Oleh Khuzaimah Ibrahim
HINGGA penghujung 2011, angka kematian ibu (AKI) masih saja menunjukkan data yang relatif tinggi. Fakta ini menunjukkan betapa sepantasnya momentum hari ibu yang jatuh setiap tanggal 22 Desember tidak saja diwarnai dengan prosesi seremonial saja. Perlu merefleksi peran serta semua elemen masyarakat agar para perempuan Aceh yang tak lain calon ibu masa depan dapat menyambut hidup yang lebih bergairah. Agar kaum ibu dapat Berjaya.
Secara umum, AKI relatif sudah menurun. Pada 2006 lalu, AKI di Aceh 354/100.000 kelahiran hidup. Angka itu melampaui tingkat kematian ibu di level nasional yakni sebesar 307/100.000 kelahiran hidup.
Pada 2008, kemampuan kolaborasi masyarakat dan pemerintah untuk menekan angka kematian ibu sudah terlihat menonjol. AKI di Aceh pada 2008 237/100.000 kelahiran hidup. Sudah lebih baik dari angka di nasional yakni 256/100.000 kelahiran hidup.
Di tahun-tahun berikutnya, hal menggembirakan kembali dirasakan oleh masyarakat. Pada 2010 Dinkes Aceh merilis data AKI kembali menurun menjadi 228/100.000 kelahiran hidup. Meski penurunannya sangat pelan yakni hanya sekitar sembilan kasus dalam kurun waktu dua tahun, namun ini tetap sebuah kemajuan dari proses yang tidak mudah. (Serambi Indonesia, Oktober 2011)
PR kita
Penurunan angka kematian ibu merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia sendiri dalam proses mencapai target MDGs ini menargetkan AKI pada 2015 mampu ditekan hingga mencapai 102/100.000 kelahiran hidup.
Sementara AKI di Aceh masih ironis yakni 228/100.000 kelahiran hidup. (Media Indonesia, Oktober 2011).
Sebagai masyarakat yang baik, tentu kita perlu ikut serta berpartisipasi dalam mencapai hal ini. Karena upaya menurunkan AKI bukan saja sekadar tugas professional pelaksana pemerintah.
Melainkan juga tugas moral dan religius setiap masyarakat untuk menciptakan kualitas bangsa yang luar biasa baik di dunia dan tentunya akan baik di akhirat. Sungguh ini merupakan bagian dari ibadah yakni dakwah kesehatan.
Jadi, semestinya dakwah kesehatan ini dapat diestafetkan hingga ke seluruh pelosok desa di 23 kabupaten/kota di Aceh. Bilalah mungkin selama ini diskursus pilkada sudah begitu penuh mengisi ruang-ruang diskusi warung kopi dan tempat-tempat publik lainnya, sekali waktu ayolah kita bicara mengenai kesehatan kakak, adik, ibu, atau tetangga perempuan kita yang sebentar lagi akan berhadapan dengan maut saat melahirkan nanti. Mungkin jika penanganannya diketahui sejak dini, dengan izin Allah SWT kita bisa terhindar dari maut. Memangnya apa yang bisa kita lakukan bersama? Dalam konteks kerangka kerja Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dikenal istilah Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Para gadis muda Aceh diharapkan mampu mendewasakan pernikahan, setidaknya menikah di usia 20 tahun dan laki-laki 25 tahun. Faktanya, fenomena pernikahan di usia dini masih sering terjadi di berbagai pelosok desa.
Sebagian besar beralasankan ekonomi sehingga bila tidak langsung dikawinkan, si dara akan terus menjadi beban keluarga. Sebagian lagi karena perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh nantinya juga kerja di dapur, sumur, dan kasur. Hal itu masih ada di masyarakat kita.
Singkat cerita, menikahlah si dara usai menyelesaikan SMP di usia 15 tahun dan sebagian lagi usai menyelesaikan SMA kurang lebih di usia 18 tahun. Sang suami pun ingin buru-buru punya anak baik karena keinginan sendiri, maupun keinginan keluarga. Nah, tahukah kita bahwa salah satu penyebab tingginya AKI lantaran faktor “empat terlalu” yang salah satunya terlalu muda menikah.
Kenapa demikian? Hal itu karena di usia yang relatif muda (di bawah 20 tahun), pembentukan organ-organ reproduksi perempuan belum optimal. Misalnya bisa saja perkembangan panggulnya belum sempurna. Bila dipaksakan hamil dan melahirkan, tentu fatal.
Melanjutkan titik diskusi di “empat terlalu”, selain terlalu muda, penyebab tingginya AKI lainnya yakni hamil di usia terlalu tua, terlalu sering (sangat rapat), dan terlalu banyak anak. Singkat cerita, sebenarnya di titik inilah pembicaraan mengenai Keluarga Berencana (KB). Karenanya sungguh tidaklah tepat jika pelaksanaan KB selalu diidentikkan dengan alat kontrasepsi. Jadi, ini merupakan salah satu tugas bersama untuk merencanakan keluarga yang sehat agar kaum ibu tidak dikorbankan setiap waktu. Di sini sangat diperlukan pemahaman laki-laki sebagai kepala keluarga yang acap kali masih menjadi pembuat kebijakan tunggal di dalam keluarga. Sudahkah kita mencintai ibu (kaum perempuan) di hari ibu yang istimewa ini?
Selain persoalan “empat terlalu’ ini, ada hal lainnya yang juga mempengaruhi tingginya AKI. Hal itu merupakan “tiga terlambat” yang perlu perhatian semua pihak. Ketiga terlambat tersebut yakni terlambat mengambil keputusan, terlambat transportasi, dan terlambat penanganan medik. Di sisi ini, kolaborasi peran pelaksana pemerintah dan masyarakat akan jelas terlihat. Keluarga dan tetangga bekerja untuk membuat keputusan yang bijak dan cepat dalam mencari pelayanan kesehatan dan transportasi menuju pusat pelayanan kesehatan, begitu juga pelaksana pemerintah tidak boleh terlambat penanganan mediknya untuk mencegah kematian ibu begitu juga bayinya.
Secara umum, dua hal itu merupakan bagian dari konsep Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang bertujuan untuk menekan AKI begitu juga Angka Kematian Bayi (AKB). Di Aceh, GSI sudah mulai diterapkan oleh beberapa daerah. Singkat cerita jika pemahaman ini di mulai dari keluarga, maka akan tercipta keluarga yang sehat, kuat dan siaga, lalu desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi yang juga siaga dan mampu menjadi provinsi percontohan di Indonesia. Tidak ada yang mustahil jika kita mau bergerak bersama-sama.
Masyarakat Aceh yang budiman, kita pasti mengetahui bahwa setiap satu menit ada seorang ibu di dunia yang meninggal karena komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas. Dan pada dasarnya hal itu bisa dihindarkan dengan persentase 85 persen. Sayang meninggalnya perempuan saat ini bukan saja karena penyakit mereka. Melainkan karena perempuan dianggap pantas menjadi korban. Sungguh ini sangat mengenaskan bila benar terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Nah, 22 Desember itu hanyalah momentum seremonial hari ibu saja. Selebihnya ayo kita helat peringatan hari ibu setiap waktu dengan menciptakan pola penekanan AKI yang partisipatif. Dengan demikian, insya Allah kita juga akan mampu menekan AKB. Semoga kaum ibu kelak lebih berjaya.
* Penulis merupakan Widyaswara Madya BKKBN Provinsi Aceh.
HINGGA penghujung 2011, angka kematian ibu (AKI) masih saja menunjukkan data yang relatif tinggi. Fakta ini menunjukkan betapa sepantasnya momentum hari ibu yang jatuh setiap tanggal 22 Desember tidak saja diwarnai dengan prosesi seremonial saja. Perlu merefleksi peran serta semua elemen masyarakat agar para perempuan Aceh yang tak lain calon ibu masa depan dapat menyambut hidup yang lebih bergairah. Agar kaum ibu dapat Berjaya.
Secara umum, AKI relatif sudah menurun. Pada 2006 lalu, AKI di Aceh 354/100.000 kelahiran hidup. Angka itu melampaui tingkat kematian ibu di level nasional yakni sebesar 307/100.000 kelahiran hidup.
Pada 2008, kemampuan kolaborasi masyarakat dan pemerintah untuk menekan angka kematian ibu sudah terlihat menonjol. AKI di Aceh pada 2008 237/100.000 kelahiran hidup. Sudah lebih baik dari angka di nasional yakni 256/100.000 kelahiran hidup.
Di tahun-tahun berikutnya, hal menggembirakan kembali dirasakan oleh masyarakat. Pada 2010 Dinkes Aceh merilis data AKI kembali menurun menjadi 228/100.000 kelahiran hidup. Meski penurunannya sangat pelan yakni hanya sekitar sembilan kasus dalam kurun waktu dua tahun, namun ini tetap sebuah kemajuan dari proses yang tidak mudah. (Serambi Indonesia, Oktober 2011)
PR kita
Penurunan angka kematian ibu merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Indonesia sendiri dalam proses mencapai target MDGs ini menargetkan AKI pada 2015 mampu ditekan hingga mencapai 102/100.000 kelahiran hidup.
Sementara AKI di Aceh masih ironis yakni 228/100.000 kelahiran hidup. (Media Indonesia, Oktober 2011).
Sebagai masyarakat yang baik, tentu kita perlu ikut serta berpartisipasi dalam mencapai hal ini. Karena upaya menurunkan AKI bukan saja sekadar tugas professional pelaksana pemerintah.
Melainkan juga tugas moral dan religius setiap masyarakat untuk menciptakan kualitas bangsa yang luar biasa baik di dunia dan tentunya akan baik di akhirat. Sungguh ini merupakan bagian dari ibadah yakni dakwah kesehatan.
Jadi, semestinya dakwah kesehatan ini dapat diestafetkan hingga ke seluruh pelosok desa di 23 kabupaten/kota di Aceh. Bilalah mungkin selama ini diskursus pilkada sudah begitu penuh mengisi ruang-ruang diskusi warung kopi dan tempat-tempat publik lainnya, sekali waktu ayolah kita bicara mengenai kesehatan kakak, adik, ibu, atau tetangga perempuan kita yang sebentar lagi akan berhadapan dengan maut saat melahirkan nanti. Mungkin jika penanganannya diketahui sejak dini, dengan izin Allah SWT kita bisa terhindar dari maut. Memangnya apa yang bisa kita lakukan bersama? Dalam konteks kerangka kerja Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dikenal istilah Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Para gadis muda Aceh diharapkan mampu mendewasakan pernikahan, setidaknya menikah di usia 20 tahun dan laki-laki 25 tahun. Faktanya, fenomena pernikahan di usia dini masih sering terjadi di berbagai pelosok desa.
Sebagian besar beralasankan ekonomi sehingga bila tidak langsung dikawinkan, si dara akan terus menjadi beban keluarga. Sebagian lagi karena perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh nantinya juga kerja di dapur, sumur, dan kasur. Hal itu masih ada di masyarakat kita.
Singkat cerita, menikahlah si dara usai menyelesaikan SMP di usia 15 tahun dan sebagian lagi usai menyelesaikan SMA kurang lebih di usia 18 tahun. Sang suami pun ingin buru-buru punya anak baik karena keinginan sendiri, maupun keinginan keluarga. Nah, tahukah kita bahwa salah satu penyebab tingginya AKI lantaran faktor “empat terlalu” yang salah satunya terlalu muda menikah.
Kenapa demikian? Hal itu karena di usia yang relatif muda (di bawah 20 tahun), pembentukan organ-organ reproduksi perempuan belum optimal. Misalnya bisa saja perkembangan panggulnya belum sempurna. Bila dipaksakan hamil dan melahirkan, tentu fatal.
Melanjutkan titik diskusi di “empat terlalu”, selain terlalu muda, penyebab tingginya AKI lainnya yakni hamil di usia terlalu tua, terlalu sering (sangat rapat), dan terlalu banyak anak. Singkat cerita, sebenarnya di titik inilah pembicaraan mengenai Keluarga Berencana (KB). Karenanya sungguh tidaklah tepat jika pelaksanaan KB selalu diidentikkan dengan alat kontrasepsi. Jadi, ini merupakan salah satu tugas bersama untuk merencanakan keluarga yang sehat agar kaum ibu tidak dikorbankan setiap waktu. Di sini sangat diperlukan pemahaman laki-laki sebagai kepala keluarga yang acap kali masih menjadi pembuat kebijakan tunggal di dalam keluarga. Sudahkah kita mencintai ibu (kaum perempuan) di hari ibu yang istimewa ini?
Selain persoalan “empat terlalu’ ini, ada hal lainnya yang juga mempengaruhi tingginya AKI. Hal itu merupakan “tiga terlambat” yang perlu perhatian semua pihak. Ketiga terlambat tersebut yakni terlambat mengambil keputusan, terlambat transportasi, dan terlambat penanganan medik. Di sisi ini, kolaborasi peran pelaksana pemerintah dan masyarakat akan jelas terlihat. Keluarga dan tetangga bekerja untuk membuat keputusan yang bijak dan cepat dalam mencari pelayanan kesehatan dan transportasi menuju pusat pelayanan kesehatan, begitu juga pelaksana pemerintah tidak boleh terlambat penanganan mediknya untuk mencegah kematian ibu begitu juga bayinya.
Secara umum, dua hal itu merupakan bagian dari konsep Gerakan Sayang Ibu (GSI) yang bertujuan untuk menekan AKI begitu juga Angka Kematian Bayi (AKB). Di Aceh, GSI sudah mulai diterapkan oleh beberapa daerah. Singkat cerita jika pemahaman ini di mulai dari keluarga, maka akan tercipta keluarga yang sehat, kuat dan siaga, lalu desa, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi yang juga siaga dan mampu menjadi provinsi percontohan di Indonesia. Tidak ada yang mustahil jika kita mau bergerak bersama-sama.
Masyarakat Aceh yang budiman, kita pasti mengetahui bahwa setiap satu menit ada seorang ibu di dunia yang meninggal karena komplikasi kehamilan, persalinan, dan nifas. Dan pada dasarnya hal itu bisa dihindarkan dengan persentase 85 persen. Sayang meninggalnya perempuan saat ini bukan saja karena penyakit mereka. Melainkan karena perempuan dianggap pantas menjadi korban. Sungguh ini sangat mengenaskan bila benar terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Nah, 22 Desember itu hanyalah momentum seremonial hari ibu saja. Selebihnya ayo kita helat peringatan hari ibu setiap waktu dengan menciptakan pola penekanan AKI yang partisipatif. Dengan demikian, insya Allah kita juga akan mampu menekan AKB. Semoga kaum ibu kelak lebih berjaya.
* Penulis merupakan Widyaswara Madya BKKBN Provinsi Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar