Menjaga Lingkungan Laut

Sabtu, 2 Juni 2012
Oleh Sugi Pratiwi-opini serambi indonesia

DALAM rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni mendatang, saya coba membahas sedikit mengenai salah satu perusak dari lingkungan laut. Pertanyaannya, barangkali, mengapa harus laut? Itu tidak lain, karena sekitar 70% bumi dikelilingi oleh lautan dan laut merupakan penghasil sumber daya alam yang terbesar dibandingkan lingkungan alam lainnya.

Karena itu pula, barangkali, sejak zaman kekuasaan Romawi, penguasaan atas laut juga sudah diklaim kepemilikannya, ada yang berpendapat laut dapat dikuasai dan sebaliknya. Mengapa? Karena menurut mereka laut akan mendatangkan manfaat yang besar apalagi di zaman serba canggih ini yang memungkinkan apapun dapat diperoleh dari laut. Jadi bayangkan saja jika lingkungan laut rusak, sangat merugikan manusia bukan?

Acanthaster Planci, mungkin banyak dari kita yang belum pernah mendengar nama ini. Hewan ini yang dalam bahasa Indonesianya adalah Bintang Laut Mahkota Duri adalah pemangsa karang yang paling berbahaya ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang hidup dimangsa olehnya.

Ciri-ciri hewan ini memiliki lengan antara 8-21 buah, memiliki duri-duri yang beracun berukuran 2-4 cm di setiap sisinya dan termasuk ke dalam kelompok kelas Asteroidea sedangkan warnanya bervariasi berdasarkan lokasinya, ada yang merah, biru keunguan, hijau bahkan kelabu. Acanthaster Planci memakan polip-polip karang yang baru muncul. Padahal, seperti diketahui bahwa karang untuk tumbuh 1 cm saja, misalnya, memerlukan waktu sampai satu tahun.

Merusak terumbu karang
Sebenarnya, Acanthaster Planci juga berjasa dalam pemulihan karang karena setelah Acanthaster Planci memakan karang, memungkinkan karang tersebut untuk tumbuh baru, tetapi ini hanya jika populasinya rendah. Sebaliknya jika populasi Acanthaster Planci melebihi kemampuan karang untuk pulih kembali, maka yang terjadi adalah sebuah bencana kerusakan terumbu karang.

Untuk Kepadatan populasi Acanthaster Planci pada terumbu karang yang normal sekitar 6-20 individu per kilometer persegi (Moran 1990). Kepadatan tersebut setara dengan 0,06-0,2 individu dewasa per hektare. Terumbu karang yang sehat, dengan tutupan karang 40-50%, dianggap dapat menampung Acanthaster Planci 20-30 ekor per hektare tanpa kerusakan yang berarti (CRC, 2003).

Pada saat terjadi peledakan populasi kepadatan Acanthaster Planci sekitar 20,6 individu kecil per meter persegi, atau 158 individu dewasa per 314 meter persegi, atau 1150 individu dewasa per 20 menit renang orang dewasa (Moran 1990). Kepadatan saat peledakan populasi tersebut setara dengan 0,5 individu dewasa per meter persegi atau 5032 individu dewasa per hektare.

Jadi dapat dibayangkan jika terumbu karang rusak, populasi ikan pasti berkurang, dan jika tidak ada ikan, mata pencaharian nelayan sebagai penangkap ikan juga sudah tidak ada lagi. Belum lagi bagi daerah-daerah yang menjual keindahan pantainya, jika terumbu karang rusak otomatis para wisatawan juga tidak akan datang lagi dan itu akan sangat merugikan bagi perekonomian daerahnya.

Penelitian di Iboih 
Pada 2009, sekitar tiga tahun lalu, saya pernah melakukan penelitian karya ilmiah mengenai hewan ini di Pantai Iboih, Sabang. Saya hanya ingin mengetahui ada atau tidak hewan ini di perairan laut Sabang. Alhasil, hewan ini juga ada di perairan Iboih. Acanthaster Planci yang saya dapatkan waktu itu berwarna biru keunguan. Tidak hanya itu, ternyata ada semacam komunitas pecinta lingkungan di kawasan Iboih tersebut yang selalu menjaga lingkungan laut termasuk mengawasi si Acanthaster Planci ini, sehingga peledakan populasi (outbreak) tidak terjadi di daerah ini.

Saya pernah mewawancarai pendiri komunitas tersebut, Mahyiddin yang akrab disapa Doden (sekarang sudah almarhum): Apakah Komunitas tersebut merupakan hasil dari bentukan pemerintah setempat? Ternyata tidak, komunitas tersebut adalah hasil inisiatif beliau dan rekan-rekan koleganya. Doden dan rekannya hanya menjaga lingkungan laut dengan niat untuk kelangsungan hidup anak cucu mendatang.

Jika bukan kita yang menjaga siapa lagi? Mereka bisa, mengapa kita tidak? Jika kita melakukan sesuatu dengan niat yang baik dan ikhlas pastinya hasil yang kita peroleh juga akan baik. Ayo jaga lingkungan hidup kita, tidak hanya laut, banyak yang lain yang masih membutuhkan perhatian kita. Save the world for the shining future!
* Sugi Pratiwi, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: sugi_pratiwi22@yahoo.com