
Tanpa air, manusia, bahkan bumi tak memliki daya hidup. Selain udara sebagai paru-paru bumi, air adalah ibu dari kebutuhan primer manusia. Manusia dapat bertahan hidup tanpa makanan selama 8 minggu, namun tanpa air, 3-5 hari akan menjadi rekor baru manusia untuk mampu bertahan hidup. (howstuffworks,30/11/2009). Bahkan untuk kesehatan dan efisiensi tubuh ideal saja, manusia membutuhkan minimal 2 liter air bersih per hari (survivaltopics, 2011).
Gagasan apa yang hendak dimunculkan Kevin Reynolds sang produser, dengan menghadirkan film tersebut. Dilema kelangkaan airkah atau kekuatiran pada water war, perang memperebutkan air?. Dalam Blue gold: world water wars film yang disutradarai Malcolm McDowell dan Buku Blue Gold karya Maude Barlow dan Tony Clarke, kelak air akan menjadi komoditi primer bernilai multi jutadolar dan merajai pasar. Bahkan negara dengan konsep demokrasi yang mengatur bahwa “bumi dengan segala isinya untuk kesejahteraan rakyat” sekalipun tak mampu berkutik dalam persaingan bisnis. Kelak air juga akan menjadi alat pemicu perang bisnis dan perang dalam arti yang sesungguhnya, perang memperebutkan air!.
Komoditas Langka
Pada mulanya gagasan menjual air dalam botolan adalah gagasan tak masuk akal. Betapa tidak, dengan kemudahan akses orang terhadap air, lalu muncul gagasan menjual air dengan harga mahal. Namun ternyata gaya hidup, gengsi, dunia serba instan, mempermulus bisnis ini. Jika kini saja air botolan bisa dijual pada label harga ribuan bahkan puluhan ribu, padahal 2 dekade lalu dianggap mustahil, bagaimana bayangan kita untuk tahun 2025.
Laut memang luas, namun seberapa banyak negara pada tahun 2025 yang mampu menyuplai air untuk mayoritas warga negaranya. Bayangkan jika sebuah negara kecil seukuran Maladewa atau Maldives yang didiami oleh 103.693 jiwa penduduk (2006) dan masing masing orang mengkonsumsi 5 liter setiap harinya maka dibutuhkan, 518.465 liter, kasarnya kurang lebih setengah juta liter per hari. Berapa banyak pabrik dibutuhkan untuk menyuplai air bersih sejumlah itu?, berapa banyak energi yang harus dikorbankan untuk melakukan penyulingan?. Energi apa yang layak digunakan untuk menyuplai kebutuhan air yang harus dikonsumsi setiap hari sepanjang hayat?. Dan pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah, berapa banyak negara mampu melakukan produksi dengan alat dan tehnologi, dengan biaya yang tinggi?. Akankah hal tersebut nantinya akan mendorong persaingan, ekspansi, aneksasi,invasi antar negara untuk saling berebut dan menguasai.
Pro Kontra Diet Air
Agak aneh dan terasa mengada-ada barangkali jika kita sekarang berandai-andai soal itu, karena hari ini, air ledeng masih penuh di ujung kran air kita, air minum dalam kemasan masih jadi komoditi kelas kesekian dari sekian banyak kebutuhan primer kita. Hasilnya, daya kritis kita masih minus, tantangan langkanya air belum dianggap darurat. Kecuali mungkin bagi kelompok-kelompok pegiat lingkungan yang mulai meresponnya dengan menawarkan gagasan “lebih ramah dan peduli lingkungan”dengan hemat air. Sebagian orang mengolok-olok layaknya kisah Nabi Nuh dan perahunya. Dianggap bicara omong kosong ketika bicara krisis air, karena kuatir dengan realitas yang belum terbayang mata. Namun, setidaknya wacana “kekuatiran” ini akan memberikan ruang kontemplasi, bahwa konsep keseimbangan manusia dan alam yang selalu digembar-gemborkan para pecinta lingkungan bukan sebuah kekuatiran yang tak beralasan dan hanya berdasar phobia semata. Ini pulalah yang mendasari Diperingati Hari Air Sedunia setiap 22 Maret, berdasarkan kesepakatan Sidang Umum PBB ke-47 pada 22 Desember 1992 yang melahirkan Resolusi Nomor 147/1993 tentang hari peduli air yang akan diperingati besok.
Mungkin kita kelak akan menjadi generasi yang tak akan menjumpai realitas itu (sebuah dunia minim air), meski faktor gizi mendorong kita memiliki umur lebih panjang namun, kita rapuh dengan berbagai penyakit baru yang bermunculan. Bagaimana dengan anak-anak kita, pernahkan kita memikirkan bahwa langkah kecil untuk peduli pada kekuatiran masa depan “sebuah dunia minim air”, adalah demi buah hati kita yang kelak akan menjalani hidup, minimal dalam kategori normal seperti yang kita rasakan sekarang.
Kita belum lagi menyentuh substansi lain, tentang air tanah dan interupsi air laut, yang mulai menjarah daratan, seperti yang terjadi di Ibukota Jakarta misalnya, hingga masuk radius mendekati permukiman paling padat penduduk di tengah kota. Pada tahun 2025, 78,4% kabupaten/Kota di Pulau Jawa akan defisit air, (detikcom, 2011),kelak, seluruh Jakarta akan “dijajah” interupsi air laut. Sehingga PDAM akan beralih fungsi menjadi "PDPAL" (Perusahaan Daerah Penyuling Air Laut). Dan air akan masuk dalam level dua dari proses produksi pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi. Perusahaan Daerah yang dikelola negara akan menjadi perusahaan penyuling air, dan perusahaan swasta membelinya dan mengemasnya dalam botol. Kira-kira seberapa penting komoditas air ketika itu?, dan berapa kira-kira harganya?.Berapa persen yang tak mampu menjangkau realitas itu, karena faktor kemiskinan dan ketidakmampuan?
Bandingkan realitas mampu dan tidak mampu saat ini, berapa persen yang bisa mengakses air bersih hari ini?. Seimbangkah antara demand supplay dan jangkauan ekonomi berbagai lapisan masyarakati yang hari ini mewarnai negeri kita?. Atau konkritnya golongan ekonomi kelas berapakah yang kelak mampu bertahan hidup dan bisa menjangkau air sebagai kebutuhan hariannya, tak usahlah berpikir soal mandi, karena itu bisa dipenuhi oleh air dengan kualitas nomor tiga, bahkan lima atau enam buat kelas tertentu di bantaran kali Ciliwung Jakarta, atau Krueng Aceh. Jangan dulu beranjak pada kemungkinan realitas lain, ketika kebutuhan primer ini menjadi “emas baru”, maka orang mungkin akan merampok untuk mendapatkan “emas biru”, sebutan untuk air. (Karen, Blue Gold:50)
Masih beruntung kita tinggal di Sumatera dengan daratan luas. Mungkin butuh waktu lebih lama untuk merasakan krisis layaknya Jakarta, namun krisis ini akan terus berjalan layaknya epidemi, merangsek dari kota yang aksesnya di pinggir laut dan beranjak ketengah secara perlahan. Karena musnahnya air tak mesti harus menunggu punahnya daratan. Ketika interupsi air laut jauh masuk kedaratan, ketika itu juga “era krisis air” dimulai. Water Crisis Begins!. Akhirnya kita memang harus mengikuti ritme alam, "mendengarkan" dengan hati, lebih bijaksana, lebih arif dan menyurutkan nafsu serakah menguasai alam dengan seluruh isinya layaknya tuhan-tuhan kecil dalam bumi Tuhan Maha Besar. [hans-2012]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar