Rabu, 18 Januari 2012 opini serambi indonesia
Oleh Juanda Djamal
TINDAKAN Mendagri melakukan gugatan terhadap KPU ke Mahakamh Konstitusi (MK) merupakan bentuk komitmen Pemerintah nasional dalam merespons berbagai gejolak keamanan yang terjadi di Aceh. Harapannya proses perdamaian yang telah terwujud tidak ternodai oleh kekisruhan pemilukada.
Putusan MK yang “membuka kembali pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota untuk memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar, baik yang diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik, maupun perseorangan, termasuk pelaksanaan verifikasi dan penetapan bagi pasangan calon baru sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak putusan sela ini diucapkan” merupakan langkah strategis bagi kepentingan nasional di Aceh.
Tindakan yang dilakukan oleh Mendagri dan MK menjadi bukti bahwa tidak ada politik pemerintah nasional dalam membuat kekacauan dan kegaduhan di Aceh, apalagi keinginan pemerintah SBY untuk merusak perdamaian yang sudah dibangun sejak 15 Agustus 2005. Tentunya, peristiwa politik yang sedang berlangsung di Aceh dapat menjadi pembelajaran demokrasi yang sangat berharga bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia, khususnya pendewasaan politik masyarakat Aceh untuk keluar dari transisi pascakonflik.
Realitas lain
Fase pertama perdamaian menghasilkan gubernur dan kepala daerah kabupaten/kota tahun 2006, selanjutnya menghasilkan anggota parlemen baru pada pemilu 2009, seyogianya dapat membangun fondasi politik Aceh yang lebih kokok sampai menjelang fase kedua perdamaian (2011). Tetapi realitasnya berkata lain, proses transisi demokrasi menuju pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan energi yang lebih besar untuk mempertemukan kepentingan politik semua faksi politik yang terbentuk pascapenandatanganan MoU Helsinki 2005.
Transformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Komite Peralihan Aceh (KPA) dan kemudian bertransformasi lagi menjadi Partai Aceh (PA) merupakan proses politik para eks-kombatan yang mesti dilalui dengan harga yang mahal, menurunkan posisi tawar, memberanikan pelucutan harga diri sampai berjibaku dengan sesama eks-kombatan itu sendiri demi menciptakan sistem politik Aceh yang mensejahterakan. Proses politik ini memberi dampak pembelajaran politik yang sangat tinggi bagi generasi Aceh selanjutnya, begitu pula politik nasional yang semakin hari semakin destruktif.
Keberadaan partai politik lokal yang menciptakan pemikiran negatif pada level nasional, setidaknya saat ini memberikan pembelajaran penting dalam rekonstruksi politik Aceh. Partai SIRA yang dinakhodai pejuang muda era tuntutan referendum (1999), misalanya, memaksa mereka untuk selalu menghadapi cobaan politik.
Hal tersebut diawali oleh belum berhasil merebut kursi di DPRA pada pemilu 2009, sampai menghadapi mundurnya pelaku-pelaku utama di partai tersebut. Begitu pula dengan Partai Rakyat Aceh (PRA), walaupun belum memiliki kekuatan yang kokoh untuk berjibaku dengan partai-partai lain, tetapi saat ini PRA dengan membusungkan dadanya berani untuk berkoalisi dengan satu kekuatan yang dimotori oleh mantan senior-senior di Partai Aceh.
Pencerahan baru
Oleh karena itu, putusan MK memberikan pencerahan baru bagi keberlangsungan politik Aceh ke depan. DPRA dan Pemerintah Aceh serta KIP Aceh dapat menjadikan keputusan MK tersebut sebagai media dalam membangun kembali politik Aceh. Pemilukada bukanlah terminal akhir yang mesti diperebutkan dengan menghalalkan segala cara, pemilukada merupakan alat/kendaraan politik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Seyogianya, DPRA dan Pemerintah Aceh dapat berpikir secara waras untuk mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan kelompoknya. Begitu pula KIP Aceh, walaupun tindakan mengamankan dirinya dari terjangan hukum, tentunya pemikiran waras dapat menempatkan KIP sebagai media yang mengarahkan pelaksanaan pemilukada pada situasi yang aman, fair dan demokratis tanpa mengkhawatirkan basis legal.
DPRA dan Pemerintah Aceh serta KIP Aceh supaya dapat duduk bersama memikirkan langkah-langkah substantif, strategis dan legal berangkat dari pada keputusan MK. Mempertimbangkan keputusan yang hanya terpaut satu bulan dari waktu pencoblosan, maka ada bagusnya semua pihak untuk meredesain pemilukada Aceh dalam suasana yang terbuka, berpikiran sehat dan rasional, berbasis hukum yang kuat dan partisipasi aktif semua pihak.
Toh, Aceh ini adalah milik masyarakat Aceh, jangan sampai elit-elit yang sedang berjibaku untuk kekuasaan ditinggalkan oleh masyarakat, karena jikalau keadaan tersebut terjadi, maka apalah artinya kekuasaan tersebut.
* Penulis adalah Sekjen Konsorsium Aceh Baru.
TINDAKAN Mendagri melakukan gugatan terhadap KPU ke Mahakamh Konstitusi (MK) merupakan bentuk komitmen Pemerintah nasional dalam merespons berbagai gejolak keamanan yang terjadi di Aceh. Harapannya proses perdamaian yang telah terwujud tidak ternodai oleh kekisruhan pemilukada.
Putusan MK yang “membuka kembali pendaftaran pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota untuk memberi kesempatan kepada bakal pasangan calon baru yang belum mendaftar, baik yang diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik, maupun perseorangan, termasuk pelaksanaan verifikasi dan penetapan bagi pasangan calon baru sampai dengan 7 (tujuh) hari sejak putusan sela ini diucapkan” merupakan langkah strategis bagi kepentingan nasional di Aceh.
Tindakan yang dilakukan oleh Mendagri dan MK menjadi bukti bahwa tidak ada politik pemerintah nasional dalam membuat kekacauan dan kegaduhan di Aceh, apalagi keinginan pemerintah SBY untuk merusak perdamaian yang sudah dibangun sejak 15 Agustus 2005. Tentunya, peristiwa politik yang sedang berlangsung di Aceh dapat menjadi pembelajaran demokrasi yang sangat berharga bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia, khususnya pendewasaan politik masyarakat Aceh untuk keluar dari transisi pascakonflik.
Realitas lain
Fase pertama perdamaian menghasilkan gubernur dan kepala daerah kabupaten/kota tahun 2006, selanjutnya menghasilkan anggota parlemen baru pada pemilu 2009, seyogianya dapat membangun fondasi politik Aceh yang lebih kokok sampai menjelang fase kedua perdamaian (2011). Tetapi realitasnya berkata lain, proses transisi demokrasi menuju pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan energi yang lebih besar untuk mempertemukan kepentingan politik semua faksi politik yang terbentuk pascapenandatanganan MoU Helsinki 2005.
Transformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Komite Peralihan Aceh (KPA) dan kemudian bertransformasi lagi menjadi Partai Aceh (PA) merupakan proses politik para eks-kombatan yang mesti dilalui dengan harga yang mahal, menurunkan posisi tawar, memberanikan pelucutan harga diri sampai berjibaku dengan sesama eks-kombatan itu sendiri demi menciptakan sistem politik Aceh yang mensejahterakan. Proses politik ini memberi dampak pembelajaran politik yang sangat tinggi bagi generasi Aceh selanjutnya, begitu pula politik nasional yang semakin hari semakin destruktif.
Keberadaan partai politik lokal yang menciptakan pemikiran negatif pada level nasional, setidaknya saat ini memberikan pembelajaran penting dalam rekonstruksi politik Aceh. Partai SIRA yang dinakhodai pejuang muda era tuntutan referendum (1999), misalanya, memaksa mereka untuk selalu menghadapi cobaan politik.
Hal tersebut diawali oleh belum berhasil merebut kursi di DPRA pada pemilu 2009, sampai menghadapi mundurnya pelaku-pelaku utama di partai tersebut. Begitu pula dengan Partai Rakyat Aceh (PRA), walaupun belum memiliki kekuatan yang kokoh untuk berjibaku dengan partai-partai lain, tetapi saat ini PRA dengan membusungkan dadanya berani untuk berkoalisi dengan satu kekuatan yang dimotori oleh mantan senior-senior di Partai Aceh.
Pencerahan baru
Oleh karena itu, putusan MK memberikan pencerahan baru bagi keberlangsungan politik Aceh ke depan. DPRA dan Pemerintah Aceh serta KIP Aceh dapat menjadikan keputusan MK tersebut sebagai media dalam membangun kembali politik Aceh. Pemilukada bukanlah terminal akhir yang mesti diperebutkan dengan menghalalkan segala cara, pemilukada merupakan alat/kendaraan politik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Seyogianya, DPRA dan Pemerintah Aceh dapat berpikir secara waras untuk mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan kelompoknya. Begitu pula KIP Aceh, walaupun tindakan mengamankan dirinya dari terjangan hukum, tentunya pemikiran waras dapat menempatkan KIP sebagai media yang mengarahkan pelaksanaan pemilukada pada situasi yang aman, fair dan demokratis tanpa mengkhawatirkan basis legal.
DPRA dan Pemerintah Aceh serta KIP Aceh supaya dapat duduk bersama memikirkan langkah-langkah substantif, strategis dan legal berangkat dari pada keputusan MK. Mempertimbangkan keputusan yang hanya terpaut satu bulan dari waktu pencoblosan, maka ada bagusnya semua pihak untuk meredesain pemilukada Aceh dalam suasana yang terbuka, berpikiran sehat dan rasional, berbasis hukum yang kuat dan partisipasi aktif semua pihak.
Toh, Aceh ini adalah milik masyarakat Aceh, jangan sampai elit-elit yang sedang berjibaku untuk kekuasaan ditinggalkan oleh masyarakat, karena jikalau keadaan tersebut terjadi, maka apalah artinya kekuasaan tersebut.
* Penulis adalah Sekjen Konsorsium Aceh Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar