Kesenjangan Kota dan Desa di Aceh

Oleh Asrul Sidiq-opini serambi indonesia
Kamis, 4 April 2013
http://aceh.tribunnews.com/2013/04/04/kesenjangan-kota-dan-desa-di-aceh

BERDASARKAN data statistik, persentase penduduk miskin di Aceh pada Maret 2012 adalah sebesar 19,46%, sementara pada periode yang sama tahun sebelumnya (Maret 2011), sebesar 19,57%. Penurunan ini sejalan dengan penurunan tingkat kemiskinan secara nasional, meskipun tren tingkat kemiskinan Indonesia jauh lebih rendah yaitu menjadi 11,96% per Maret 2012. Persentase penduduk miskin memang menunjukkan tren menurun selama 10 tahun terakhir.

Namun berdasarkan populasi, penduduk miskin Aceh meningkat dari 861,85 ribu jiwa pada 2010 menjadi sebanyak 900,19 ribu jiwa pada 2011, dimana sebagian besar dari mereka berada di daerah perdesaan yaitu 718,78 ribu jiwa (79,85%). Secara nasional, tingkat kemiskinan di Aceh ini tergolong tinggi karena berada cukup jauh dari rata-rata nasional. Saat ini tingkat kemiskinan di Aceh menduduki urutan ke-7 tertinggi dibandingkan 33 provinsi lainnya. 

 Masalah utama
Kemiskinan merupakan satu masalah utama yang dihadapi oleh Provinsi Aceh saat ini, terutama sekali di daerah pedalaman perdesaan dan daerah terpencil. Berdasarkan laporan Kajian Ekonomi Regional terbaru yang dikeluarkan Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia Aceh disebutkan bahwa selama periode Maret 2011-Maret 2012, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan Aceh menurun 0,62% (dari 13,69% menjadi 13,07%), sementara di daerah perdesaan mengalami peningkatan 0,10% (dari 21,87% menjadi 21,97%). 

Secara nasional, selama periode Maret 2011-Maret 2012 tersebut terjadi penurunan tingkat kemiskinan di daerah perkotaan sebesar 0,45% (dari 9,23% menjadi 8,78%), sementara di daerah perdesaan juga terjadi penurunan sebesar 0,60% (dari 15,72% menjadi 15,12%). Dari data ini dapat dilihat bahwa laju angka kemiskinan di perkotaan di Provinsi Aceh menunjukkan tren positif. Sebaliknya di perdesaan laju angka kemiskinan tampak semakin meningkat, sementara secara nasional terjadi penurunan. 

Dalam hal ini terlihat terjadi kesenjangan antara kawasan perdesaan dan perkotaan. Sementara itu, berdasarkan sensus penduduk 2010 mayoritas jumlah penduduk Provinsi Aceh berada di kawasan perdesaan. Penduduk yang bertempat tinggal di daerah perkotaan adalah 28,12% dan di daerah perdesaan sebanyak 71,88% dari total penduduk Provinsi Aceh. 

Selain itu, berdasarkan data ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Aceh yaitu 50,24% pada Februari 2012. Dari segi kontribusi terhadap PDRB, sektor pertanian juga memberikan kontribusi terbesar yang mencapai 28% dari total PDRB.

Secara teori, interkoneksi antara kawasan perdesaan dan perkotaan ini adalah sumber utama dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan World Development Report yang dikeluarkan oleh Bank Dunia (World Bank) pada 2007, diterangkan bahwa penurunan angka kemiskinan di seleruh dunia terutama sekali di Asia adalah karena peningkatan kondisi di perdesaan melalui revitalisasi di sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian utama di kawasan perdesaan. 

Dari data-data tersebut terlihat bahwa tantangan yang dihadapi kedepan bukan hanya menurunkan angka kemiskinan yang masih tinggi di Aceh, tetapi juga dalam mengatasi kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan. Potensi dalam pengurangan kesenjangan ini dirasa sangat mungkin dicapai pascaberakhirnya konflik dan adanya kebijakan desentralisasi (otonomi khusus di Provinsi Aceh).

Pascakonflik dan tsunami, kita melihat banyak kemajuan dalam hal pembangunan di Banda Aceh. Banda Aceh adalah daerah yang paling sedikit terkena efek selama konflik namun merupakan daerah yang paling banyak mendapatkan manfaat dari rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami. Selain itu, manfaat dari otonomi khusus juga lebih banyak dirasakan oleh masyarakat yang ada di Banda Aceh dan kawasan perkotaaan di daerah tingkat dua lainnya dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di perdesaan dan pedalaman (Bunnel, 2010). 

Dengan adanya kebijakan otonomi khusus, tentunya membuat peran Banda Aceh sebagai ibukota Aceh semakin vital dalam skala regional Provinsi Aceh. Desentralisasi dalam bentuk otonomi khusus yang Aceh rasakan saat ini tentunya semakin mengurangi interaksi dengan Jakarta. Aceh mendapat beberapa kewenangan yang cukup luas dalam mengelola daerahnya berdasarkan amanat UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dengan beberapa faktor ini semakin mendukung posisi Banda Aceh sebagai pusat baru dalam pemerintahan Aceh.

Elite politik di Banda Aceh tentunya memiliki banyak alasan untuk mengatasi masalah kesenjangan ini. Tidak meratanya distribusi pembangunan antara Banda Aceh dan kawasan lain tentunya dapat mendorong terjadinya konflik horizontal dengan daerah lain di Provinsi Aceh. Isu-isu pemekaran wilayah menjadi satu alasan utama.

Kesenjangan secara horizontal ini memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan kesenjangan secara vertikal dalam hal tingkat keluhan masyarakat dan juga kemungkinan terjadinya perang sipil (Holmqvist, 2011). Terlepas dari kemungkinan konflik horizontal yang dapat terjadi, daerah perdesaan sendiri merupakan lumbung suara yang penting bagi Partai Aceh yang notabenenya merupakan partai yang paling dominan di Aceh saat ini.

 Mengurangi kesenjangan
Pemerintah Aceh telah melakukan berbagai usaha dalam mengurangi kesenjangan desa dan kota ini. Hal terbaru yang dapat kita lihat adalah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahan gubernur Zaini Abdullah ini. Di antaranya mengalihkan plot anggaran untuk highway menjadi pembangunan jalan tembus dan plot anggaran untuk kereta api untuk pembangunan irigasi. Selain itu juga terdapat beberapa program lain seperti pembangunan waduk di daerah perdesaan.

Selain menurunkan angka kemiskinan yang masih sangat tinggi, penurunan angka kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan merupakan pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah Aceh. Di mana saat ini terjadi korelasi yang sangat signifikan antara kemiskinan dan pertanian, yang mana sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Aceh. Tantangan pemerintah terutama dalam merevitalisasi sektor pertanian dan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan di daerah perdesaan guna mengurangi laju migrasi masyarakat ke kota. 

* Asrul Sidiq, Mahasiswa S2 Jurusan Regional and Rural Development Planning, Asian Institute of Technology (AIT), Thailand. Email: asrul.sidiq@gmail.com