Oleh hanif sofyan-naskah asli
Sisi menarik dari hingar bingar Pilkada adalah ketika kita menyoroti perilaku para calon pemimpin kita. Ada calon yang berangkat dari jalur akademisi yang was-was dan kuatir karena harus kehilangan jabatannya sebagai kepala institusi, ada calon lain yang kuatir kehilangan jabatan pemimpin negeri karena kuatir tak bisa diraihnya lagi, sekalipun kans-nya tetap besar, ada juga yang tak mau beringsut dari jabatan lamanya di institusi, dengan alasan calon lain juga tak mau mundur dari jabatannya, dan rival senior politik menjadi acuannya. Ada juga yang maju dengan kepercayaan diri yang tanggung dan berharap pada keajaiban untuk menang.
Bacaan sehari-hari kita di media adalah polah tingkah dan gaya para calon pemimpin kita masa depan dalam mempertunjukkan kepribadian yang sesungguhnya dalam berpolitik dan barangkali begitu juga kelak dalam memimpin Aceh nanti.
Mungkin mereka terobsesi oleh kata-kata Teddy Roosevelt, yang memotivasi sekaligus juga terdengar mengintimidasi “ jauh lebih baik menjelajahi hal-hal besar, merebut kemenangan gemilang, meski dihadang kegagalan berkali-kali, daripada tinggal bersama jiwa-jiwa miskin yang tidak menikmati kebahagiaan maupun penderitaan, karena mereka tinggal di wilayah abu-abu yang tak kenal kemenangan atau kekalahan”.
Banyak kekonyolan, kemunafikan, perseteruan dengan substansi berbeda-beda yang tertangkap media, sebagai berita “penelanjangan” kepribadian masing-masing calon pemimpin Aceh masa depan. Itu belum termasuk kisah kebijakan-kebijakan para pemimpin apakah terkait institusi maupun kapasitas sebagai pemimpin nanggroe yang dipimpinnya, yang bisa direkam kisahnya melalui media yang kita nikmati hampir setiap harinya. Lainnya adalah perilaku tebar pesona yang berlebihan dan keterlaluan, dengan membawa gerbong institusi dan memainkan kesempatan dari kocek institusi yang dipimpinnya. Berbagai pelajaran menarik itu tak akan kentara jika tidak dalam proses pilkada. Disinilah jurus-jurus tipu muslihat tengah dimainkan dengan cara “abu-abu” tapi menghanyutkan, namun sebenarnya teramat terang bagi kita, para rakyat pemilik suara yang sedang diperebutkan. Belum lagi soal “pencurian start” dengan memanfaatkan segala momen, fasilitas dan kesempatan , baik dana maupun jabatan untuk kampanye, baik dalam acara duniawi semacam festival hingga acara sakral semacam doa bersama sekalipun sebagai kendaraan politik.
Ada lagi kisah para pemimpin agama yang berputar haluan untuk berpolitik, dengan bahasa politis, “jika ingin melakukan perubahan maka kita harus masuk kedalam “sarang”, terlibat aktif dan melakukan perubahan di dalamnya”, mudah-mudahan ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagaimana seorang ulama bermain “politik” namun tetap menjaga marwah dan amanah sebagai penyambung lidah para nabi. Jika kelak realitas yang dipertontonkan berlawanan 180 derajat dengan harapan, itu artinya virus politik telah merambah jauh ke dalam relung siapapun tidak pandang bulu, apakah itu seorang politikus tulen atau ulama sekalipun apalagi cuma politikus pemula yang mencoba-mencoba masuk dalam “rawa gambut” politik yang tenang dipermukaan namun dalam ketika kita memijaknya hingga mungkin kita tak bisa bernafas jika kita tak melakukan segala cara untuk keluar dari jebakan lumpur penghisap itu.
Sekalipun tebar pesona merupakan bagian dari ritual pilkada di setiap perhelatannya, yang di tahun 2012 ini bakal dimulai pada akhir januari atau awal februari, yang bahkan dalam proses pilkada ini dijadwalkan bagi masing-masing kandidat untuk melakukan segala daya dan upaya, selama prosesnya sehat dan masuk akal tetap diperbolehkan, sekalipun diam-diam melakukannya dengan segala tipu daya. Saneca, seorang filsuf Yunani, bilang “orang yang mengambil keuntungan dari suatu tindak kejahatan berarti ia melakukannya.”
“alangkah beruntungnya penguasa yang rakyatnya tidak berpikir”, karena dapat dimainkan sekehendak hati para pemimpinnya, kata Adolf Hitler. Dalam buku karangan Jonathan Gabay, “Soul Traders”, mengutip pernyataan Abu Musab al-Zarqawi, “ Kita sedang berada dalam peperangan; lebih dari setengah peperangan ini mengambil tempat dalam medan perang media….sebuah perlombaan untuk mendapatkan hati dan pikiran rakyat kita.” Disinilah kiranya “ruang”, permainan politik menemukan jalan untuk mendapat “legitimasi” untuk memenangkan sebuah pertarungan politik.
Sebagai awam yang mencoba mengamati fenomena, kedalam sebuah bingkai realitas yang rasional kiranya teramat sulit untuk membayangkan rumitnya dunia politik yang oleh sebagian orang, para pelakunya, dijuluki dengan “manusia dengan lidah bercabang dua”. Yang memungkinkannya berbicara dalam dua bahasa dengan komposisi hati yang dua macam pula, disatu sisi untuk bermanis-manis, disisi lainnya untuk mengintimidasi, mengkambinghitamkan, memecah belah, membusukkan para pesaing yang menjadi lawan politiknya.
Kisah sebagai Nubuah
Belajar dari filosofi banyak kisah para pemimpin terdahulu, mungkin dapat menggugah hati para calon pemimpin Aceh kita nantinya. Dalam sebuah kisah disebutkan, ketika seorang sahabat Nabi diutus menjadi seorang hakim, beliau justru menangis dan kuatir, karena sebuah alasan sederhana, takut tak mampu berlaku adil. Begitupun dalam kisah yang lain, ketika Abu Bakar Bin Khatab memimpin negeri, ketika tengah bekerja didatangi sanak keluarga untuk sebuah diskusi, beliau menanyakan kepentingannya, apakah terkait soal negara atau pribadi, ketika dijawab hanya soal pribadi, maka segera dimatikannya lilin Itu, jawabannya adalah alasan sederhana bahwa lilin itu adalah lilin yang dibeli dari uang negara dan yang sedang mereka bicarakan adalah urusan pribadi. Di lain kisah yang lebih popular dikisahkan tentang kisah Umar dan sebuah keluarga kecil ibu dengan dua orang anaknya yang kelaparan dan terpaksa memasak batu, yang menggugah hatinya sebagai pemimpin yang tidak memahami kondisi rakyatnya. Apa hikmah yang dapat dipetik dari kisah itu?, sekalipun kita masih jauh dari nubuah kisah itu, karena kita bukan malaikat atau nabi, atau khalifah begitu biasanya orang berdalih, maka mendekati itu adalah sebuah kemungkinan yang sangat bersahaja namun juga agung.
Setidaknya “pertarungan” politik merupakan sebuah ajang pertarungan pemikiran yang mengedepankan kepentingan nanggroe dan rakyat, tidak selalu monoton pada perseteruan kekuasaan dan hegemoni yang selalu “berwarna” sama setiap kali perhelatan dilakukan. Ada perubahan mindset dalam “mencerdasi” dan memahami hakekat pilkada tidak sekedar pesta formalitas, sementara pemenang diam-diam telah mengatur sebuah skenario untuk selalu “tak terkalahkan”, masih lumayan jika “diniatkan” menangnya untuk perbaikan nasib baik orang banyak.
Sekolah pilkada
Pilkada yang mungkin akan digelar April 2012, mendatang, akan menjadi “kelas” penting, pelajaran para calon pemimpin kita masa depan, karena beragamnya “murid” yang hendak bersekolah dikelas bergengsi itu.
Ada “murid” ala pemimpin yang berusaha keras menjaga hegemoninya dengan melakukan hampir semua cara, karena harapan kelompok, harapan klan, harapan mitra, cukong, toke yang menjadi sumber pundi uang. Bukan lagi sekedar menjaga gengsi menang dalam pertarungan, tapi meneruskan “kerja-kerja dan deal” yang belum selesai.
Ada “murid” lainnya ala pemimpin yang bermain-main api dalam proses pilkada sehingga harus mengulur waktu, berdalih, karena desakan tenggat waktu pilkada yang makin mendesak, sementara “tersandung” pada deal, kesepakatan persetujuan dan izin yang harus segera ditandatangani, namun tersangkut dalam pro dan kontra, sementara mengharapkan hasil paska pilkada masih belum dapat dipastikan apakah kemenangan masih berpihak kepadanya?, bagaimana jika kemungkinannya justru sebaliknya?, maka hilanglah segala peluang untuk “nilai” tanda tangannya. Bagaimana jika jatuh ke tangan lawan politik yang tak se-ide dan sejalan dengannya?, maka buyarlah impiannya. Dengan berbagai persoalan serupa itu, wajarlah jika para calon pemimpin kita kini memainkan semua jurus “M”; Meremehkan, menyikut, memukul, menindak, menyabet, memaksa, merangkul dan “M” lainnya untuk dapat meraih ambisi dan kemenangannya.
Ada juga murid dengan gaya ala pemimpin yang mengulur waktu, karena kuatir jabatannya bakal luntur sehingga berdalih dengan berbagai alasan untuk tetap duduk ditempatnya, sementara belum ada kepastian tempat baru yang sedang berusaha direbutnya . Bahkan ketika simpang siur pilkada berlarut, makin mengentalkan niatan yang sebenarnya dari kemauan politik dan ambisinya. Sekalipun kans untuk maju masih diantara 70;30, bahkan jika mau berbesar hati posisinya yang sekarang sebenarnya lebih menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya.
Ada yang mencoba berspekulasi dengan gaya manis, namun belum teruji bagaimana perilakunya terhadap uang dan kekuasaan yang lebih besar dari yang pernah disandangnya sekarang. Namun semuanya sah-sah saja dalam kelas bergengsi itu, semuanya masih punya peluang untuk bisa lulus dan lolos. Karena sayangnya kemungkinan lulusnya bisa 180 derajat berbeda dengan harapan banyak orang karena “uang” dan “kekuasaan”, masih menjadi kekuatan yang dominan mengatur suara rakyat sebagai “guru” pemberi nilai.
Semua calon pemimpin kita nyatanya memilih filosofi “santan beuna, boh u bek teuplah”. Pilihan-pilihan politis yang sulit adalah pelajaran yang berharga bagi para calon pemimpin kita dalam menentukan pilihan yang sama-sama sulit dan sama-sama menguntungkan. Bagaimana kelak, jika mereka berhadapan dengan realitas yang sama dan mereka dapat melakukan keduanya karena mereka memiliki otortitas dan wewenang, mereka akan melakukan pola yang sama dengan apa yang sedang mereka pertunjukkan sekarang. Konon lagi jika itu secara hukum di anggap boleh?, maka dimulailah drama dan pertunjukkan “penyimpangan” nilai-nilai yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Ketika hal ini terjadi maka tertutuplah, mata, telinga, mulut dan matahatinya dari apapun.
Dari semuanya, kita sebagai rakyat hanyalah berusaha memberi kesempatan dengan dua kemungkinan, berubah menjadi lebih baik bagi yang telah berlaku buruk maupun memberi kesempatan bagi yang belum untuk menguji ketahanannya terhadap “godaan” dan “tipuan” kekuasaan. Meskipun seringkali banyak orang tergelincir, ketika memasuki gelanggang politik, sekalipun kita tak bisa menyamaratakan karena tentu masih saja ada harapan yang sedikit daripada tidak sama sekali untuk sebuah kebaikan.
Sebenarnya fragmen inilah yang sedang di tonton rakyat hari dalam sebuah kelas besar pilkada. Sebuah sekolah, “kawah candradimuka”, para calon pemimpin yang diharapkan kuat hati dan pikiran untuk kemaslahatan rakyat, sebagai konstituen yang memilih dan memberinya kesempatan dengan harapan yang sangat besar untuk sebuah kebaikan.
Meskipun realitas politik, uang dan kekuasan, dapat memainkan perannya untuk menang, mengabaikan semua harapan, setidaknya rakyat makin cerdas memahami seperti apa sebenarnya para calon pemimpin kita hari ini. Karena harapan kita tidaklah sesempit hanya tata ruang kota yang indah, gedung pemerintahan yang makin elit, kota yang makin bersih, mall yang makin banyak dan ramai, parkir yang lebih nyaman,pengelolaan lingkungan yang lebih lestari, lebih dari itu pemimpin dengan kebijakan yang pro rakyat dan amanah adalah hal lain yang lebih diimpikan. Seperti dituturkan John Seely Brown, mantan ilmuwan kepala di Xerox yang bilang “ Pemimpin tidak hanya membuat produk dan mengambil keputusan. Pemimpin juga memberi arti.” [hans]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar