Diantara riuhnya Pilkada, ada momen penting yang menyita perhatian khalayak, “Earth Hour”; Kampanye Global Aksi Padam Lampu Satu Jam, yang digagas lembaga konservasi terbesar di dunia World Wildlife Fund (WWF). Sisi menariknya adalah karena persoalan listrik byar pet (hidup mati) adalah persoalan klasik di Aceh. Seiring pergantian gubernur yang silih berganti tak kunjung ada solusi kongkrit tentang “nasib” listrik di Nanggroe Syariah kita hingga hari ini. Anggap saja ini sebuah tantangan bagi siapapun gubernur kita kelak, untuk peduli listrik dan peduli lingkungan sekaligus dalam satu “bungkus” pesan yang sama ‘Earth Hour”.
Kenyataan itu sekaligus menegaskan, bagaimana perlakuan kita terhadap bumi, karena kontribusi kita satu jam saja hemat listrik, telah memberikan deretan fakta yang mencengangkan!. Bagaimana jika kontribusi itu juga kita lakukan terhadap sisi kehidupan yang lain seperti menjaga hutan lebih lestari atau daur ulang sampah, hal paling dekat dalam keseharian kita, tentu ada fakta tersebunyi yang bakal menjungkirbalikkan realitas kita.
SIMBOLISASI HEMAT ENERGI
Dibandingkan 365 hari konsumsi kita terhadap listrik, pemadaman satu jam listrik tentu tak memadai. Satu jam ini adalah simbolisasi, bahwa kita sebagai individu berkontribusi pada emisi karbon yang kita hasilkan seperti listrik. Jika konsumsi listrik meningkat, berimplikasi pada meningkatnya emisi di atmosfer bumi yang menjadi salah satu pemicu pemanasan global dan perubahan iklim. "Earth Hour bukan tujuan tapi alat. Ini adalah gerakan untuk menyampaikan pesan pada publik," kata Direktur Program Iklim dan Energi WWF Indonesia, Nyoman Iswarayoga. Di tanggal dan waktu yang ditentukan, masyarakat diajak mematikan lampu selama satu jam. Dari waktu yang singkat tersebut, masyarakat bisa berpartisipasi dalam “menunda” pemanasan global dan krisis lingkungan karena termasuk menghemat energi dengan cara yang mudah dan murah, sebagai bagian dari gaya hidup “hijau”yang tahun 2012 ini dikemas dengan tajuk “ini aksiku!, mana aksimu?”, dengan memberi contoh langsung.
Kampanye global 2011 yang digagas Andi Ridley, relawan WWF, adalah wujud kepeduliannya terhadap lingkungan dengan harapan besar. Aksi ini akan mendorong para pemimpin negara untuk bersama-sama menciptakan perjanjian iklim yang mengikat, paska tidak memuaskannya hasil kesepakatan dalam konferensi iklim di Kopenhagen, Denmark, Desember 2010 silam. Kampanye yang diawali di tahun 2007 oleh WWF Australia dan Leo Burnett Sydney dari The Sidney Morning Herald ini terus menggelembung dan diikuti oleh banyak negara. Tahun 2011 lalu, merupakan aksi Earth Hour terbesar setelah 5 tahun peringatannya yang diikuti 135 negara di seluruh dunia, menjangkau 5251 kota, dan melibatkan 1,8 miliar orang di 7 benua dan kampanye digitalnya diakses oleh 91 juta orang. Ini menjadi aksi sukarela terbesar yang pernah disaksikan umat manusia.(National Geographic-wikipedia).
Banda Aceh adalah kota pertama di Pulau Sumatera yang berinisiatif ambil bagian dalam aksi ini. Earth Hour 2012 sekaligus menjadi sejarah baru bagi Aceh, karena partisipasinya untuk pertama kalinya yang ditandai dengan mematikan lampu/peralatan listrik yang tidak terpakai secara serentak selama 1 jam pada Sabtu, 31 maret 2012 pukul 20.00-21.00 WIB. Dukungan lebih dari tiga puluh satu komunitas dan lembaga lingkungan di Aceh yang dipusatkan di Balai Kota Banda Aceh menunjukkan wujud dukungan kampanye Earth Hour yang akan dilaksanakan serentak di seluruh dunia. Hingga saat ini ada 26 kota di seluruh Indonesia berpartisipasi dalam Earth Hour 2012. Dan Kota Banda Aceh akan menjadi bagian dari 5251 kota di 135 negara yang ikut berpartisipasi dalam aksi global mematikan lampu selama satu jam.¬(act.earthday.org).
SATU JAM SAJA
Earth Hour adalah aksi kampanye hemat energi dengan kemasan yang menarik, terbukti aksi ini menuai simpati yang terus meluas secara mondial. Dengan kemasan yang berbeda Earth Hour mencoba mengajak “dunia” pada sebuah aksi sederhana “memadamkan” lampu satu jam saja. Namun memberi imbal balik yang luar biasa bagi upaya hemat energi dan membangun kesadaran dan pemahaman kepada khalayak luas tentang pentingnya menghemat energi dan memasyarakatkan gaya hidup yang peduli dengan hal-hal sepele dan sederhana namun berkontribusi besar bagi kehidupan. Seperti harapan yang diusung dalam Earth Hour 2011 lalu, ‘Setelah Satu Jam, jadikan Gaya Hidup”.
Malam puncak Earth Hour, 31 Maret 2012 di Banda Aceh, ditandai dengan pemadaman lampu di 4 ikon kota Banda Aceh yakni Mesjid Baiturrahman, Balai Kota, Museum Tsunami dan Jembatan Pante Pirak. Selain itu ada gedung Mapolda Aceh dan Perkantoran lainnya di bawah jajaran Polda Aceh. Pemko Banda Aceh juga akan berpartisipasi dengan memadamkkan lampu-lampu jalan di sejumlah ruas seperti jalan T.Umar-Cut Nyak Dien, Jalan Sudirman, jalan Lamjame, jalan T. Iskandar Muda sampai depan mesjid Uleelheu, Jalan Daud Beureueh-T.Nyak Arief sampai Lamnyong, Jalan Tgk Nyak Makam sampai Jembatan Pango, Jalan Tgk Mohammad Hasan, Jalan Lueng Bata, Jalan Mohammad Jam, Jalan T. Panglima Polem dan Komplek PKA.
Moment satu jam ini menjadi simbolisasi yang menegaskan masih adanya kepedulian terhadap berbagai persoalan keseharian yang masih terus berkutat dengan masalah.
NASIB LISTRIK KITA
Ada wacana menarik yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo terlepas dari bagian kampanyenya yang berharap "earth hour"--aksi mematikan lampu satu jam yang digagas World Wildlife Fund (WWF)--bukan sekadar program tahunan, tetapi juga menjadi gaya hidup hemat energi warga ibu kota. "Earth hour jangan dilihat sekadar matikan lampu, menghemat listrik, tetapi kita ingin melihat ini sebagai way of life. Menghemat energi sebagai bagian pola hidup kita ke depan,". Bahkan untuk Jakarta menurutnya paling tidak akan dilakukan pemadaman beberapa kali dalam satu tahun, minimal di hari Bumi (22 April) dan Hari Lingkungan Hidup (5 Juni).
Dalam kancah ke-Aceh-an yang tengah bergerak terus ke arah metropolitan, persoalan listrik harus masuk dalam skala prioritas program pembangunan Aceh, dibawah kendali siapapun gubernur yang akan kita pilih pada 9 April 2012 mendatang. Persoalan listrik yang masih terus “hidup mati” dan tergantung dari pihak luar berimplikasi tidak saja pada pemborosan secara financial dalam kerangka bisnis dan pertumbuhan ekonomi, tapi juga dalam kacamata pola hidup hijau. Bayangkan jika listrik hidup mati tak terkendali yang dipahami secara tehnis tidak saja merusak mesin namun juga meningkatnya biaya konsumsi listrik di rumah tangga, belum lagi berbicara bisnis yang membutuhkan pasokan listrik secara konsisten dan “jelas”.
Secara perlahan perubahan harus dimulai dari pembangunan infrastruktur yang serius lalu diikuti dengan pengaturan yang disesuaikan dengan konsumsi listrik kita. Barangkali diantara sekian banyak tantangan menjaga Aceh kedepan selain perdamaian yang menjadi prioritas utama, persoalan tehnis ini bukan soal yang mustahil, apalagi guyuran dana yang berlimpah tersedia saat ini. Semuanya tergantung pada “kemauan dan niat baik”, gubernur kita ke depan. Secara tidak langsung momen ini mengingatkan kita tentang berbagai persoalan kelistrikan yang menjerat “kebebasan” kita dalam menggunakan listrik sebagai kebutuhan vital. Sehingga kita tidak lagi terus berkutat dengan persoalan pasokan listrik yang tidak cukup, pengendalian penggunaan konsumsi listrik yang serba tak pasti, terlebih ketika dihadapkan dengan wacana penghematan kita masih maju mundur karena masih harus berpikir tentang bagaimana “memiliki listrik sendiri” dulu baru bisa berhemat energi.
Terlepas dari ruwetnya persoalan itu, Earth Hour ini harus menjadi catatan penting, bagi semua pihak bahwa pilihan-pilihan yang tersedia didepan kita sangat tergantung pada keseriusan kita sendiri dalam memutuskan yang terbaik. Ini tidak saja menjadi “semangat” bagi bagaimana membangun Aceh agar “terus terang, terang terus” tidak saja dalam soal pelik politik tapi juga soal listrik yang telah membelit sekian lama, namun juga waktu untuk “belajar” lebih hemat energi, sehingga kelak dengan pembangkit listrik sendiri kita tahu bagaimana seharusnya yang terbaik yang dapat kita lakukan.
Mungkin jika ada ide gila yang bisa kita tawarkan dalam kesempatan kampanye hari ini, kita buat saja tantangan, siapapun Calon Gubernur kita ke depan yang bisa menjanjikan “era listrik yang lebih baik”, patut dipertimbangkan untuk kita pilih dalam pilkada 9 April nanti.[hans-2012].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar