Jalan Panjang Bank Aceh Syariah

Oleh Apridar
http://aceh.tribunnews.com/2015/02/18/jalan-panjang-bank-aceh-syariah
PEMBENTUKAN Bank Aceh Syariah secara mandiri tampaknya perlu didiskusikan kembali. Ide Pemerintah Aceh untuk memisahkan Bank Aceh Syariah dari Bank Aceh (spin off), tampaknya perlu dikaji kembali. Jalan panjang pembentukan Bank Aceh Syariah secara mandiri akan menjadi isu menarik untuk didiskusikan sepanjang tahun ini. Pasalnya, pengesahan Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Perioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBA 2015 baru-baru ini tidak menampung penyertaan modal untuk pendirian bank itu.

Artinya, tahun ini, Bank Aceh Syariah secara mandiri hanya tertulis pada kertas Qanun pendirian bank tersebut yang telah disahkan oleh DPRA. Pro-kontra, silang pendapat, dan saling tuding antara DPRA dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) soal penyertaan modal bank itu menyertai rapat-rapat meletihkan pembahasan anggaran tahun ini. Namun, poin akhir adalah modal bank itu tidak tertampung (KUA-PPAS) APBA 2015.


Jika merujuk literatur sejarah, Unit Usaha Syariah yang kemudian dikenal sebagai Bank Aceh Syariah baru didirikan pada 28 Desember 2001 --terpaut 43 tahun-- sejak Bank Aceh berdiri. Atau setidak-tidaknya Unit Usaha Syariah Bank Aceh terpaut sembilan tahun dari pendirian bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat. Tampaknya, pimpinan daerah dan pimpinan Bank Aceh butuh waktu cukup lama untuk merumuskan pendirian Unit Usaha Syariah bank itu.

Memecah kebuntuan
Perdebatan pernyetaan modal Bank Aceh Syariah sejatinya tidak perlu terjadi, jika kita memikirkan beberapa opsi yang memungkinkan untuk berdirinya bank syariah milik Pemerintah Aceh dibumikan dengan 99 persen penduduk muslim itu. Tulisan ini, mencoba memberikan beberapa alternatif untuk memecah kebuntuan persoalan bank syariah tersebut?

Pertama, opsi spin off, tampaknya patut dikaji ulang. Hal ini mengingat, efisiensi anggaran untuk sektor pembangunan dan pemberdayaan rakyat dalam APBA. Jika mendirikan Bank Aceh Syariah setidak-tidaknya membutuhkan modal sebesar Rp 500 miliar, lalu mengapa memilih opsi spin off? Sejatinya, opsi yang dipilih adalah mengubah Bank Aceh manjadi Bank Aceh Syariah. Sehingga, seluruh aset bank tersebut menjadi aset Bank Aceh Syariah dan tidak diperlukan penyertaan modal yang bersumber dari dana publik dalam APBA.

Saat ini, aset Bank Aceh sekitar Rp 16 triliun lebih. Dana publik di APBA bisa dialihkan untuk mengentaskan angka kemiskinan, mengurangi angka pengangguran, mendorong pertumbuhan ekonomi sektor rill, memperbaiki infrastruktur, pendidikan dan kesehatan. Sehingga, Aceh lima tahun mendatang akan menjadi Aceh baru yang mampu mengentaskan persoalan mendasar rakyat yaitu kebodohan, kemiskinan, pengangguran, infrastruktur dan kesehatan.

Kedua, Pemerintah Aceh juga memiliki Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Mustaqim Suka Makmur. Bank konvensional plat merah itu memiliki aset Rp 108 miliar lebih. Jika kita dan seluruh rakyat Aceh sejak awal telah sepakat bahwa provinsi ini menerapkan syariat Islam secara kaffah, sejatinya bank milik pemerintah daerah harus mengacu pada konsep syariah.

Bank Aceh dan BPR Mustaqim patut dilebur menjadi satu yaitu Bank Aceh Syariah. Sehingga, modal bank semakin bertambah dan bisa digunakan untuk memicu agresifitas pengembangan bank tersebut. Jika ini dilakukan, maka opsi penyertaan modal dari APBA patut diabaikan.

Ketiga, mengapa perlu melebur bank milik Pemerintah Aceh menjadi satu bank saja? Hukum Islam menyebutkan bunga bank yang diterapkan pada sistem bank konvensional adalah riba. Sejatinya, sebagai “negeri” yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, praktik riba patut ditiadakan. Pemerintah Aceh idealnya fokus pada konsep bank syariah, sehingga kata kaffah benar-benar membumikan sistem syariah dalam semua sektor di Aceh, termasuk sektor perbankan.

Praktik perbankan
Penerapan syariat bukan hanya pada tataran pakaian, maisir dan khamar saja. Namun, juga mengakar pada praktik perbankan kita, setidak-tidaknya bank yang dimiliki Pemerintah Aceh. Bukankah, seluruh aktivitas keuangan yang bersumber dari APBA/APBK menggunakan jasa Bank Aceh? Sehingga, masyarakat Aceh setidaknya yang menerima dana APBA/APBK, baik itu kontraktor, kelompok masyarakat penerima dana hibah, mahasiswa penerima beasiswa, pegawai pemda dan lain sebagainya tak bisa menghindari bunga bank konvensional yang riba tersebut.

Dari sisi pengembangan, pengalaman Kementerian badan Usaha Milik Negara (BUMN) RI yang menyatukan bank milik pemerintah menjadi satu bank yaitu Bank Mandiri pada 31 Juli 1999 patut dijadikan referensi. Saat itu, Kementerian BUMN menyatukan empat bank milik pemerintah yaitu Bank Export-Import (Exim), Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) menjadi Bank Mandiri.

Perlu diketahui bahwa saat ini Bank Mandiri tercatat sebagai bank terbesar di Indonesia. Lalu, pengalaman Bank Jabar Banten (BJB) yang kini mulai merambah ke seluruh Nusantara. Manyoritas saham BJB dimiliki oleh Pemerintah Jawa Barat dan Pemerintah Provinsi Banten. Kekuatan modal dan manajemen profesional bank ini membuat bank berkembang pesan dan menjangkau ke hampir seluruh wilayah Tanah Air.

Konsep ini perlu ditiru oleh Aceh. Sehingga, ke depan, Bank Aceh Syariah menjadi satu bank terbesar di Indonesia, menjangkau seluruh kepulauan di nusantara dan kantung-kantung masyarakat Aceh di luar negeri. Potensi pasar luar negeri patut diperhitungkan mengingat kantung masyarakat Aceh tersebar di sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura dan Arab Saudi. Pada akhirnya, kita mengimpikan, Bank Aceh Syariah menjangkau seluruh rakyat Aceh di penjuru dunia, juga melayani masyarakat suku bangsa lainnya di Nusantara. Kini, good will pemerintahlah yang menentukan jalan panjang berdirinya Bank Aceh segera berakhir. Apakah jalan itu akan menemukan jalan buntu, berbatu dan berdebu? Atau kita harus menunggu puluhan tahun untuk melihat Bank Aceh Syariah berdiri di nanggroe endatu ini? Entahlah.

* Prof. Dr. H. Apridar, SE., M.Si., Guru Besar Ekonomi dan Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe. Email: apridarunimal@yahoo.com