Label

# (2) 100 buku (1) 1001 Cerita membangun Indonesia (1) 2016 (1) 2019 prabowo presiden (1) 2019 tetap jokowi (1) 2020 (1) 2021 (2) 21 tahun (1) 21 wasiat Sultan untu Aceh (2) 49 tahun IAIN Araniry (2) 99 buku (1) a ceh bahan buku (1) Abu Mudi (1) aceh (11) Aceh Barat (2) aceh digest (1) aceh history (2) aceh kode (2) aceh kopi (1) Aceh Singkil (1) aceh tengah (3) Aceh Tourism (2) Adat Aceh (3) agama (25) Air Bersih (2) aisya (1) Alue Naga (1) amazon (1) aminullah (1) anehnya negeriku indonesia (3) anggaran nanggroe aceh (1) anies (1) APBA (6) apresiasi serambi indonesia (1) arsip (1) artikel hanif (74) artikel kompas (1) artikel nabil azra (3) artikel rini (4) Artikel Serambi (9) artikel serambi-tokoh sastra melayu (2) artikel Tanah Rencong (1) artikel trans89.com (1) artikel/opini Modus Aceh (1) arundati roy (1) asia (1) asuransi (2) atlas of places (1) australia (1) Ayam (1) bacaan hari raya (1) bahan buku (106) bahan buku aceh (1) bahan buku kolaborasi (2) bahan buku. (12) bahan tulisan (1) bahana buku (1) bahasa (2) Banda Aceh (1) Bank Aceh syariah (1) Bank syariah Indonesia (1) batu (1) bawaslu (1) bencana alam (7) bendera dan lambang (1) Berbagi (1) berita nabil (1) berita serambi (1) berkeadilan (1) BHR (1) Bie Da Rao Wo Zhong Tian (1) bill gates (2) Bioscoop (1) Bioskop (1) birokrasi (1) birokrasi politik (1) Blogger Competition 2017 (1) Blogger Indonesia (1) BMA 2023 (3) Bola Kaki (1) book (1) BP2A (1) BPBA (1) BSI (1) budaya (83) budaya aceh (12) budaya massa (1) budaya tradisional (2) bukit barisan (1) buku (7) buku covid anak (1) Buku kapolri (1) bulkstore (2) bullying (1) bumi (2) bumi kita (1) bumi lestari (2) bumiku satu (1) Buyakrueng tedong-dong (1) cadabra (1) cerdas (1) cerita (2) cerpen (2) child abuse (1) climate change (3) Connecting Happiness (3) ConnectingHappiness (1) Cormoran Strike (1) Corona (1) corona virus19 (2) covid (1) Covid-19 (1) covid19 (9) CSR (1) cuplikan (1) Cut Nyak Dhien (1) dakwah kreatid (2) Dana Hibah (2) dara baroe (1) Data (1) dayah (4) De Atjehers (1) demam giok (1) Democrazy? (5) demokrasi (10) demokrasi aceh (6) diaspora (1) dinasti politik (3) diplomasi gajah (1) Ditlantas Meupep-pep (1) diva (1) DKPP (1) Don’t Disturb Me Farming (1) DPRA (1) dr jeckyl (1) Drama (1) drive book not cars (2) dua tahun BSI (1) Dusun Podiamat (1) earth hour (2) earth hour 2012 (2) ekonmi islam (1) Ekonomi (52) Ekonomi Aceh (51) ekonomi biru (1) ekonomi Islam (7) ekonomi sirkular (2) ekoomi (1) Ekosistem kopi (1) eksport import (1) Elizabeth Kolbert (1) essay (1) essay keren (1) essay nabil azra (1) falcon (1) fiksi (1) Film (6) Film animasi (1) film china (1) film cina (1) film drama (3) Film jadul (1) film lawas (1) filsafat (2) fir'aun (1) forum warga kota (1) forum warung kopi (2) FOTO ACEH (2) fourth generation university (2) GAIA (1) gajah sumatera (1) gam cantoi (2) gambar (1) ganjar (1) Garis Wallacea (1) garis Weber (1) Gas Terus (1) GasssTerusSemangatKreativitasnya (1) gempa (2) gender (3) generasi manusia (1) germs (1) gibran. jokowi (1) Gillian Rubinstein (1) god (1) goenawan mohamad (1) gramedia (1) groomer (1) grooming (1) gubernur (2) guiness book of record (1) guru (1) guru blusukan (1) guru kreatif (1) guru milenial (1) H. Soeprapto Soeparno (1) hacker cilik (1) Hadih Maja (1) Halodoc (1) Halue Bluek (1) hanibal lechter (1) hanif sofyan (7) hardikda (1) hari Air Sedunia (3) hari bumi (2) Hari gizi (1) hari hoaxs nasional (2) harry potter (1) hasan tiro (1) hastag (1) hemat energi (1) herman (1) Hikayat Aceh (2) hoaks (2) hoax (2) hobbies (1) hoegeng (1) HUDA (1) hukum (3) humboldtian (1) hutan indonesia (5) ibadah (1) ide baru (1) ide buku (2) idelisme (1) ideologi (1) idul fitri 2011 (1) iklan (1) Iklan Bagus (2) indonesia (4) Indonesia city Expo 2011 (1) industri (1) inovasi (1) Inovasi Program (1) intat linto (1) intermezo (5) internet dan anal-anak (1) investasi (2) investasi aceh (1) Iran (1) isatana merdeka (1) Islam (1) islam itu indah (3) Islamic banking (1) ismail bolong (1) Ismail Fahmi Lubis (1) IT (4) jalur Rempah (2) Jalur Rempah Dunia (2) Jalur rempah Nusantara (2) jeff bezzos (1) Jejak Belanda di Aceh (1) jepang (1) jk rowling (2) JNE (5) JNE Banda Aceh (1) JNE33Tahun (1) JNEContentCompetition2024 (1) joanne kathleen rowling (1) jokoei (1) jokowi (1) juara 1 BMA kupasi 2023 (1) juara 1 jurnalis (1) juara 2 BMA kupasi (1) juara 3 BMA kupasi 2023 (1) jurnal blajakarta (1) jurnal walisongo (1) jurnalisme warga (1) kadisdik (1) kaki kuasa (1) kalender masehi (1) kambing hitam (1) kampanye (1) kampus unsyiah (4) kamuflase (1) karakter (1) kasus kanjuruhan (1) kasus sambo (1) kaya (1) KBR (1) kebersihan (1) Kebudayaan Aceh (7) Kebumen (1) kedai kupi (1) kedai-kopi (1) Kedokteran (1) kedokteran Islam (1) kejahatan anak (1) kejahatan seksual anak (1) kekuasaan. (1) kelas menulis SMAN 5 (4) kelautan (4) keluarga berencana (1) Keluarga Ring Of Fire (1) kemenag (1) kemiskinan (2) kemukiman (2) kepemimpinan. (2) kepribadian (1) Kepribadian Muslim (1) kerajaan Aceh (2) kerja keras (1) kesehatan (13) kesehatan anak (4) keuangan (1) keuangan aceh (1) khaled hosseini (1) Khanduri Maulod (1) khutbah jumat (1) king maker (1) kirim naskah (1) Kisah (1) Kisah Islami (1) kite runner (1) KKR (2) KoescPlus (1) koleksi buku bagus (4) koleksi foto (2) Koleksi Kontribusi Buku (1) koleksi tulisanku (2) kolom kompas (1) kolom kompas hanif sofyan (2) kolom tempo (2) kompetensi siswa (1) Komunikasi (1) komunitas-serambi mihrab (1) konsumerisme (1) Kontribusi Hanif Sofyan untuk Buku (3) Kopi (2) kopi aceh (5) kopi gayo (2) kopi gayo.kopi aceh (1) kopi libri (1) Korupsi (7) korupsi di Aceh (4) kota masa depan (1) kota yang hilang (1) KPK (2) KPU (1) kredo (1) kriminal (1) krisis air (2) ku'eh (1) Kuliner Aceh (2) kultum (2) kupasi (1) kurikulum 2013 (1) kwikku (1) Labschool UIN Ar Raniry Banda Aceh (1) lain-lain (1) lalu lintas (1) lambang dab bendera (4) laut (1) Laut Aceh (1) Laut Biru (1) lebaran 2025 (1) legenda (1) Li Zhuo (1) lian hearn (1) Library (1) Library Gift Shop (2) lifestyle (1) limapuluah koto (1) Lin Xian (1) lincah (1) Lingkungan (42) lintho (1) listrik aceh (1) LNR (1) Lomba artikel 2016 (4) Lomba blog 2016 (1) lomba blog unsyiah 2018 (1) Lomba Blogger Unsyiah (2) lomba JNE (1) lomba mneulis asuransi (1) LSM-NGO (3) M nasir Fekon (1) Maek (1) maekfestival (1) magazine (1) makam (1) malcom gladwell (1) manajemen (2) manipulatif (1) manusia (2) marginal (1) Masyarakat Urban. (1) Mauled (1) maulid (2) Maulod (1) Media (1) megawati (1) Melinjo (1) Memberi (1) menhir (1) Menyantuni (1) mesjid baiturahman (2) Meulaboh (1) MH Amiruddin (1) migas (1) mimbar jum'at (1) minangkabau (1) Misbar (1) misi (1) mitigasi bencana (5) molod (1) moral (1) More Than Just A Library (2) motivasi (1) MTSN 4 Labschool UIN Ar Raniry (1) MTSN4 Banda Aceh (1) mukim (2) mulieng (1) museum (2) museum aceh (2) Museum Tsunami Aceh (4) music (1) Music show (1) musik (1) muslim produktif (1) musrenbang (1) Nabi Muhammad (2) naga (1) nagari seribu menhir (1) narkotika (1) naskah asli (3) Naskah Kuno Aceh (2) Negeri rempah terbaik (1) nelayan (1) new normal (1) Nina Fathdini (1) novel (1) Nubuah (1) Nusantara (1) off road (1) olahraga (2) one day one surah (1) opini (5) opini aceh tribun (2) opini analisadaily.com (1) opini bebas (1) Opini di lentera (1) opini hanif (1) opini hanif di serambi indonesia (4) opini hanif sofyan (1) Opini Hanif Sofyan di Kompas.id (1) opini hanif sofyan di steemit (1) opini harian aceh (4) Opini Harian Waspada (1) opini kompasiana (2) opini lintas gayo (11) opini lintas gayo com (1) opini LintasGayo.co (2) opini majalah tanah rencong (1) opini nabil azra (1) opini rini wulandari (1) opini serambi (43) opini serambi indoensia (4) opini serambi indonesia (169) opini siswa (4) opini tabloid lintas gayo (5) opini tempo (1) otsus (1) OYPMK (1) pandemi (1) pandemi covid-19 (9) papua (1) Pariwisata (3) pariwisata aceh (1) parlemen aceh politik aceh (8) pawang (1) PDAM (1) PDIP (1) pelosok negeri (1) Peluang Pasar (1) pemanasan global. green energy (1) pembangunan (29) pembangunan aceh (1) pemerintah (4) pemerintahan (1) pemilu 2014 (5) pemilu pilkada (1) pemilukada (9) Pemilukada Aceh (14) penddikan (2) pendidikan (29) pendidikan Aceh (27) penjahat kambuhan (1) penyair aceh (1) Penyakit kusta (1) Perbankan (3) perbankan islam (3) perdamaian (1) perempuan (8) perempuan Aceh (5) perempuan dan ibu (1) perempuan dan politik (2) perikanan (1) perpustakaan (2) perputakaan (1) personal (2) personal-ekonomi (1) pertanian (2) perusahaan ekspedisi (1) perusahaan logistik (1) perwira tinggi polri (1) pesantren (2) Pesta Demokrasi (1) pidie (1) pileg (1) pileg 2019 (2) pilkada (14) pilpres (2) pilpres 2019 (3) pilpres 2024 (2) PKK Aceh (1) plastik (1) PNS (1) polisi (2) polisi jahat (1) politik (115) politik aceh (160) politik indonesia (3) politik KPK versus korupsi (4) politik nasional (4) politis (1) politisasi (1) politk (5) Polri (1) polri presisi (1) popular (1) poster. (1) prabowo (2) prediktif (1) presiden (1) presiden 2019-2024 (1) PRESISI POLRI (1) produktifitas (1) PROFIL (1) propaganda (1) psikologi (2) psikologi anak (1) psikologi pendidikan (1) psikologis (1) Pulo Aceh (1) PUSA (2) pustaka (1) qanun (1) qanun Anti rentenir (1) Qanun LKS (2) Qu Meng Ru (1) ramadan (1) ramadhan (2) Ramadhan 2011 (4) ramadhan 2012 (2) rawa tripa (1) recycle (1) reduce (1) reformasi birokrasi (1) religius (1) Resensi buku (3) Resensi Buku hanif (2) resensi film (2) resensi hanif (2) residivis (1) resolusi. 2021 (2) responsibility (1) reuse (1) review buku (1) revolusi industri (1) robert galbraith (1) rohingya (1) Romansa (1) romantisme kanak-kanak (1) RPJM Aceh (3) RTRWA (2) ruang kelas (1) rujak u grouh apaloet (1) rumbia aceh (1) sains (1) Samalanga (1) sampah (1) satria mahardika (1) satu guru satu buku (1) satwa liar (1) secangkir kopi (1) sejarah (9) sejarah Aceh (28) sejarah Aceh. (3) sejarah dunia (1) sejarah-bahasa (5) sekda (1) sekolah (1) sekolah terpencil (1) selfie politik (1) Servant Leadership (1) setahun polri presisi (1) setapak perubahan (1) sigit listyo (1) sikoat (1) Sineas Aceh (2) Sinema Aceh (2) sinovac (1) situs (1) snapshot (1) sosial (14) sosiologi (1) sosiopat (1) SOSOK.TOKOH ACEH (3) spesies (1) statistik (1) Stigma (1) Stop Bajak Karya Online (1) sultan iskandar muda (1) sumatera barat (1) sustainable laundry (1) syariat islam (7) TA sakti (1) tahun baru (2) tambang aceh (1) tambang ilegal (1) tanah rencong (1) tantang IB (1) Tata Kelola pemerintahan (4) tata kota (2) TDMRC (1) Tehani Wessely (1) tehnologi (5) televisi (1) Tenaga kerja (2) terbit buku (1) the cucko'scalling (1) Thriller (1) timor leste (1) tips (3) tokoh dunia (1) tokoh kartun serambi (2) tradisi (2) tradisi aceh (2) tradisional (1) transparansi (1) tsunami (9) Tsunami Aceh (9) Tsunami story Teller (2) tuan hide (1) tukang obat (1) tulisan ringan (1) TUmbuh seimbang berkelanjutan bersama BSI (1) TV Aceh (1) tv dan anak-anak (3) uang haram (1) ujaran kebencian (1) ulama aceh (7) UMKM (1) Unsyiah (2) Unsyiah Library (3) Unsyiah Library Fiesta 2017 (3) upeti (1) upeti jin (1) ureung aceh (1) vaksin (2) viral (1) visi (1) Visit Aceh (2) Visit Banda Aceh (7) Visit Banda Aceh 2011 (4) walhi goes to school (1) wali nanggroe (3) walikota 2014 (1) wanita Iran (1) warung kupi (2) wirausaha aceh (1) Wisata Aceh (5) wisata spiritual (2) wisata tematik jalur rempah (1) Yayat Supriyatna (1) youtube (2) YouTube YoYo English Channel (1) YPBB (1) zero waste (2) Zhuang Xiao Man (1)

Rabu, 04 Juni 2014

Refleksi Perang Belanda

Oleh Nia Deliana-opini serambi indonesia
http://aceh.tribunnews.com/2014/03/26/refleksi-perang-belanda
HARI ini, 141 tahun silam atau tepatnya pada 26 Maret 1873 adalah hari dimana kemerdekaan Aceh untuk pertama kalinya direnggut dan dipersengketakan secara terbuka. Peperangan Aceh melawan Belanda adalah sebuah kisah memilukan; mulai dari justifikasi sepihak Belanda melakukan penyerangan ke Aceh hingga cara licik mereka untuk membuat kesultanan Aceh bertekuk lutut. Bergelut selama 40 tahun lebih, Perang Belanda tidak hanya meyebabkan ratusan ribu aneuk nanggroe terbaik syahid, tapi juga meyebabkan perpecahan internal yang belum mampu disembuhkan hingga hari ini.


Sudah sejak lama, liberte kesultanan Aceh menjadi duri dalam proyek pasifikasi Belanda di India Timur (sekarang Indonesia). Di samping pemerkosaan wilayah-wilayah yang tunduk di bawah kedaulatan Aceh Sumatera sejak awal abad ke-19, permintaan Belanda agar Aceh takluk di bawah wewenangnya dikemukakan sejak 1867. Penolakan Sultan Ibrahim (w.1870) dan Sultan Mahmud Syah (1870-1874) berakhir dengan ekspedisi militer pada 1873. Meskipun ekspedisi 26 Maret 1873 dimenangkan oleh tentara-tentara Aceh, ekspedisi 1874 berakhir dengan kekalahan yang disebabkan oleh bencana penyakit kolera dan pahitnya pengkhianatan Meuraksa.

Sepanjang sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda, Aceh merupakan mangsa utama perpecahan internal. Belanda memanfaatkan sebaik mungkin setiap kesempatan lewat strateginya yang terkenal devide et empera. Contohnya, ketika Sultan Mahmud Syah dirumorkan berselisih dengan Teuku Hasyim Banta Muda, komandan militer handal, Belanda langsung mengirimkan seseorang untuk mennyelidiki rumor tersebut dan memerintahkan untuk mengait siapa pun yang dekat dengan kedua pihak tersebut ke dalam pangkuan Belanda. Menyadari perspektif licik dari pihak Belanda, Teuku Hasyim Banta Muda mendamaikan diri dengan Sultan. Pembunuhan terhadap raja-raja yang membelot tidak terjadi karena semata-mata mereka menundukkan diri pada musuh tapi lebih kepada akibat bantuan mereka terhadap pelaksanaan sistem jajahan Belanda, misalnya, ketika mereka mengucapkan sumpah setia pada Belanda, mereka dihadiahi tanah atau bahkan kawasan untuk mereka kelola sebagaimana yang diinginkan, tentu tanpa melupakan penerapan pajak dan aturan-aturan kolonial lainnya yang memperparah kemelaratan rakyat jelata. Selain itu, kesewenang-wenangan uleebalang juga tidak luput dari kemarahan masyarakat awam. Satu contoh lain adalah, sebagaimana yang disebutkan Wieringa (1998), kisah pahit hubungan Teuku Umar dan Dokarim atau Abdokarim. Dokarim dikenal sebagai pelantun sajak-sajak penyemangat perang. Hingga sebelum ia bertemu dengan Snouck Hurgronje, Dokarim dianggap sebagai salah satu pihak terpercaya. Teuku Umar misalnya diketahui sering memberikannya hadiah. Namun ketika Dokarim menjadi penunjuk jalan dan agen informasi Belanda di Aceh dan syair-syairnya mulai berisikan pujaan terhadap kompeuni, ia dikecam hingga pada akhirnya tewas di tangan Teuku Umar sendiri pada 1897. Islam sebagai pondasi Selama pertikaian-pertikaian internal terjadi, tidak hanya ulama tapi juga pendukung pendukung elite kesultanan yang terdiri dari para uleebalang taat hadir sebagai aktor pembentuk mindset rakyat Aceh untuk bahu membahu, menyatu demi membebaskan tanah air dari penjajahan dan imperialisme. Mereka menyadari bahwa hanya kesamaan identitas yang mempu menyatukan sebuah bangsa. Islam terbukti merupakan satu-satunya kesamaan yang dimiliki oleh segenap rakyat Aceh. Tidak mengherankan jika pihak penguasa seperti ulama, Sultan, dan jajaran penasihatnya mampu menyatukan semua unsur dalam masyarakat Aceh dengan Islam sebagai pondasi. Satu strategi utama yang mereka lakukan adalah merevitalisasi fungsi mesjid, dayah, dan meunasah, menjadi pusat penyebaran pengetahuan tidak hanya prang sabi, tapi juga pengetahuan-pengetahuan keislaman lainnya. Di sana juga lahirnya hikayat-hikayat yang menggelorakan semangat Aceh dalam mempertahankan negerinya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika- tidak hanya lelaki- angka-angka perempuan dan anak-anak yang mengikutertakan diri dalam peperangan kian meningkat. Persatuan rakyat Aceh melawan Belanda dapat dibuktikan dengan laporan-laporan perlawanan yang berasal dari seluruh Aceh. Pada masa perlawanan-perlawanan terbuka tahun 1874, peperangan berpusat di wilayah-wilayah strategis seperti Aceh Besar. Berapapun jumlah tenteranya, yang paling penting adalah, kesemua tentara itu turun dari berbagai kawasan di Aceh termasuk, Tapaktuan, Meulaboh, Gayo dan Idie, Pidie, Sigli, Lamno, dan sebagainya. Ketika peperangan dilakukan secara gerilya sejak 1875 keseragaman komitmen pejuang-pejuang Aceh dapat dirasakan dari seluruh pelosok negeri seperti yang dilaporkan Mayor A Doup, general Belanda yang menduduki Tapaktuan kala itu. Ketika sebagian besar wilayah di Indonesia telah dijajah oleh Belanda, mengapa Aceh masih satu-satunya negeri yang mampu berdiri sendiri? Alasannya adalah karena Aceh memiliki tradisi intelektual yang tertuang dalam pegangan hukum internasional sebagaimana tersirat dalam berbagai traktat. Traktat 1819 dan traktat 1824 dengan Inggris adalah salah satu yang menopang kemerdekaan Aceh pada abad ke-19. Traktat yang kedua tersebut baru berakhir dengan penandatangan traktat lain tahun 1871, dimana, tanpa keterlibatan Aceh dalam meja bundar, Belanda dan Inggris setuju untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri Aceh dalam bentuk apapun. Secara natural, Belanda yang ingin memperluas kawasan jajahannya melihat keharusan untuk menaklukkan Aceh. Meskipun begitu, Aceh masih terjaga untuk meminimalisasi pertumpahan darah dengan kertas, pena dan negosiasi untuk melobi setiap Negara Muslim dan non-Muslim tidak hanya demi mendapatkan bantuan tapi juga sekaligus mengulur waktu Belanda untuk menggempur tanah Aceh. Setidaknya, berkat surat-menyurat ini, serangan ke-2 Belanda telah tertunda hingga 4 bulan sejak pengiriman ekspedisinya pada November 1873. Pahitnya, tidak ada satu negeri pun yang mampu mengulurkan tangan membantu Aceh, baik Itali, Prancis, Amerika, Inggris, atau bahkan Turki. Dengan kondisi kesultanan Aceh yang lemah dan komitmennya dalam menolak perampasan kemerdekaan, Aceh memilih perang sebagai jalan terakhir, perang yang kemudian menjadi sumber bangkrutnya militer dan administrasi Belanda di India Timur. Hikayat ‘Prang Sabi’ Bagaimana Aceh mampu bersatu melakukan perang selama 40 tahun padahal Belanda telah memblokade perdagangan pantai yang bahkan mengakibatkan kelaparan dan kelemahan senjata tempur, melarang penunaian haji, meminta bayaran pajak yang mahal, dan lain-lain. Hanya ada satu jawaban popular dan jawaban tersebut pun mencerminkan intelektualitas elite Aceh yang mengerti makna sebuah tulisan dan bacaan, yaitu, Hikayat Prang Sabi. Meskipun Snouck Hurgronje atau yang lebih dikenal sebagai Seuneut oleh orang Aceh, menyebut bahwa sebelum ia menuliskan hikayat yang dibacakan oleh Dokarim sendiri, belum ada hikayat-hikayat lain yang terekam dalam bentuk tulisan kecuali dengan oral saja. Namun kenyataannya, tradisi penulisan sastra semacam ini telah ada sejak awal abad ke 18. Hikayat Prang Sabi, dengan fleksibilitas kandungan yang dapat diubah berdasarkan perkembangan situasi pada masa itu, mengalami penyalinan ratusan kali dan peredaran yang begitu luas yang menyebabkan Belanda ketakutan dengan keberadaan hikayat-hikayat tersebut. Mereka memerintahkan penyisiran hikayat bernada perang di setiap rumah dan membakarnya. Bahkan jika ada orang Aceh yang diketahui mempertahankannya akan dibunuh. Baik saat masa penentangan penjajahan Jepang atau perjuangan Daud Beureueh mewujudkan Negara Islam DI/TII, hingga periode Teungku Muhammad Hasan Ditiro (1925-2010), kesadaran Aceh mengenai kekuatan tulisan dan dialog masih tersisa. Hasan Ditiro adalah seorang negosiator handal yang tidak lupa untuk melahirkan tulisan-tulisan dengan orasi menggugah. Beliau menyadari bahwa demi sampai pada pintu tujuan, masyarakat terlebih dulu harus dibimbing dan disadarkan dengan pengetahuan-pengetahuan tentang identitas mereka. Kini damai telah dirajut, namun tujuan semula seakan terombang-ambing dalam lautan nafsu jahilistik (pengabaian ilmu), kapitalistik dan opportunistik. Masyarakat Aceh juga seakan kebingungan untuk mendefenisikan “sejahtera Aceh” tanpa kekerasan. Jika Hasan Ditiro masih hidup hari ini dan melihat perkembangan masyarakat Aceh pascadamai yang rentan anarkisme, perpecahan, adu-domba, dan pengidolaan materi, telah cukup menjelaskan kondisi Aceh yang tidak beradab, maka saya yakin, “sia-sia” adalah satu-satunya ungkapan yang muncul di benak beliau. Penyimpangan-penyimpangan identitas Aceh sebagaimana tersebut di atas, tentunya tidak semata-mata menjadi tanggung jawab satu atau dua kelompok saja, tapi semua pihak yang mengklaim dirinya berilmu dan beragama. Oleh karena itu, merupakan hal yang mendesak bagi masyarakat Aceh untuk membangun kembali kesadaran berpendidikan yang tenggelam selama masa perjuangan. Hanya dengan mental berpendidikan dan beradab, sektor ekonomi dapat dikembangkan dengan adil dan progresif, menuju Aceh yang bermartabat, makmur dan sejahtara. Semoga! * Nia Deliana, Aktivis PuKAT (Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki) berbasis di Banda Aceh. Saat ini sedang menyelesaikan Program Master bidang Pengetahuan Kemanusiaan di Malaysia. Email: delianania@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar