Panik Massal dan Mitigasi Bencana

(Refleksi 10 Tahun Peringatan Tsunami)
oleh hanif sofyan
http://acehdigest.blogspot.com/2013/12/kepanikan-kolektif-bencana.html 
Masih ingat dengan gempa 8,5 skala Richter pada sore 11 April 2012 silam?, yang untungnya adalah gempa tipe patahan geser (strike-slip fault). Begitupun dengan gempa Tangse 22 januari 2013, karena menurut amatan para ahli sejak 2005, bahwa daerah pedalaman Pidie (Geumpang, Mane dan Tangse) adalah daerah yang memungkinkan memicu gempa dengan kekuatan 7 skala Richter.

Bagaimana seandainya gempa 11 April adalah gempa geser di laut seperti peristiwa 26 Desember 2004, sepuluh tahun silam?. Bisa dibayangkan gempa kemarin mungkin akan mencatat korban terbanyak kedua setelah tsunami 2004.


Kita beruntung!, karena meski telah hampir 10 tahun tsunami, dan begitu banyak pembelajaran dan fasilitas pendukung antisipasi tsunami termasuk Tsunami Warning System (TWS), sistem peringatan dini yang disebut juga Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS). Untuk mendeteksi gejala alam pemicu tsunami, mencari lokasi pusat gempa bumi, memprediksi kemungkinan kerusakan yang timbul, menentukan daerah terkena dampak tsunami dan minimalisir korban jiwa. Sistem di pasang di beberapa titik di seputaran perairan Aceh, termasuk di pojok kantor gubernur. Namun kita ternyata belum sungguh-sungguh belajar memahami bencana!. Laboratorium Bencana Aceh menjadi porak poranda oleh ketidaksiagaan kita mengantisipasi gempa 11 April.

Di hari H bencana, pecah kepanikan kolektif yang sama besarnya dengan peristiwa gempa dan tsunami 2004, seluruh jalan protokol macet, apalagi jalur evakuasi. Akal sehat tak dipergunakan dan mungkin tak diperlukan dalam kepanikan itu. Sehingga alternatif menggunakan gedung evakuasi yang tersedia di beberapa titik di seputaran pinggiran kota terdekat akses dengan laut tidak dipilih. Realitas menunjukkan, orang juga memilih alternatif menyelamatkan diri sekaligus juga dengan harta bendanya, logis memang dan hal ini adalah hal yang tak terpikirkan dan dianggap cateris paribus, diabaikan dalam sistem tata kelola bencana kita hari ini. Akibatnya sangat fatal, karena seluruh jalur tertutup masa panik plus kendaraan dalam satu waktu dan tempat. Dan hanya dalam hitungan menit, seluruh korban akan tersapu tsunami.

Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana, baik gempa dan tsunami adalah sebuah keniscayaan yang harusnya sustainable (berkelanjutan), pra bencana, saat bencana dan paska bencana adalah moment yang sama pentingnya. Dan pra bencana menjadi alternatif penting untuk dilakukan, karena tindakan preventif ( mencegah) lebih diperlukan daripada tindakan kuratif (mengatasi). Kesiapan fisik, infrasturktur, jalur evakuasi plus non fisik seperti pemahaman potensi gempa, tsunami, cara-cara evakuasi dan penyelamatan termasuk perda tentang kebencanaan, harus terus diulang kaji.

Namun sayangnya dalam praktek kebencanaan yang sesungguhnya, berbagai faktor infrastruktur justru menjadi hal yang "ter-evaluasi" secara langsung. Sirine terlambat berbunyi, sehingga harus secara manual difungsikan. Bahkan dalam pertemuan evaluasi beberapa hari paska gempa, di kantor Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) di temukan persoalan baru bahwa, ternyata TWS yang di lengkapi dengan bouy (pelampung) di perairan laut Aceh, rusak dan dijarah oleh OTK tak bertanggung jawab, disamping karena kerusakan disebabkan pukat nelayan. Sehingga nasib "hidup mati" kita yang dibantu TWS menjadi sia-sia karena human error, dan ketidaksiagaan kita menjaga instrumen pencegah bencana.

Jikalau, gempa 11 April persis peristiwa 26 Desember, maka kita "kecolongan". Di saat kita dilengkapi dengan fasilitas canggih anti bencana plus keberadaan kita sebagai laboratorium bencana nasional dan dunia. Karena, meskipun kita telah berulang kali menyelenggarakan Simulasi Bencana, terakhir dan ter-akbar adalah International Ocean Wave Exercise (IOWAVE) 2009, pada Rabu 14 Oktober dengan keterlibatan sejumlah negara di Kawasan Samudera Hindia, ternyata realitasnya kita gagal total!.

Karena berkaca pada bencana terbesar 26 Desember tersebut kita kehilangan 283.100 orang dan memporakporandakan 8 negara, dengan pusat gempa 160 km sebelah barat Aceh di kedalaman 10 km. Lalu bagaimana jika gempa 11 April yang berlangsung beruntun 3 kali berkekuatan 8,8 SR dan hanya berjarak 10 km pada pukul 15.38 WIB, lalu disusul gempa kedua 6,5 SR (42 km, pukul 16.28 WIB) dan gempa ketiga 8,8 (24 km pada 17.43 WIB), dalam kurun waktu hampir dua jam, dan kita terlambat membunyikan sirene 30 menit paska gempa pertama berlangsung?. Tentu akan sangat fatal!. Ketika itu sistem peringatan dini tak bekerja efektif karena terganggunya saluran komunikasi, ketiadaan listrik cadangan, pengaturan kelembagaan yang belum jelas dan ketiadaan tenaga tehnik. Selain itu pergerakan evakuasi yang tidak terkendali karena ketiadaan jalur evakuasi dan pengetahuan evakuasi, sehingga menimbulkan kemacetan parah.

Padahal, setidaknya ada 10 komitmen yang telah dicanangkan pemerintah, setelah belajar dari kepanikan massal tsunami 2014. Meliputi, Skenario persiapan peta resiko dan pertolongan; penerapan peta dan jalur evakuasi, penerapan rambu evakuasi; pembangunan crisis center; penyelenggaraan rutin-tsunami drill; pemasangan sirene; pembuatan gedung penyelamatan; perencanaan tata ruang dengan mempertimbangkan aspek bencana serta pendidikan bencana pada kurikulum lokal.

Desakan paling kuat adalah implementasi dalam memahami bencana dan akibat-akibatnya, sebagaimana disebut Prof. Anthony Patt, Ahli Sistem Lingkungan-Manusia. “Keberhasilan deteksi dini bencana tergantung pada pemahaman orang tentang bencana sebelumnya, keandalan peringatan (Warning Reliability) dan pengalaman evakuasi sebelumnya.”

Master Plan Daerah Rawan Tsunami
Agenda Focus Grup Discussion (FGD) 29 oktober 2013 tentang Masterplan Penanggulangan Tsunami di Indonesia 2015-2019 putaran ketiga di Aceh yang merupakan kelanjutan dari Jakarta dan Nusa Tenggara Barat, menjadi pertemuan penting mengingat banyaknya wilayah administratif dan infrastruktur yang terpapar bencana di wilayah rawan tsunami.

Di Aceh saat ini terdapat 7 kecamatan dengan 185.536 penduduk yang hidup dibawah bayang-bayang ancaman tsunami, dan Aceh masuk menjadi salah satu dari 12 provinsi zona beresiko rawan tsunami, sehingga ditetapkan menjadi pilot area atau leading bagi propinsi sekitarnya untuk melakukan koordinasi bencana. (serambi, 10/12).

Penentuan prioritas dari 32 propinsi, menjadi 23 propinsi beresiko tsunami lalu diciutkan 12 propinsi yang rawan tsunami, didasarkan pada pertimbangan seismic gap, sebuah kawasan aktif secara tektonik, namun jarang terjadi gempa dalam jangka waktu yang lama. Sehingga menjadi dasar dugaan bahwa kawasan itu akan terjadi gempa bumi dan tsunami di masa mendatang. Seperti wilayah Selatan Pulau Sumatera dan Jawa yang didalamnya terdapat zona subduksi antar lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia yang merupakan zona aktif tektonik dan berpeluang terjadi bencana sepanjang tahunnya. (Masterplan 31/10/2013).

Dan berdasarkan publikasi Fedotov pada tahun 1965 dan Moji tahun 1969, kawasan di Aceh yang jeda gempanya sudah sangat panjang adalah wilayah Belakang Pulau Simeulue, magnitude gempa besar 2004. Sehingga menjadi early warning bagi kita untuk tidak lupa memahami bagaimana sesungguhnya cara "berteman" dengan bencana, karena kita hidup di dalam lingkaran bencana (ring of fire) yang kapan saja bisa mengejutkan kita dengan gempa besar dan tsunami tanpa harus menunggu jeda hingga setiap 100 tahun seperti pernah diprediksi oleh para geologist.[hans-2014].