanggulangan bencana di daerah sampai BPBD kabupaten/kota.

Seperti diamanatkan dalam Pasal 8 UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana bukan hanya kegiatan tanggap darurat, melainkan siklus yang meliputi prabencana, tanggap darurat dan pascabencana.

Lebih jauh tuntutan juga diarahkan pada pertanggungjawaban pemerintah Aceh sebagai wujud keterwakilan rakyat yang semestinya bisa memberikan jaminan dalam ranah tata kelola lingkungan yang merujuk pada gagasan Pembangunan Berkelanjutan (PB). Dalam ruang formal, Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh (KPBA) dalam dua pertemuan termutakhir telah menyampaikan berbagai rekomendasi yang muncul sebagai bagian dari kekuatiran para pihak terhadap salah kelola lingkungan yang menyimpang dari kaidah PB.

Salah urus
Ketika banjir melanda sebagian besar wilayah Aceh, tidak semestinya hanya diselesaikan dengan bantuan darurat bencana, namun lebih jauh harus memasuki babak solusi konkret. Substansi masalah yang sesungguhnya berkaitan dengan tata kelola pembangunan lingkungan yang menyimpang, kebijakan yang tidak pro-lingkungan dan kerusakan moral hazard para pengelola pemerintahan yang lazimnya berkolaborasi dengan para pihak untuk menguras sumber daya alam yang ada.

Sebaliknya yang selalu menjadi arus utama pembahasan pemerintah, justru tindakan mengatasi bencana. Persoalan kian runyam dengan lemahnya produk dan perangkat hukum yang tajam ke bawah namun tumpul keatas. Ini membuat legitimasi lembaga hukum tidak memiliki “taring” untuk menyeret para pembalak dan pelaku ketidakadilan lingkungan ke meja hijau dan membuat jera. Hingga saat ini tidak ada kasus berkaitan dengan perusakan lingkungan yang menjadi musabab utama kerusakan lingkungan, terutama banjir rutin yang secara signifikan dapat memuaskan rasa keadilan masyarakat secara hukum.

Lagi-lagi kita selalu gagal fokus dalam menyikapi banyak persoalan bencana. Persoalan bencana ini menjadi bagian dari kebingungan publik dalam melihat apa sesungguhnya yang salah dengan nanggroe kita. Puluhan produk hukum dari qanun hingga UU setiap tahunnya, telah melengkapi kebutuhan untuk mengerem bencana, namun hingga saat ini tidak menjadi medium yang tepat dan efektif menyelesaikan masalah.

Bahkan gagasan ideal Kaukus Pembangunan Berkelanjutan Aceh pun, mulai terlihat kedodoran dalam menyikapi realitas bencana, dan nyaris terjebak pada formalitas seremoni belaka. Meski harus diapresiasi, bahwa perhelatan tersebut sebagai bagian dari inisiatif serius untuk merangkul para pihak terutama kalangan akademisi untuk berkolaborasi dengan seluruh komponen pemerintahan Aceh, sekalipun belum menghasilkan solusi terbaik.

Belum menjadi pilihan kata yang tepat mengingat optimalisasi rekomendasi dari hasil pertemuan KPBA ternyata belum kongkrit dan belum menguatkan untuk mendorong terimplementasinya kebijakan pro lingkungan, padahal kolaborasi KPBA berisi para petinggi parlemen yang memiliki peluang lebih besar untuk mendorong dipatuhinya berbagai kebijakan yang telah dilahirkan, sehingga dapat memuaskan “dahaga” kita terselenggaranya pemerintahah bersih (good governance).

Realitas bencana hari ini semestinya menjadi momentum membuktikan komitmen yang ditindaklanjuti dengan penerapan kebijakan secara serius. Secara bertahap dimulai dengan penanganan paska bencana dan berikutnya adalah mengimplementasikan produk kebijakan pro lingkungan yang ada dengan dukungan seluruh komponen, akademisi, pengusaha, keamanan, pemerintahan Aceh dan parlemen, agar bencana yang musababnya berasal dari implementasi kebijakan yang salah tidak menjadi “mata rantai bencana” yang berkelanjutan.

Butuh komitmen
Ada tantangan lebih menarik dalam konteks masa depan Aceh mengatasi persoalan bencana yang berkelanjutan dengan kontestasi pemimpin Aceh mendatang. Wacana yang harus didorong secara simultan yang tidak bisa ditawar adalah prasyarat calon kepala daerah yang bersih, bermoral dan berintegritas, tapi juga mempertimbangkan calon kepala daerah yang memiliki kepedulian terhadap pengurangan risiko bencana dan penanggulangan bencana. Masyarakat membutuhkan komitmen calon kepala daerah harus ada visi misi jelas, dalam jangka pendek, menengah dan panjang untuk memutus mata rantai bencana melalui pola kebijakan yang akan dijalankannya.

Penambahan kriteria terhadap para calon kepala daerah tersebut oleh masyarakat bukan tanpa sebab. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR), Indonesia merupakan negara paling rawan bencana di dunia. Banyaknya penduduk yang terpapar dan hasil pembangunan di daerah rawan bencana mengakibatkan risiko bencana dalam kategori tinggi. Indeks Risiko Bencana 2013 yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), wilayah Indonesia berpotensi digerus 12 ancaman bencana. Kerugian ekonomi dalam kurun waktu 10 tahun (2004-2013), Indonesia dilanda beragam bencana besar dengan total kerugian mencapai Rp 126,9 triliun. (Tempo, 13/12/2015)

Pada titik ini, calon kepala daerah yang akan bertarung dalam kontestasi saat pilkada mendatang harus memiliki komitmen yang jelas serta visi, misi terhadap tata kelola pembangunan lingkungan yang berkelanjutan, sehingga ke depan risiko bencana dapat diminimalisir. Meskipun ini telah menjadi tuntutan yang klasik, namun penting terus disuarakan dan didorong secara masif untuk makin mencerdaskan konstituen agar bisa memilih pimpinan lebih realistis. Tentu kita tidak menafikan kemungkinan kegagalan dalam memilih pemimpin berdasarkan kriteria yang benar, mengingat dalam politik yang nyata, politik uang dan kekuasaan masih menjadi raja dan momok menakutkan yang menjungkirkan nalar kita.

Dalam konteks politik di Aceh, persoalan adanya tekanan dari kelompok kepentingan tertentu yang cenderung memaksa, bahkan mengintimidasi telah menjadi sesuatu yang jamak dan harus disikapi dengan bijaksana. Tentu bukan tanggung jawab kita bisa memuaskan semua kepentingan-kepentingan politik yang ada, tugas kita dalam selemah-lemah iman adalah memilih pemimpin yang tepat dengan mendengarkan suara hati nurani kita sendiri. Setidaknya, Ini menjadi satu harapan terakhir kita memutus lingkaran setan bencana yang terus berkelanjutan.

Hanif Sofyan, pegiat lingkungan Konsorsium Padhi Aceh, Tanjung Selamat, Aceh Besar. Email: acehdigest@gmail.com