Mengembalikan Esensi Program KB

Oleh Zara Novita Sari-opini serambi indonesia
Senin, 16 Juli 2012


KELUARGA Berencana (KB) merupakan sebuah program nasional yang sudah ada sejak tahun 1970-an yang hingga saat ini masih gencar disosialisasikan. Program ini menjadi salah satu program utama pemerintah dalam menangani masalah kependudukan (kepadatan penduduk), masalah sosial (kemiskinan), dan masalah kesehatan (kesehatan ibu dan anak). Untuk mengoptimalkan program tersebut maka pemerintah membentuk sebuah lembaga yang kita kenal dengan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional).

Sangat banyak harapan disematkan pada program ini. Program KB diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan, kualitas keluarga, dan masyarakat. Salah satu yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan NKKBS (Normal Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat yang sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus menjamin terkendalinya pertambahan penduduk.
Ancaman kepunahan
Saya menulis ini tergelitik atas kenyataan ancaman kepunahan sebuah bangsa yang sudah mulai tampak di hamparan realita masyarakat dunia. Pemberitaan di media internasional mengabarkan tentang perkiraan kepunahan beberapa bangsa akibat menurunnya angka kelahiran. Kondisi ini diramalkan akan terjadi di negara-negara maju di Amerika dan Eropa, negara hightech sekelas Jepang, hingga daerah timur Indonesia, yaitu Papua.

Kajian statistik menunjukan bahwa angka kelahiran sebuah keluarga merupakan sesuatu yang esensial. Sejarah menunjukkan bahwa jika angka kelahiran penduduk sebuah negara di bawah 1,9 maka negara itu akan jatuh. Sekarang, berdasarkan the World Factbook, Amerika mempunyai angka kelahiran 1,4, Prancis (1,3), Inggris (1,2), Yunani (0,9), Italia (0,9), dan Spanyol (10,4). Angka kelahiran 31 negara Eropa lainnya jika dirata-ratakan akan mencapai 1,38. 

Bagaimana dengan Jepang? Andai tak menyikapi penurunan angka kelahiran, 1.000 tahun lagi, Jepang punah. Ini catatan dari beberapa peneliti Jepang sebagaimana warta AFP. Beberapa sivitas akademika di kota Sendai, Jepang utara, mengatakan penduduk anak-anak di Jepang, yang berusia sampai 14 tahun dan sekarang berjumlah 16,6 juta, menyusut dengan angka satu dalam setiap 100 detik. Ramalan mereka menunjuk kepada Jepang tanpa anak kecil dalam waktu satu milenium. “Jika angka kemerosotan ini berlangsung terus, kita akan dapat merayakan Hari Anak pada 5 Mei 3011 sebagai hari libur masyarakat, sebab hanya akan ada satu orang anak,” kata Hiroshi Yoshida, profesor ekonomi di Tohoku University.

Sekarang mari bicara tentang papua. Orang Papua punah itu bukan isapan jempol belaka, tapi nyata. Populasi penduduk asli Papua terus menyusut, sementara pendatang dari daerah lain terus berdatangan ke Papua. “Hari ini jumlah penduduk asli Papua dibanding pendatang berapa, mungkin pendatang lebih besar. Tak ada data pasti soal itu tapi kami menduga ada suatu kebijakan sistematis dan didorong untuk marjinalisasi dan pemusnahan masyarakat Papua,” kata Kepala Bappeda Provinsi Papua, Alex Rumaseb. Ia pun mengakui kalau data yang ada, angka migrasi ke Papua per tahun sebesar 6,39%. Sehingga dari data Sensus Penduduk akhir 2011, sebenarnya orang Papua ada 30% dan pendatang 70%.

Mungkin sebagian menganggap terlalu jauh mengaitkan penurunan angka kelahiran dengan kepunahan suatu bangsa, apalagi untuk Indonesia yang saat ini menduduki peringkat 4 dalam jumlah penduduk di dunia. Namun, yakinlah, kita tak awas, lambat laun nasib kita akan sama dengan bangsa-bangsa yang sudah dipaparkan di atas. Dengan melihat kenyataan itu, maka pantaslah kita memberikan standing applause bagi mereka yang telah menyumbang peran untuk mempertahankan eksistensi manusia di dunia ini. Yaitu daerah yang masih menjaga angka kelahirannya tetap dalam batas aman.

Apa yang salah?
Kalau selama ini kita mendengar slogan KB yang sering dipublikasikan melalui berbagai media “Dua anak, lebih baik!” maka kali ini untuk beberapa wilayah seperti Papua perlu kita modifikasi menjadi “Dua anak lebih, baik!”. Mengapa demikian? Karena menurunnya angka kelahiran ternyata bukan solusi nasional, karena ada wilayah di Indonesia yang malah membutuhkan angka kelahiran yang lebih besar. Bukan ingin mengatakan program pemerintah tidak baik, tapi kita perlu lebih cermat dalam mengkanpanyekan sebuah program. seperti peribahasa, “Lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya”, maka perlu terapi yang tertentu untuk masalah tertentu pula. tidak semua bisa kita generalisasikan. tidak semua program dapat kita terapkan untuk semua wilayah indonesia.

Seperti yang terjadi di Papua, program KB yang perlahan, tapi pasti mengurangi jumlah penduduk asli Papua, atau tetap mempertahankan jumlah stasioner, sehingga mereka menjadi minoritas di negeri leluhur atau negara kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat Papua menghendaki adanya kebijakan kependudukan yang mendorong percepatan jumlah penduduk asli Papua, meski tidak akan mengimbangi jumlah orang non-Papua. Dari sisi jumlah dan komposisi etnis, program KB dinilai mempertahankan jumlah penduduk asli Papua tetap sedikit; tetap menjadi kelompok minoritas. Program ini lebih tepat diterapkan di pulau Jawa dan daerah-daerah lain yang padat penduduknya.

Dua anak, cukupkah?
Kembali kepada esensi KB yang sebenarnya. Program KB yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, kualitas keluarga, dan masyarakat, hendaknya dikembalikan kepada esensi yang sebenarnya. Jangan malah tertutupi oleh program spesifik yang ditujukan untuk kalangan tertentu, seperti program “2 anak cukup” yang digembar-gemborkan selama ini. Padahal, tidak semua wilayah di Indonesia membutuhkan program “2 anak cukup” tersebut.

Saya tidak menentang KB, karena saya sendiri berasal dari keluarga kecil bahagia dengan jumlah 2 anak, dan sudah turun temurun dari nenek dan kakek saya. Yang saya harapkan melalui tulisan ini adalah adanya pencerahan dan pemahaman bahwa KB bukanlah sesempit slogan “dua anak cukup”, namun lebih dari itu. KB adalah sebuah upaya yang cerdas jika disekapi dengan benar. Merencanakan sebuah keluarga dengan persiapan yang matang dan pengalaman yang baik, tentu akan menghasilkan putra-putri harapan bangsa yang berkualitas. 

Jika mampu demikian, maka saya pikir tidak cukup hanya dua, karena rugi rasanya jika ada keluarga yang matang, mapan, dan bahagia hanya memberikan sumbangan 2 putra-putri terbaik untuk masa depan bangsa ini, karena bukankah negara ini butuh lebih banyak lagi? Dan bukankah dengan begitu kita terhindar dari kepunahan? Semoga kita bisa!

* dr. Zara Novita Sari, Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand), Padang. Email: zanosa061187@yahoo.co.id