Ujian Pertama Reformasi Birokrasi di Aceh

Oleh Mohammad Najib
Kamis,13 September 2012-opini serambi indonesia

DAPAT dipastikan bahwa ada alasan yang kuat mengapa “perbaikan tata kelola pemerintahan Aceh” dipilih menjadi misi pertama Gubernur dan Wakil Gubernur dalam rancangan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Aceh 2012-2017. Apapun alasan tersebut, memang pada kenyataannya bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Aceh membutuhkan sejumlah upaya perbaikan. Masyarakat menaruh harapan yang sangat besar kepada para kepala daerah terpilih untuk mampu mengubah wajah birokrasi.


Strategi perbaikan tata kelola pemerintahan yang banyak digunakan oleh sejumlah negara termasuk Indonesia, adalah melalui reformasi birokrasi. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang memuat arah, strategi dan ukuran keberhasilan sebagai acuan bagi Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi.

Sasaran utama Reformasi Birokrasi adalah terwujudnya pemerintahan yang bebas dari KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Terdapat delapan area perubahan yang dicakup dalam Reformasi Birokrasi, yaitu: (a) organisasi; (b) tata laksana; (c) peraturan perundang-undangan; (d) sumber daya manusia aparatur; (e) pengawasan; (f) akuntabilitas; (g) pelayanan publik; serta (h) pola pikir dan budaya kerja aparatur.

Strategi Yang Jelas
Permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi di daerah (tak terkecuali Aceh) sangatlah komplek. Masa lima tahun kepemimpinan Kepala daerah, belum tentu akan mampu menangani semua permasalahan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan strategi yang jelas, terfokus disertai dengan target-target yang ingin dicapai beserta ukuran penilaiannya. RPJMA 2012-2017 perlu memuat secara lugas tentang perubahan-perubahan apa yang ingin dan realistis untuk tercapai.

Pembenahan pada delapan area perubahan reformasi birokrasi memang perlu dilakukan secara bersamaan untuk menghasilkan capaian yang optimal. Namun, menyadari akan keterbatasan waktu (5 tahun) serta kapasitas birokrasi saat ini, dibutuhkan prioritasi terhadap area perubahan mana yang ingin didahulukan dan dioptimalkan. Karena masyarakat adalah penentu utama keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi, maka prioritasi perlu didasarkan pada manfaat apa yang akan diperoleh oleh masyarakat secara langsung.

Perbaikan kualitas pelayanan publik yang merupakan salah satu area perubahan dalam reformasi birokrasi, sepatutnya menjadi prioritas pertama sekaligus menjadi lokomotif bagi pembenahan di area perubahan lainnya. Lokus utama perbaikan kualitas pelayanan publik adalah pada unit pelayanan, seperti Rumah Sakit, Puskesmas, Polindes, Sekolah, Kantor Camat, Badan/Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Dinas/Badan Kependudukan dan Catatan Sipil serta unit pelayanan lainnya yang langsung menyelenggarakan pelayanan publik.

Manfaat dari perbaikan kualitas pelayanan publik tersebut akan dapat langsung diperoleh oleh masyarakat, dan upaya untuk memperbaikinya relatif lebih singkat. Dikarenakan sebagian besar unit pelayanan tersebut berada pada kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, maka dibutuhkan suatu program bersama antara Pemerintah Aceh dengan kabupaten/kota yang mensinergikan sumber daya antarkeduanya.

Kualitas Pelayanan Publik
Agar perbaikan kualitas pelayanan publik dapat mencapai hasil yang optimal, maka Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota perlu memperhatikan hal-hal berikut ini: Pertama, digunakannya sejumlah target kinerja sebagai basis penyelenggaraan pelayanan. Target kinerja yang dimaksud adalah standar pelayanan minimal (SPM) yang menjadi acuan bagi Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota dalam mengalokasikan sumber daya keuangan, manusia dan infrastruktur.

Tantangan yang dihadapi saat ini adalah, belum semua kabupaten/kota dan juga Pemerintah Aceh memiliki baseline dan target pencapaian SPM baik untuk bidang-bidang prioritas seperti pendidikan dan kesehatan atau lainnya. Target pencapaian SPM perlu juga memuat rencana alokasi pembiayaannya, agar diketahui berapa jumlah dana yang dibutuhkan setiap tahunnya untuk mencapai target-target yang telah ditentukan.

Kedua, dilakukan pembenahan dalam tata kelola (manajemen) penyelenggaraan pelayanan terutama di unit-unit pelayanan. Baik UU No.25/2009 dan Qanun Aceh No.8/2008 tentang Pelayanan Publik telah mengatur elemen-elemen apa saja yang perlu dibenahi dalam tata kelola penyelenggaraan pelayanan publik. Perbaikan tata kelola ini harus dapat menghasilkan pelayanan yang terjangkau, cepat, mudah, pasti dan tidak diskriminatif.

Untuk itu seluruh unit pelayanan perlu memiliki dan menjalankan standar pelayanan publik (SPP), standard operating procedure (SOP), standar penyampaian informasi, Maklumat/Janji Pelayanan, Pelaporan Kinerja serta Mekanisme Penanganan Pengaduan. Agar pelayanan dapat mudah dan terjangkau, maka perlu dilakukan penyederhanaan prosedur secara berkala yang nantinya juga berimplikasi pada perbaikan biaya/tarif pelayanan.

Ketiga, dilibatkannya masyarakat dalam setiap tahap perbaikan kualitas pelayanan publik, termasuk dalam penentuan target pencapaian SPM dan juga pembenahan tata kelola penyelenggaraan pelayanan. Unit pelayanan perlu diberikan kewenangan untuk memperbaiki kualitas pelayanannya sesuai dengan ekspektasi masyarakat yang mereka layani. Bisa jadi, ekpektasi masyarakat di daerah urban terhadap pelayanan puskesmas lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan.

Melalui cara seperti ini, perbaikan kualitas pelayanan bisa lebih realistis dan menyesuaikan dengan kapasitas unit pelayanan itu sendiri serta tuntutan masyarakat. Tugas pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil adalah meningkatkan ekspektasi masyarakat dari waktu ke waktu.

Dan, keempat, dilakukannya monitoring dan evaluasi secara berkala untuk mengukur keberhasilan perbaikan kualitas pelayanan publik. Alat ukur yang sering digunakan oleh banyak daerah termasuk Pemerintah untuk menilai keberhasilan perbaikan kualitas pelayanan publik adalah indeks kepuasan masyarakat (IKM). Selain itu, dapat juga digunakan hasil Survei Integritas Sektor Publik yang diterbitkan oleh KPK. Sayangnya, survei ini tidak dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Khusus untuk pelayanan perizinan, dapat menggunakan Survei Kemudahan Berusaha yang diterbitkan oleh IFC (Bank Dunia). Sama halnya dengan survei yang dilakukan oleh KPK, Survei Kemudahan Berusaha juga tidak dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Keberhasilan monitoring dan evaluasi (monev) terletak pada sejauh mana hasilnya dimanfaatkan dan berdampak pada kinerja perbaikan kualitas pelayanan setelah monev dilakukan. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem insentif dan/atau disinsentif baik kepada Pemerintah Kabupaten/Kota maupun unit pelayanan berbasis pada kinerja yang mereka capai.

Penataaan kembali terkait jumlah serta struktur SKPA, pembenahan terkait uraian tugas pokok dan fungsi pejabat, penyusunan budaya kerja aparatur, penataan sistem rekrutmen pegawai dan lainnya, semua dibutuhkan dan perlu dilakukan secara simultan. Namun prioritas terhadap area perubahan mana yang akan didahulukan atau dioptimalkan perlu ditentukan dan dituang dalam RPJMA 2012-2017. Semua ini, tentu, menjadi ujian pertama bagi pelaksanaan reformasi birokrasi di Aceh.

* Mohammad Najib, Pengamat Pelayanan Publik tinggal di Banda Aceh. Email: najib@logica.or.id