http://aceh.tribunnews.com/2014/01/15/khauri-pang-ulee-tradisi-dan-edukasi
MASYARAKAT Aceh juga memiliki tradisi yang unik dalam memuliakan Nabi Saw dan merayakan hari kelahiran pemimpin umat ini. Tradisi ini dapat kita lihat pada penamaan bulan menurut kalender Aceh, yang mengikuti hitungan Qamariyah sebagaimana kalender Hijriyah. Penamaan bulan pada kalender Aceh untuk bulan ketiga adalah Buleun Maulod (Bulan Maulid), bulan yang keempat Buleun Adoe Maulod, dan bulan yang kelima Buleun Keumun Maulod (TA Sakti, http://tambeh.wordpress.com/). Jadi menurut kalender ini, tradisi perayaan maulid di Aceh dilaksanakan dalam rentang waktu tiga bulan tersebut. Apabila kita urutkan berdasarkan kalender Hijriyah, maka perayaan maulid Aceh berlangsung antara bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir, dan Jumadil Awal.
Latar belakang
Adakah sejarah khusus yang menjadi latar belakang perayaan maulid selama tiga bulan di Aceh? Kami tertarik sekali menyimak catatan Bapak Hamid (http://ebdulhamed.blogspot.com), bahwa rentang panjang waktu perayaan ini berkaitan dengan hubungan masa lalu Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Turki. Pada waktu itu, Kerajaan Turki yang berada di bawah pimpinan Dinasti Ustmani (Sultan Selim II) memberi bantuan yang cukup besar ketika Aceh melawan serangan kolonialis Eropa. Sebagai balasan, Raja Aceh menyampaikan rasa terima kasih atas bantuan tersebut. Namun Sultan Turki yang arif dan dermawan menolaknya secara halus. Sultan Selim II meminta agar dana tersebut dipakai untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad saw di Aceh. Demikian besar jumlah dana tersebut, sehingga baru bisa dihabiskan setelah melaksanakan kenduri maulid selama tiga bulan sepuluh hari (Tarikh Ikhtifal Bimaulidin Nabi: 274). Demikianlah sejak saat itu, tradisi rentang waktu peringatan maulid selama tiga bulan di Aceh terus berlangsung hingga sekarang. Di samping waktu perayaan yang panjang, kenduri maulid yang sering disebut sebagai khauri pang ulee (kenduri pemimpin umat) ini juga memiliki ciri khas pada saat perayaannya dilaksanakan. Misalnya, ada idang maulod (hidangan maulid). Setiap rumah dari gampong (kampung) yang merayakan maulid diminta menyumbang aneka masakan yang disusun berlapis dalam talam besar. Talam ini kemudian ditutup dengan sange (tudung saji) khas masyarakat Aceh. Idang maulod kemudian dibawa ke meunasah (mushalla) atau masjid untuk dinikmati bersama masyarakat gampong dan para tamu seperti wakil dari gampong tetangga, yang diundang sebagai tamu gampong. Nasi yang disajikan dalam kenduri maulid ini pun istimewa, karena dibungkus dengan daun pisang yang dibentuk kerucut. Nasi ini dinamakan bu kulah. Rasa bu kulah agak berbeda dengan nasi biasa, karena aroma daun pisangnya yang khas. Nasi ini sangat lezat dimakan dengan kuah beulangong, yaitu ‘kuah kari’ khas Aceh yang dimasak secara bergotong-royong di meunasah gampong. Selain hidangan yang luar biasa, ada pula budaya meudike, yaitu zikir yang biasanya menceritakan kisah Rasululullah saw dan salawat kepada beliau. Kadangkala, meudike ini dijadikan lomba antargampong yang sangat menarik untuk disaksikan. Bukan hanya cara zikir ini dilantunkan yang akan membuat kita terpana, namun juga isi syairnya yang mengandung pengajaran. Tradisi dan edukasi Tradisi adalah warisan budaya yang niscaya memperkaya setiap pribadi yang tumbuh dan dibesarkan dalam budaya tersebut (Gladwell, 2008). Nico Kaptein, seorang profesor dari Leiden University yang mengadakan penelitian tentang perayaan maulid di Spanyol dan dalam tradisi masyarakat Betawi, menyatakan kekagumannya pada keterbukaan peradaban Islam terhadap tradisi. Menurut Kaptein, keterbukaan ini yang membuat ajaran Islam mudah diterima penganutnya. Tak heran jika kemudian nilai-nilai Islam turut memperkaya khasanah budaya dan kearifan lokal yang ada (Republika online, 2010). Hal demikian semestinya berlaku pula di Aceh. Tradisi perayaan maulid adalah kekayaan budaya yang mengajarkan banyak hal pada kita antara lain: Pertama, ia sepatutnya menumbuhkan kecintaan yang lebih mendalam pada Rasulullah saw. Bayangkan saja, selama tiga bulan bumi Aceh terus diramaikan dengan perayaan maulid berupa ceramah, salawat dan zikir. Tiga bulan adalah rentang waktu yang cukup bermakna, apabila dimanfaatkan secara optimal untuk mengajak anak-anak kita mengenal Nabi Muhammad saw, menumbuhkan kecintaan pada beliau dan kemudian menjadikannya sebagai role model dalam kehidupan. Tujuan ini dapat kita capai melalui berbagai kegiatan bersama anak, sesuai dengan bakat minat buah hati kita. Namun faktor paling penting dan sukar-sukar mudah dalam proses ini adalah kita, para orang tua mereka. Kita adalah teladan dan ‘sekolah’ pertama sebelum anak mengenal sosok lain dan dunia di luar rumah. Tidak begitu sulit untuk mengajak anak bersama-sama membaca atau menonton film kisah nabi, para sahabi dan kisah keshalihan lainnya. Tidak pula terlalu sukar untuk mengajak mereka berdiskusi atau menceritakan kembali apa yang mereka baca maupun mereka tonton. Yang cukup sulit menurut pengalaman kami, menjadikan bacaan dan tontonan ini sebagai tuntunan berpikir dan bertindak dalam keseharian kita. Jadi tidak heran bila anak-anak kita tahu garis besar sejarah Rasulullah saw, namun mereka tidak begitu mengenal keseharian beliau seperti mereka tahu warna favorit Justin Bieber. Untuk yang terakhir ini, mereka bukan hanya mengenal warna favorit sang bintang pop itu, tapi juga menjadikannya warna favorit dalam pilihan pakaian mereka sehari-hari. Teladan yang mewujud dalam keseharian ini yang perlu kita contohkan dan merupakan bagian yang tidak mudah untuk dilakukan. Kebersamaan dan gotong-royong Hal lain yang menarik dari maulid adalah kebersamaan. Misalnya gotong-royong pada saat memasak kuah beulangong di meunasah. Walaupun gotong-royong sering dipelesetkan sebagai ladom duk, ladom dong (sebagian bekerja, sebagian yang lain hanya menonton saja), tetaplah ia menjadi kesempatan bagi warga untuk saling bertemu. Anak-anak muda bisa menjadikan perayaan khauri pang ulee ini sebagai satu media untuk bekerja sama sebagai sebuah tim. Kami kagum pada anak-anak muda di lingkungan kami. Pada awal perumahan kami yang didirikan belasan tahun yang lalu, mereka hanyalah bocah yang berusia 5-6 tahun. Anak-anak muda yang tumbuh bersama ini, kini menjadi tim yang cukup hebat di setiap kegiatan. Mereka menyiapkan tempat dan mengatur pelaksanaan acara, serta membersihkannya setelah acara berlangsung. Tidak hanya perayaan bersama, mereka pun siap diminta untuk membantu acara pesta pernikahan. Kami yakin, tim anak muda hebat seperti ini ada di setiap gampong di Aceh. Dengan semangat mereka yang luar biasa, mereka adalah kekayaan masa depan untuk Aceh yang lebih baik. Tradisi dan Islam sering disandingkan. Namun tak jarang kedua hal ini juga dipertentangkan. Islam di Indonesia secara umum, dan di Aceh secara khusus adalah Islam yang kaya tradisi. Dan inilah yang membedakan Islam di Nusantara dengan Islam yang dipraktikkan di tempat lain, khususnya di Timur Tengah. Imam Al Nawawi menganggap tradisi Islam ini sebagai bagian dari kebesaran Islam, bagian dari bukti Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena justru ketika Islam dipraktikkan oleh orang dari berbagai ras dan warna kulit, dengan pakaian yang aneka warna dan model, hingga penutup kepala yang aneka bentuk, oleh beragam puak yang mempunyai tradisi makan dan makanan yang berbeda, ketika itulah Islam menjadi besar. Kalaupun tidak untuk yang lain, tradisi bisa menjadi bagian dari edukasi. Demikian kaya nilai tradisi perayaan maulid di gampong kita, terpulang kepada kita semua untuk menjadikan tradisi ini tidak kehilangan hakikat. Selamat merayakan maulid, semoga tradisi cinta ini menghadirkan cinta pada junjungan semesta, Rasulullah Muhammad saw. Dian Rubianty, SE.Ak, MPA, Fulbright Scholar, tinggal di Banda Aceh. Email: dian.rubianty@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar