Butuh energi dan sinergi besar untuk "penumpasan" korupsi. Abraham Samad, berargumen, 10 tahun adalah waktu paling minim untuk meruntuhkannya. Itupun jika kepala negara ikut turun tangan mencegah dan mempraktekannya, ujar Mantan Ketua MK, Mahfud MD. Syaratnya, pemimpin yang dimaksud adalah orang yang tidak disandera masa lalunya, sehingga bisa bertindak tegas!.
Sepanjang upaya pencegahan tak dilakukan para pemimpin di lingkungan birokrasi, korupsi tidak akan hilang. Bahkan jika dibentuk 100 lembaga seperti KPK juga tidak akan menuntaskan persoalan rasuah di negeri kita.(serambi 10/12).
Buktinya, peringkat Failed State Index (FSI) Indeks Negara Gagal berada di posisi 63 dari 177 negara di dunia dan Cooruption Perception Index (CPI), indeks Negara Terkorup hanya bergeser dua angka peringkat 118 (2012) menjadi 114 (2013) dari total 177 negara, dengan skor 23 (skala 0-100). Yang tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. (serambi, 4/12).
Mindset Korupsi
Persoalan korupsi yang kian endemik, berkaitan dengan semakin sistematisnya para pelaku korupsi. Sehingga secara sistemik seluruh komponen negara dari hulu ke hilir, dari Pusat hingga Dusun di hinggapi penyakit korupsi ini.
Realitas 87,18% penduduk Indonesia yang beragama Islam atau setara 207.176.162 (sensus penduduk Badan Pusat Statistik, 2010), ternyata tidak menolong menurunkan tiga digit angka tersebut. Bahkan beberapa daerah yang secara spesifik menerapkan syariat, bahkan mewajibkan para calon pimpinan masa depannya membaca AlQur'an tidak menyumbang penurunan intensitas korupsi hingga hari ini.
Tentunya ada sistem dan oknum yang harus dipersalahkan. Meskipun sesungguhnya dalam konteks konsep syariah, konsep aturan main syariahnya bisa jadi telah tepat, namun karena minimnya implementasi konsep tersebut, yang mendorong korupsi kian endemik. Pemahaman nilai-nilai syariat dan pelaksanaan yang masih parsial dan setengah hati, juga menjadi salah satu jawaban mengapa negara mayoritas Islam seperti Indonesia tidak mampu berkutik melawan korupsi. Bahkan realitas tiga departemen yang mengurusi moral dan fisik, juga menjadi lahan subur penjarahan para koruptor, sebut saja Departemen Pendidikan yang mengurus "otak", Departemen Agama yang mengurus "hati" dan Departemen Sosial yang mengurus "fisik", ikut terjerembab sebagai korban endemik korupsi, konon lagi dengan departemen lainnya.
Mengharap pada pendekatan seperti penataran P4 layaknya pendalaman nilai-nilai Pancasila yang pernah digagas belasan tahun lalu, tak memberi efek apapun kecuali project oriented unsich. Mengharap pada sekolah anti korupsi, atau penerapan kurikulum anti korupsi, justru ada kekuatiran makin tahu makin "ingin" mempraktekannya.Karena bentuk kejahatan korupsi dalam kadar yang kecil telah dipraktekkan di ruang belajar, di sekolah; kasus membeli jawaban ujian, joki atau gaco adalah contoh kecil "fraud", kecurangan yang merupakan cikal bakal korupsi di tingkat anak sekolahan.Bahkan di perkantoran, membawa pulang perlengkapan kantor, meski hanya sekedar 1 rim kertas untuk keperluan pribadi, juga merupakan "pelajaran" kecurangan alias fraud dan korupsi kecil-kecilan yang banyak dipraktekkan.
Persoalan mendasar pembarantasan korupsi berhadapan dengan persoalan mindset. Mengharap pada keterlibatan rakyat secara langsung juga merupakan persoalan tersendiri. Ketiadaan pioner menjadi pemicu makin lemahnya upaya pemberantasan korupsi. Justru melalui jalur para pemimpin, yang memiliki power, sehingga bisa memaksa internalisasi nilai-nilai anti korupsi di institusinya. Bibit korupsi akan mati ketika secara internal institusi menerapkan budaya anti korupsi dengan reward dan punishment. Sebut satu saja persoalan sederhana keseharian yang merupakan bibit korupsi, dan tidak mampu dilawan oleh masyarakat, "uang administrasi, uang kopi", meskipun disebutkan "seikhlasnya", adalah bentuk korupsi kecil-kecilan yang selama ini menjadi "guru" bagi masyarakat kecil agar "terasa permisif dan tidak malu" jika memang harus dilakukan. Dan meskipun institusi dilengkapi dengan rambu-rambu bahkan baliho "dilarang memberi tips dan uang lainnya di luar aturan", namun dalam prakteknya "kecurangan" tetap terjadi tanpa sepengetahuan para pengawas dan mungkin juga pimpinan?. Dan bagaimana dengan nasib Whistle Blower, para pembocor kecurangan ini?, seringkali justru menjadi para pesakitan karena dianggap mencemarkan nama baik. Lalu dengan cara bagaimana lagi, kecurangan dan korupsi dapat dilawan kalangan bawah?.
Rasa pesimis yang lahir dari pernyataan Mahfud MD, karena ketidaktegasan pimpinan adalah hal yang wajar dirasakan, bahkan oleh hampir semua orang yang memiliki komitmen pada pemberantasan korupsi. Karena realitas juga menunjukkan banyak pemimpin kita yang "tersandera" masa lalu. Namun, hanya karena kekuatan oligarki kekuasaan yang memungkinkan mereka masih "terlihat" bersih. Logikanya, bagaimana pemimpin yang "diam-diam" korup bisa bertindak tegas memberangus korupsi?. Konon lagi jika "hukuman mati" diterapkan, bisa jadi Indonesia akan sangat banyak kehilangan para pemimpinnya.
Dalam pemahaman yang awam dan sederhana, seorang pemimpin yang baik berani menantang "dirinya sendiri" sebagai pribadi anti korupsi dan meng-haramkan korupsi menyentuh dirinya. Bahkan ketika di tantang untuk menandatangani pernyataan moral, jika terbukti korup dengan sukarela akan mundur dari jabatannya, berada di barisan paling depan. Komitmen tersebut, terlihat sangat sederhana, namun juga menakutkan bagi para koruptor, terutama yang sedang menyamar menjadi orang baik.
Ledakan Kasus
Paska lengsernya Presiden Suharto pada 21 Mei 1998, yang menandai berakhirnya era ORBA, para kroninya yang tersangkut kasus korupsi mulai "diproses" hukum. Diprediksi hal yang sama akan terulang kembali paska Pilpres 2014, dan pergantian pimpinan negara, sebagaimana diprediksi Bambang Soesatyo, Anggota Komisi III DPR. Menurutnya, ketika presiden turun maka kader partai di bawahnya tidak akan punya proteksi politik dan perlindungan yang otomatis tidak sekuat ketika presiden masih berkuasa. Sejumlah permasalahan hukum yang besar dan belum tuntas seperti kasus IT KPU, Hambalang, MKK Migas, Kasus Suap Impor Daging dan lainnya, mungkin akan "meledak" lebih besar setelah SBY turun.(serambi, 10/12).
Hal yang sama bisa saja terjadi di Aceh. Paska kehadiran Ketua KPK Abraham Samad dan Wakilnya Busyro Muqoddas, 20 November 2012 silam. Bahkan Busyro dijadwalkan akan menyampaikan hasil kajian KPK dan BPK terkait APBA dan APBK se-Aceh, karena BPK telah menemukan indikasi kerugian keuangan di daerah yang besarnya mencapai sekitar Rp 726,4 miliar dalam laporan pemeriksaan semester II tahun 2012, demi mencegah terjadinya korupsi yang meluas di bumi syariat. Sehingga hal ini bisa menjadi dasar bagi gubernur untuk mengambil langkah-langkah kongkrit terkait kondisi Aceh saat ini.
Bisa jadi akan lebih banyak temuan kelak, untuk menguak siapa-siapa saja dalang penyumbang kasus korupsi di Aceh yang menyebabkan Aceh menurut versi Forum Indonesia Transparansi Anggaran (FITRA) berada pada peringkat kedua, dengan kerugian negara sebesar Rp308.333.870.000 atau 389 kasus, sebagaimana disampaikan Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra, Ucok Sky Khadafi. (sindonews.com 19/7/2013).
Realitas logisnya, Aceh yang notabene wilayah bersyariah adalah pilot project bagi propinsi lain, dalam soal penerapan syariah . Apa kata dunia jika Aceh yang bersyariat justru menjadi sarang koruptor?.
Hal ini barangkali ada kaitannya dengan simpang siur dan maju mundurnya penerapan syariat yang kaffah di Aceh. Sampai-sampai muncul wacana penggantian istilah syariah dengan dinul Islam, karena syariah dikesankan "garang". Padahal sesungguhnya bukan persoalan istilah yang perlu diperdebatkan. Apalagi dinul Islam memiliki makna yang meluas. "Untuk syariah yang sederhana saja kita belum dapat mengimplementasikannya dengan baik, masih sebatas simbol-simbol, konon lagi dalam kerangka dinul Islam yang luas", sebagaimana disampaikan Abu MUDI, Abu Hasanoel Bashry Pimpinan HUDA 2013-2018. Jangan-jangan karena diantara sebagian para pimpinan kita hari ini adalah mereka yang "tersandera" masa lalu. Jika benar, bagaimana Aceh akan memulai memberantas korupsi yang semestinya harus dimulai dari para punggawanya?.
hanif sofyan--coloumnist
Aceh Besar- acehdigest@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar