Tue, Jun 28th 2011, 08:19
- Proses demokrasi di Aceh sejak 2005-2009 memberikan pengalaman optimis bagi masyarakat Aceh dan Indonesia untuk membawa perubahan. Karena proses tersebut telah menciptakan aktor-aktor politik baru dalam pergolakan politik di Aceh sejak berlangsung konflik bersenjata di tahun 1976. Selain itu, optimisme juga tertancap dalam benak masyarakat sipil nasional, bahwa UU No.11/2006 membuka peluang bagi perubahan tradisi politik Indonesia. UU tersebut mendukung gerakan masyarakat sipil nasional untuk memperkuat sistem politik lokal, sehingga merubah dominasi elit partai untuk selalu menyetir politik lokal dari Jakarta.
Harapan besar ketika itu bahwa lahirnya kaum menengah dan elite baru dapat memengaruhi cara berpikir, sikap, tindakan, dan perilaku politik Aceh, sehingga tradisi politik yang korup, manipulatif, memaksa kehendak, intoleran, money politic (politik uang), intimidatif, dan kecurangan politik lainnya dapat berubah. Sehingga tradisi politik baru tercipta ke arah penciptaan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Perjalanan waktu semakin membuktikan bahwa memasuki fase kedua perdamaian, masyarakat Aceh sudah mesti waspada. Pengalaman proses perdamaian di Filipina Selatan merupakan pelajaran menarik untuk dijadikan basis pengetahuan, kegagalan pemerintahan Nur Misuari disebabkan ketidakmampuan mengelola kebijakan otonomi khusus bagi peningkatan kualitas pembangunan, korupsi merajalela dan perubahan politik tidak dapat diarahkan pada upaya rekonsiliasi sosial dan ekonomi. Sehingga rasa ketidakadilan terus menguat sehingga perdamaian kembali gagal.
Peringatan dini atas perdamaian Aceh menuju titik darurat semakin terlihat, misalnya ketidakmampuan elite-elite baru di Aceh dalam menjaga partner kekuasaannya. Sebagai contoh buruknya relasi dan komunikasi antara gubernur dan wakil gubernur Aceh, begitu juga di tingkat kabupaten/kota. Kondisi tersebut membuka kesempatan bagi masuknya pihak-pihak yang hanya mementingkan kepentingan pribadi/kelompoknya saja, contohnya peristiwa bocornya APBK Aceh Utara sehingga menyebabkan defisitnya anggaran pembangunan.
Hal lainnya, ternyata elite baru Aceh tidak mampu mengorientasikan pembangunan Aceh menuju masyarakat yang lebih mandiri. Hal tersebut ditandai oleh diciptakan mekanisme akses bantuan langsung melalui dana taktis gubernur (DKG) dan dana aspirasi para dewan. Masyarakat diarahkan untuk bergantung pada bantuan langsung, birokrasi pun tidak mampu membatasi dorongan politik yang diciptakan oleh para politisi-politisi, sehingga sampai saat ini masih banyak masyarakat datang ke kantor gubernur dan gedung parlemen hanya lah untuk mengakses bantuan-bantaun langsung tersebut. Dampaknya adalah kultur masyarakat yang gemar bekerja keras berubah menjadi masyarakat yang peminta-minta.
Kebijakan pembangunan Aceh berubah ke arena demokrasi yang simbolik, sistem demokrasi tidak lagi menjadi media politik yang mendorong dan memperkuat pelaksanaan program-program pembangunan, sistem demokrasi diarahkan untuk menciptakan tindakan dan perilaku yang menjatuhkan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, saling menjelek-jelekkan, saling memfitnah dan jauh daripada dialektika pemikiran menuju pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Proses Pilkada 2011 merupakan momentum politik krusial bagi berlanjutnya perdamaian ataupun gagal. Para elite politik dan birokrat sejauh ini belum mencapai titik yang mempertemukan pemikiran atas kepentingan perdamaian. Intoleransi politik dapat kita lihat ketika DPRA belum mampu memimpin terbentuknya komitmen politik dalam melahirkan qanun penyelenggaraan pilkada, eksekutif pun tanpa ada jaminan politik DPRA terus memaksakan kehendaknya untuk tetap melaksanakan pilkada berdasarkan tahapan yang ditetapkan oleh KIP. Sedangkan KIP Aceh semakin jauh memainkan politiknya melaksanakan pilkada sesuai dengan tahapan yang sudah dibuatnya. Semua pihak ingin menunjukkan superioritas dan kewenangan yang dimilikinya, perdebatan-perdebatan yang dilakukan antar mereka di media massa semakin memperkeruh situasi dan menimbulkan intoleransi sosial-politik, sehingga ketegangannya semakin meningkat mendekati hari-H. Akhirnya, upaya pengerahan massa merupakan langkah yang diambil oleh para pihak untuk menujukkan kekuatan otot. Gesekan massa dengan massa memiliki dampak negatif bagi keberlangsungan demokrasi Aceh ke depan.
Untuk itu, langkah strategis yang mesti diambil oleh para pihak adalah menurunkan situasi ketegangan ini dengan mempertemukan kepentingan bersama bagi pembangunan Aceh. Bagi DPRA yang belum menyelesaikan pembahasan qanun dan tidak mengakomodir calon perseorangan supaya membuka toleransi komunikasi (negosiasi), begitu juga dengan eksekutif dan KIP yang tetap menghendaki pelaksanaan pilkada tepat waktu dan mengakomodir independen juga membuka ruang negosiasi. Langkah strategisnya adalah DPRA menyetujui perseorangan dan menunda pilkada setahun, pertimbangannya adalah penataan kembali sistem demokrasi, menghilangkan politik yang tidak rasional dan money politic, ketegangan politik yang cenderung menimbulkan chaotic dapat dihilangkan, terbukanya ruang politik baru bagi para pihak melakukan negosiasi-negosiasi baru, para pihak memiliki kesempatan untuk menata kembali barisan konstituennya melalui politik yang rasional, dan interaksi politik dapat diorientasikan pada kepentingan pemenuhan kesejahteraan masyarakat.
* Penulis adalah Sekjen Konsorsium Aceh Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar