oleh
hanif sofyan
Buah
perubahan sistem dari reformasi yang paling penting adalah otonomi dan
desentralisasi fiskal. Namun ibarat hi-tech yang masuk ke negara dunia ketiga,
tanpa didukung sumber daya yang “bisa dan siap mengelola”, sistem tersebut
justru menjadi buah simakalama menumbuhsuburkan praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Keberadaan UU No. 22/1999 yang kemudian
diubah menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999
yang kemudian juga berubah menjadi UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah tidak serta merta memberi pencerahan baru
sebagaimana diyakini oleh banyak pihak. Karena realitas ‘apapun” kasus di
Indonesia bisa mementahkan banyak teori dan asumsi.
Ketua Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Anas
Urbaningrum, menilai saat ini Indonesia adalah salah satu negara yang politik demokrasinya
paling liberal di dunia, kendati hal
tersebut tidak berjalan lurus dengan konstruksi budaya politik yang ada karena
masih cenderung otokrasi, dan cenderung oligarki (serambi, 30/11). Bahkan dalam
cara yang lebih menohok, Ramalan Louis Kraar pada 1998, yang menyebut Indonesia akan menjadi backyard alias halaman belakang wilayah
Asia Timur, sebagai hal yang tidak mustahil. Artinya, ada penyakit endemik kronik yang dibiarkan, seperti
dirisaukan Bambang Soesatyo dalam buku terbarunya “Republik Galau”. Buktinya,
peringkat Failed State Index (FSI) Indeks Negara Gagal berada di posisi 63 dari
177 negara di dunia dan Cooruption Perception Index (CPI), indeks Negara Terkorup
hanya bergeser dua angka peringkat 118 (2012) menjadi 114 (2013) dari total 177
negara (serambi, 4/12).
Paradigma
yang Meleset
Dulu kita begitu yakin dan bersemangat,
bahwa bom waktu krisis multidimensi termasuk separatisme, salah satunya dipicu
oleh dua hal sensitif tersebut. Kita berkeyakinan bahwa kedua UU tersebut
adalah Pembuka tabir “politik pintu besi” yang selama ini menganjal dan
menyumbat transparansi dan akuntabilitas Pemerintah Pusat dan Daerah. Ketika
pemerintah pusat membuka keran sistem pengelolaan administratif yang “lebih mandiri”
dan desentralisasi keuangan “dibolehkan” maka hiruk pikuklah daerah terhadap
akses finansial. Idealnya, tentu untuk kelancaran pembangunan yang
mensejahterakan rakyat. Namun apa lacur, realitasnya justru berbalik 180
derajat.
Karena meskipun idealnya desentralisasi
dan otonomi dimaksudkan untuk berbagi tugas pemerintah pusat dan daerah dalam
penataan pembangunan. Sehingga Pemerintah pusat dapat lebih berkonsentrasi
berhadapan dengan tantangan globalisasi dan mengambil keuntungan dari setiap
dinamikanya dan tidak hanya disibukkan dengan persoalan domestik saja.
Pergeseran konstitusional yang diikuti
dengan kemandirian dana, utamanya dalam situasi dimana Dana Alokasi Umum (DAU)
yang merupakan block grant menjadi
mekanisme utama dalam transfer fiskal ke pemerintah daerah, sekaligus menandai
berakhirnya era pengendalian pusat terhadap anggaran dan pengambilan keputusan
keuangan daerah. Hal paling fantastik! Setelah menunggu lebih dari 32 tahun
selama era Orde Lama dan orde Baru.
Persoalan penting namun genting yang
kemudian muncul adalah, bahwa mekanisme tersebut otomatis menyebabkan bupati
dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk “mengelola daerah kekuasaannya”, meskipun
diikuti dengan mekanisme kontrol antara eksekutif dan legislatif namun menjadi
areal “titik rawan” penjarahan. Kondisi positif ini juga memberi kerangka yang ideal bagi lahirnya politik lokal yang
dinamis dan demokratis meski masih terkesan rentan dan rapuh.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi
kekuatan politik baru yang secara mandiri dan “leluasa” dapat melakukan pemilihan gubernur,
bupati/walikota, menentukan kebijakan daerah tanpa intervensi politik
pemerintah pusat yang dominan.
Lagi-lagi terlepas dari sistem dan
mekanisme yang ideal, sistem menjadi “alat dan senjata politik”. Para petinggi
pemerintahan di daerah justru menjadi raja-raja kecil, ketika jangkauan tangan
pengawasan pemerintah pusat tidak dapat lagi maksimal merengkuhnya (karena
pengaruh kewenangan UU). Maka mereka berjaya melakukan segala tabu yang selama
ini diharamkan; termasuk menggasak sumber dana “terlarang”; hutan, tambang
secara membabi buta. Konon lagi “cuma” dana pembangunan sasarannya, sehingga menjadi
tak tertahankan. Hasilnya beberapa kasus seperti keluarnya izin tambang yang
mengoyak Nanggroe di wilayah Aceh Selatan, Aceh Barat, Aceh Besar, Simeulue dan
hampir disebagian besar Aceh meledak!. Green
Province, Aceh Green, Moratorium
Tambang, Moratorium Hutan menjadi bulan-bulanan dan isu paling basi hari ini.
Kasus KKN-nya menyeret para petinggi pemerintahan
dan lagi-lagi otonomi dan desentralisasi di-kambing hitamkan karena hanya
menjadi blunder dalam paradigma pembangunan yang sepatutnya “memberdayakan”
menjadi “memperdayakan” rakyat. Isue kesejahteraan yang diusung dengan landasan
dua UU baru tersebut menjadi mentah lagi dalam implementasinya. Disinilah
sesungguhnya letak persoalan yang meskipun solusinya jelas bisa digambarkan,
namun dalam penyelesaianya nihil, karena para “pemainnya” justru para punggawa yang
duduk di pucuk pemerintahan dan parlementaria. Ironis!.
Mereka jor-joran dalam menggelontorkan
dana untuk pemenangan pemilu, menyeret masuk anggota kelompok, rekanan,
keluarga, kedalam lingkaran politiknya. Leluasa membagi-bagi dana APBD kepada
yang terpilih dan mau memilih. Apalagi dengan kewenangan yang besar dalam
pengelolaan keuangan daerah. Disinilah kemudian timbul upaya menguras dana yang
dalam bahasa Bambang Soesatyo disebutnya upaya maksimalisasi bukan optimalisasi,
dalam perolehan pendapatan daerah.
Upaya membiayai belanja daerah didorong
paksa dengan pola tradisional mengintensifkan pemunggutan pajak dan retribusi.
Inilah cara termudah karena keberadaan kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan. Meskipun ini
tidak etis dalam kerangka negara demokrasi modern, karena negara dibiayai dari
“upeti”!.
Dimana
Peran Para Parpol?
Disinilah peran partai politik sebagai
kekuatan perwakilan rakyat menjadi pengontrol, penjaga gawang dan menjaga kendaraan
tetap berjalan di track-nya, selaras
dengan kebutuhan pembangunan dan kesejahteraan, memiliki sensitifitas fungsi Anggaran,
Legislasi dan Pengawasan, bukan justru menjadi “predator”.
Karena seperti disinyalir Jeffrey
Winters kondisi centang perenangnya tata kelola dalam pemerintahan, disebabkan
karena para elite di Indonesia hampir selalu mengandalkan kekayaan mereka yang
didapat dengan cara-cara mencurigakan untuk mengalahkan hukum..., mereka
melakukan pertahanan atas kekayaan dengan cara menyogok dan membayar polisi,
jaksa, hakim, editor pers, dan anggota
legislatif. Kasus model begini bertaburan dalam daftar yang akan, sedang
dan telah diproses oleh lembaga superbody
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sepanjang 2004-2011 Kementerian dalam
Negeri mencatat ada 158 kasus korupsi yang menimpa kepala daerah, baik gubernur,
bupati maupun walikota. Sementara pada periode 2008-2011, setidaknya terdapat
42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Republika, 5/12/2011).
Disinilah letak kekuatiran publik,
karena defisit-nya APBA dan APBN justru digerogoti oleh “tikus” di
pemerintahan, dan sungguh naas dana pembangunan yang melimpah (sebut saja APBA
Aceh 2013 yang mencapai 12,298 Triliun) tidak menjadi penyumbang mengangkat
kesejahteraan rakyat secara signifikan sebagaimana cita-cita idealnya. Bahkan
menurut laporan berita terbaru per
tanggal 2 Desember 2013 baru terserap 59,7 persen atau 7,407 Triliun. Dan
menyisakan 4,022 triliun anggaran, dengan rincian 590 paket berstatus “hijau;
103 paket berstatus “kuning” ; 443 paket berstatus “merah” dan 154 paket
berstatus “kritis” dan terancam tak selesai (serambi 4/12).
Dan itu artinya kita kemungkinan kembali
akan terkena penalty, karena meskipun
semangat ketersediaan dana adalah untuk dialokasikan secara tepat sasaran bagi
pembiayaan pembangunan, namun juga tidak menafikan optimalisasi, bukan maksimalisasi
alias “menghabiskan anggaran”. Sebagaimana headline serambi (29/11) “Dinas
hamburkan Anggaran”, rutinitas “kepanikan” menjelang tutup tahun anggaran.
Bagaimana keluar dari blunder yang
keblablasan, merupakan proses yang rumit dan bukan pekerjaan gampang. Bagaimana
susahnya membuang “norma” yang sudah mendarahdaging selama 32 tahun, tutur
Todung Mulya Lubis, adalah pekerjaan berurusan dengan mindset dan perilaku,
bukan sekedar persoalan di ranah hukum. Karena korupsi telah menjadi hantu dan
menghantui kita sejak lama.
Dua
Mata Pisau
Bagaimanapun otonomi dan desentralisasi,
menawarkan dua mata pisau yang sama-sama penting juga berbahaya, ancaman dan
harapan. Pendidikan politik, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintah yang tetap harus dilakukan, percepatan pembangunan, termasuk
menciptakan pemerintahan yang demokratis dan bersih di daerah.
Pemahaman tentang otonomi dan
desentralisasi memang membutuhkan tidak saja evaluasi tetapi juga ujian. Karena
pada dasarnya kedua konsep tersebut berimplikasi kepada banyak hal yang positif
untuk mendorong pembangunan dan meminimalisir kontroversi hubungan pemeritah
pusat dan daerah yang sejak lama dihantui hubungan yang saling mencurigai.
Melahirkan bibit separatis, bahkan menguras legitimasi negara dengan persoalan ketidakpercayaan
yang terus merongrong dari dalam.
Semuanya tergantung pada semua pihak
yang terlibat dalam pengelolaan negara, jika aktornya baik maka negara juga akan
bergerak kearah yang positif. Hanya saja tantangannya sebagaimana di sebut
Georges Bataille sebagai hipermoralitas, yakni
suatu kondisi ketika ukuran-ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang
lagi. Sebab, situasi yang berkembang telah melampui batas-batas kebaikan dan
keburukan. Sebaik apapun konsep otonomi
dan desentralisasi dihidangkan, akan menjadi “racun” jika tak diolah dengan
benar.[hans-2013].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar